Dilihat dari berbagai aspek pembangunan, klaim-klaim prestasi pemerintah terbukti berlebihan tentang infrastruktur.
PEMERINTAHAN Jokowi mengklaim berhasil membangun banyak infrastruktur, jauh melebihi era-era pemerintahan sebelumnya. Namun, yang banyak ditampilkan hanya jalan tol dan bandara. Tentang bendungan dan embung diinformasikan peresmian serta nilai proyeknya.
Narasi membangun berbagai infrastruktur juga dijadikan argumen tentang utang yang produktif. Data peningkatan utang yang pesat pada era Jokowi diklaim terutama dipakai membangun infrastruktur. Ternyata, data yang lebih rinci tidak mendukung klaim tersebut.
Ada beberapa data resmi dari pemerintah sendiri yang bisa dicermati untuk memastikan kebenaran narasi tadi serta klaim utang dipakai terutama untuk hal tersebut. Antara lain tentang perkembangan belanja modal pada APBN, serta nilai aset tetap terutama yang berupa jalan, irigasi, dan jaringan. Bisa ditambahkan perkembangan data fisik tentang infrastruktur, seperti jalan.
Belanja modal merupakan salah satu dari delapan jenis belanja pemerintah pusat pada APBN. Didefinisikan sebagai pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, aset tak berwujud.
Belanja modal secara nominal berflutuasi dan memang cenderung meningkat pada era Jokowi. Namun laju peningkatannya tidaklah luar biasa atau mengimbangi laju kenaikan utang. Porsinya atas total belanja pemerintah pusat rata-rata sebesar 14,20% tiap tahunnya. Porsi itu hanya sedikit lebih tinggi dibanding era SBY yang sebesar 13,35%.
Sementara itu, nilai aset tetap pemerintah pusat hanya sedikit meningkat selama 4 tahun terakhir (2020–2023). Dari sebesar Rp5.950 triliun pada 2019 menjadi sebesar Rp6.924 triliun pada 2023. Dua jenis aset tetap bahkan cenderung menurun pada periode yang sama, yaitu aset tanah serta aset jalan, irigasi dan jaringan.
Aset tanah turun dari Rp4.566 triliun pada 2019 menjadi Rp4.427 triliun pada 2023. Sedangkan aset aset jalan, irigasi dan jaringan, turun dari Rp618 triliun menjadi Rp555 triliun. dapat diartikan bahwa penambahan aset baru lebih sedikit dibanding penyusutan nilainya.
Kenaikan aset tetap pada era Jokowi hanya terjadi pada tahun 2019, yang nilainya mencapai Rp5.950 triliun. Padahal masih sebesar Rp1.931 triliun pada tahun 2018. Kenaikan disebabkan oleh kebijakan inventarisasi dan penilaian kembali pada tahun 2017 dan 2018 yang nilai bukunya secara resmi baru dicatat pada tahun 2019.
Nilai aset tanah akibat revaluasi, melonjak 4,5 kali lipat, dari Rp1.019 triliun menjadi Rp4.568 triliun. Sedangkan aset aset Jalan, irigasi dan jaringan melonjak 2,5 kali lipat dari Rp248 triliun menjadi Rp618 triliun. Kenaikan nilai dua jenis aset tetap ini terutama bukan karena pembelian baru dengan dana utang.
Secara fisik, panjang jalan selain jalan tol memang bertambah selama sembilan tahun era Jokowi. Bertambah 32.487 km atau 6,27%, dari 518.248 km (2014) menjadi 550.735 km (2023). Namun, penambahannya jauh lebih sedikit dibanding era SBY yang sebesar 145.320 km (38,97%), dari 372.928 km (2004) menjadi 518.248 km (2014).
Data BPS yang bersumber dari Kementerian PUPR menunjukkan bertambahnya panjang jalan rusak berat selama era Jokowi. Dari sepanjang 77.278 km pada 2014 menjadi 100.361 km pada 2022. Jalan rusak berat adalah jalan yang dapat dilalui hanya dengan kecepatan 0–20 km per jam.
Pembangunan bandara dan pelabuhan tentu dengan tujuan meningkatkan kemampuannya dalam mengangkut penumpang atau barang. Terdapat indikasi bahwa pembangunan ataupun perbaikan selama era Jokowi tidak berhasil meningkatkannya secara signifikan. Padahal dikemukakan salah satu bukti utang dipakai secara produktif adalah dalam hal ini.
Jumlah penumpang angkutan udara sempat meningkat pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Keberangkatan dalam negeri meningkat 6,32%, dari 71,63 juta orang (2014) menjadi 94,90 juta orang (2019). Keberangkatan luar negeri meningkat 39,28%, dari 13,69 juta orang menjadi 18,25 juta orang.
Penambahan penumpang tersebut lebih rendah dari periode pertama pemerintahan SBY. Tercatat kenaikan keberangkatan dalam negeri sebesar 49,68%, dan keberangkatan luar negeri sebesar 49,55%.
Akibat pandemi Covid-19, jumlah penumpang menurun drastis dan masih belum pulih sepenuhnya. Keberangkatan dalam negeri hanya 62,65 juta orang dan keberangkatan luar negeri hanya 15,63 juta orang pada tahun 2023.
Kinerja berbagai pelabuhan pun tidak sesuai harapan pembangunannya. Barang yang dimuat untuk tujuan luar negeri (ekspor) justeru cenderung menurun, dari 417,2 juta ton (2014) menjadi 391,08 juta ton pada 2022. Jika faktor pandemi Covid-19 dipersalahkan, barang dimuat justeru hanya 349,10 juta pada 2019 dan lebih sedikit lagi pada 2015–2018.
Pembangunan pelabuhan bahkan terindikasi menambah barang dibongkar dari luar negeri (impor). Jumlahnya cenderung meningkat, dari 100,57 juta ton (2014) menjadi 115,77 juta ton (2022).
Argumen tentang pembangunan infrastruktur era Jokowi yang sejauh ini tidak memberi manfaat optimal dapat ditambahkan lagi terkait infrastruktur pertanian. Klaim telah dibangun irigasi, embung, dan infrastruktur pertanian lainnya tidak didukung oleh data rinci perkembangan dan kondisi masing-masing.
Sementara itu, nilai tambah produksi pertanian hanya tumbuh perlahan. Beberapa komoditas pangan justeru menurun produksinya, seperti padi, kedelai, kacang-kacangan, dan ubi-ubian. Hasil pertanian lainnya hanya meningkat perlahan, seperti jagung. Dengan kata lain, tidak cukup bukti manfaat jika dilihat perkembangan produksi pertanian.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur memang telah dilakukan. Hasil atau outputnya tampak dan sebagian telah memberi manfaat. Namun, klaim pemerintah terbukti berlebihan tentang prestasi ini, apalagi jika dianggap sebagai alasan berutang yang amat besar. [adj]