Cobra effect menggambarkan kebijakan yang tidak menyelesaikan masalah.
SEBUAH kisah legendaris yang terjadi di India pada masa penjajahan Inggris bisa menjadi contoh bahwa adakalanya sebuah kebijakan yang berbasis ilmu ekonomi, yang diniatkan untuk menyelesaikan masalah pertama, justru menciptakan masalah kedua, dan kemudian membuat masalah pertama menjadi lebih buruk.
Kisah tersebut berkisar pada langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah kolonial Inggris untuk mengendalikan populasi ular kobra yang terlalu banyak di Delhi. Pemerintah menawarkan imbalan bagi setiap ekor ular kobra yang dibawa ke kantor pemerintah. Awalnya, program ini berhasil, dan jumlah ular dilaporkan menurun.
Namun, pada akhirnya, justru terjadi situasi yang tidak diinginkan: orang-orang mulai mengembang-biakkan ular kobra untuk mendapatkan imbalan.
Situasi itu membuat pemerintah kolonial Inggris lantas membatalkan program imbalan. Lalu, mengetahui kobra tidak lagi punya nilai ekonomi, para peternak melepaskan ular-ular yang mereka punya ke alam liar. Akibatnya, populasi ular kobra di Delhi justru meningkat drastis, dan masalah ular semakin buruk daripada sebelumnya.
Dari kisah itu, ekonom Horst Siebert kemudian memopulerkan istilah cobra effect untuk menggambarkan kebijakan insentif yang mempunyai hasil yang tidak diinginkan dan bertentangan dengan maksud pembuatnya.
Cobra effect telah digunakan di berbagai pembahasan masalah ekonomi. Di Indonesia, cobra effect misalnya terjadi saat pemerintah DKI Jakarta memberlakukan kebijakan 3 in 1, di mana setiap mobil wajib memiliki setidaknya tiga penumpang atau lebih di ruas jalan tertentu.
Niatnya ingin mengurangi kemacetan lalu lintas yang parah, yang terjadi justru praktik joki. Masyarakat menawarkan jasa sebagai penumpang tambahan dengan imbalan uang. []
Ikuti artikel menarik BARISANDATA atau pembahasan ISTILAH EKONOMI lainnya.