Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Di Indonesia, kecenderungan jumlah penduduk miskin justru naik.
EKONOMI Indonesia tumbuh sebesar 5,05% pada 2023 dan 5,31% pada 2022. Laju itu sudah masuk lintasan normal pertumbuhan sebelum pandemi yang di kisaran 5%. Kinerja pertumbuhan ekonomi termasuk yang cukup baik dibanding banyak negara lain. Namun pencermatan atas beberapa hal mengindikasikan kualitasnya makin buruk.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir memang terindikasi telah kurang berkualitas. Bahkan, beberapa tahun pasca-pandemi ini bisa dikatakan tidak berkualitas.
Penilaian itu berdasar pencermatan atas beberapa aspek, indikator dan detail soalan. Di antaranya: kondisi pertumbuhan menurut lapangan usaha, pertumbuhan menurut komponen penggunaan, ketenagakerjaan, kemiskinan, dan ketimpangan.
Pertumbuhan menurut lapangan usaha atau sektoral berlangsung secara tidak merata. Sebenarnya wajar saja jika ada sektor yang tumbuh di atas atau di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Namun, selisih antara kedua kelompok itu tidak terlampau lebar jika kualitas pertumbuhan ekonominya baik.
Pertumbuhan ekonomi selama 13 tahun (2011–2023) rata-rata sebesar 4,61% per tahun. Terdapat 9 sektor yang rata-rata tumbuhnya lebih tinggi. Di antaranya: Informasi dan Komunikasi (9,25%), Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (7,47%) dan Jasa Perusahaan (6,85%).
Dua di antara yang lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi atau seluruh sektor adalah sektor pertanian (3,29%) dan industri pengolahan (3,99%). Padahal, kedua sektor ini berporsi besar dalam struktur ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu menampung tenaga kerja yang amat banyak.
Kinerja kedua sektor tersebut beriringan dengan menurunnya produktivitas pekerjanya serta pendapatan riil yang diperoleh. Salah satu dampaknya, daya beli masyarakat kebanyakan tidak bisa meningkat signifikan. Hal ini menjadi penjelasan utama menurunnya laju pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Tidak cukup tingginya laju pertumbuhan sektor industri pengolahan juga berhubungan erat dengan melambatnya pertumbuhan komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Kondisi demikian telah berlangsung beberapa tahun terakhir. Laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan sulit dicapai pada tahun-tahun mendatang.
Tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir pasca-pandemi terutama diindikasikan oleh kondisi ketenagakerjaan. Pertumbuhan ekonomi yang tampak cukup tinggi gagal memperbaiki kondisi ketenagakerjaan secara signifikan.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya sedikit mengurangi jumlah pengangguran yang pada Agustus 2023 sebanyak 7,86 juta orang. Masih lebih banyak dibanding Agustus 2019 yang 7,10 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka pun masih sebesar 5,32% berbanding 5,28%.
Pekerja berstatus formal menurut klasifikasi BPS pun belum pulih seperti pra pandemi, masih sebesar 40,89%. Pekerja yang berstatus informal masih jauh lebih banyak dibanding pekerja formal, yang bisa diartikan orang terpaksa bekerja apa saja. Ada indikasi bahwa mereka terlampau miskin untuk tidak bekerja.
Di antara pekerja informal adalah mereka yang bekerja namun tidak dibayar, yang kadang disebut oleh BPS sebagai pekerja keluarga. Jumlahnya mencapai 18,09 juta orang per Agustus 2023, lebih banyak dibanding pra pandemi Agustus 2019 yang sebesar 14,76 juta orang.
Pekerja tidak dibayar ini dalam kehidupan atau komunikasi sehari-hari nyaris tidak bisa dibedakan dengan mereka yang menganggur. Namun sesuai definisi bekerja menurut pedoman perhitungan dan surveinya, mereka dicatat sebagai bekerja. Jumlahnya bahkan lebih dari dua kali lipat yang menganggur.
Kondisi ketenagakerjaan terkini juga ditandai oleh masih sangat banyaknya pekerja pada sektor pertanian. Jumlah pekerja sektor pertanian mencapai 39,45 juta orang per Agustus 2023, jauh lebih banyak dibanding Agustus 2019 yang 34,58 juta orang. Sektor pertanian terpaksa menampung lebih banyak pekerja ketika pandemi, dan hingga kini belum berhasil dipindah lagi ke sektor lainnya.
Sementara itu, kualitas pertumbuhan ekonomi yang baik dipastikan akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Jumlah penduduk miskin per Maret 2023 sebanyak 25,90 juta orang dan persentasenya sebesar 9,36%. Kondisinya masih lebih buruk dibanding kondisi September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan 9,22%.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi juga gagal memperbaiki ketimpangan ekonomi, dan bahkan terindikasi memperburuknya. Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Rasio pada Maret 2023 adalah sebesar 0,388, atau lebih timpang dibanding September 2019 yang sebesar 0,380.
Berdasar beberapa alasan yang diuraian tadi, penulis berpandangan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tiga tahun terakhir makin memburuk. []
Discussion about this post