Perlu tanggung jawab terhadap sumber daya bersama agar tidak terjadi tragedy of the commons.
TRAGEDY of the commons semula adalah sebuah konsep dalam ilmu sosial. Ia pertama kali diungkapkan oleh seorang ahli biologi bernama Garrett Hardin pada tahun 1968.
Konsep ini menggambarkan situasi di mana sumber daya alam bersama (common pool resources) yang tersedia untuk digunakan oleh banyak orang menjadi terdegradasi atau rusak akibat dari perilaku egois dari individu yang mengambil keuntungan dari sumber daya tersebut tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain atau pada sumber daya itu sendiri.
Air sering kali menjadi objek yang menciptakan kondisi tragedy of the commons. Ini mungkin terjadi seturut dengan maraknya anggapan bahwa air adalah barang ekonomi (economic goods).
Ketika air dianggap sebagai barang ekonomi, maka berlaku premis bahwa air adalah komoditas yang berhak dimiliki, diolah, dijual, dan didistribusi oleh segelintir pihak. Di sinilah bibit-bibit tragedi biasanya muncul.
Mari simak apa yang terjadi di Umbul Senjoyo, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Mata air ini mungkin adalah contoh paling komprehensif dari apa yang disebut tragedy of the commons.
Sejak Kecamatan Tengaran ditetapkan sebagai kawasan industri, banyak pabrik berdiri di kawasan ini. Ada pabrik tekstil di desa Tugu; pabrik asbes di Noborejo; pabrik kayu lapis di Klero; pabrik kaos sepatu di desa Butuh; pabrik pemintalan benang di desa Kadang; industri garmen di desa Butuh Kidul; dan lain-lain.
Pabrik-pabrik tersebut, secara geografis, berada di atas sumber air Umbul Senjoyo. Ini penting untuk disebutkan sebab berhubungan langsung dengan kebutuhan air mereka untuk mendukung aktivitas usaha. Di sisi lain, Umbul Senjoyo merupakan tumpuan air bersih masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai petani.
Situasi ini adalah gambaran sederhana yang di dalamnya mengandung elemen-elemen fragmentatif yang kompleks. Air yang semula melimpah kini menjadi rebutan antara pabrik dengan petani. Air juga menjadi rebutan antara sesama petani.
Konflik rebutan air di Umbul Senjoyo bahkan pernah berubah menjadi perselisihan terbuka, setelah ketersediaan air semakin berkurang dan dirasa sudah tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan para petani.
Koran Kompas edisi 12 September 2008 pernah mencatat dengan lengkap adanya perselisihan ini:
“… Meski beberapa kali kesulitan air saat kemarau, baru tahun ini dia sampai menyaksikan serombongan petani dari desa lain nekat membawa godam dan palu, berniat membobol pintu air. Aliran air dari Sendang Senjoyo sudah dianggap tidak lagi terbagi adil. Percekcokan berlangsung sengit antarpetani dari Tingkir Lor dan Kalibening (Salatiga) dengan Tingkir Tengah (Salatiga), serta sejumlah desa di Kecamatan Suruh (Kabupaten Semarang). Pasalnya, awal Agustus lalu, petani dari Kalibening berniat menjebol pintu air Aji Awur di Desa Tegalwaton. Pintu air itu berfungsi mengatur aliran air dari Bendung Senjoyo ke arah timur, yaitu ke Tingkir Tengah dan sejumlah kelurahan di Kecamatan Suruh, serta arah utara menuju Tingkir Lor dan Kalibening. Kondisi ketika itu sempat memanas. Kedua kubu saling menuding pihak lain mencurangi pembagian air karena merasa aliran air yang menuju lahan mereka terlalu sedikit. Beruntung, konflik berhasil diredam. Mereka berembuk bersama kepala desa setempat dan sepakat pembagian air dilakukan setiap tiga hari.”
Perselisihan di Umbul Senjoyo pada masa-masa setelah itu juga tetap terjadi, dan penyelesaian terhadapnya jarang sampai tuntas. Pada awalnya, ketika ketersediaan air masih melimpah-ruah, konflik antar-pemakai air tidak muncul ke permukaan. Namun, setelah debit air menurun, jumlah penduduk bertambah padat, dan penggunaan air dalam jumlah besar oleh industri di sekitar Umbul Senjoyo meningkat pesat, akses air kemudian menjadi soal yang sangat sensitif.
Dalam konteks ini, solusi untuk mengatasi tragedy of the commons sering kali melibatkan pengaturan pemerintah, perjanjian, atau sistem insentif yang mendorong individu untuk bertanggung jawab terhadap sumber daya bersama. Ini bisa berarti pembatasan jumlah penggunaan, pembayaran kompensasi bagi mereka yang mengalami kerugian, atau penciptaan aturan yang mengatur penggunaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. []
Ikuti artikel menarik BARISANDATA atau pembahasan ISTILAH EKONOMI lainnya.