Asing tidak tertarik menambah kepemilikannya dalam SBN rupiah selama era pandemi hingga saat ini.
SALAH satu sumber masuknya devisa ke Indonesia adalah masuknya modal asing melalui transaksi investasi portofolio. Di antaranya berupa pembelian asing atas Surat Berharga Negara (SBN) rupiah. Selain diperlukan untuk sumber pembiayaan anggaran, masuknya modal asing juga bisa membantu menahan pelemahan rupiah.
Sebagian besar SBN rupiah atau domestik bersifat bisa diperdagangkan atau dipindahtangankan. Pihak asing bisa memilikinya, baik melalui pembelian pada saat penerbitan maupun dari pasar sekunder.
Posisi SBN rupiah yang bisa diperdagangkan pada akhir Maret 2024 tercatat Rp5.710 triliun. Pertambahannya tercatat sangat signifikan pada saat pandemi dan upaya pemulihan ekonomi atas dampaknya hingga saat ini. Posisi per akhir Maret 2020 masih sebesar Rp2.833,36 triliun.
SBN bertambah dua kali lipat dalam waktu empat tahun sejak terjadi pandemi. Sebelumnya, lajunya relatif stabil kisaran 15% dari tahun ke tahun. Tambahan tersebut bersifat neto atau telah memperhitungkan yang dilunasi.
Bank Indonesia, Andalan Membeli SBN Rupiah
Upaya pemerintah menambah utang secara besar-besaran melalui penerbitan SBN membutuhkan para pihak yang mau menyerap atau membelinya. Peningkatan serapan alamiah dari pasar sesuai rekam jejak masa lalu tidak akan mencukupi pada saat pandemi hingga beberapa tahun setelahnya.
Kebijakan yang telah diambil antara lain membolehkan Bank Indonesia (BI) membeli SBN di pasar perdana. Sebelumnya, setelah era program rekapitulasi perbankan, BI hanya memiliki SBN melalui pasar sekunder. Termasuk memiliki repo SBN milik bank.
Skema pembeliannya beragam sesuai perkembangan kondisi sepanjang tahun 2020. Antara lain berupa penempatan langsung (private placement), lelang, dan lelang tambahan.
Beban bunga pun sesuai skemanya. Ada SBN yang tidak berbunga, berbunga rendah mengikuti suku bunga acuan BI, dan ada yang sesuai pasar. Publik dijelaskan sebagai kebijakan “berbagi beban” antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Narasi kebijakan dihubungkan dengan program penanganan pandemi serta program pemulihan ekonomi nasional.
Bagaimanapun, dampak terhadap BI antara lain memiliki porsi yang makin besar dalam kepemilikan SBN Rupiah. Kepemilikannya per akhir Maret 2024 mencapai Rp1.401 triliun atau 24,54% dari total SBN Rupiah diperdagangkan.
Padahal, pada akhir Maret 2020 nilainya masih sebesar Rp255,10 triliun atau hanya 9%. Selama empat tahun, nominalnya meningkat lebih dari lima kali lipat. Sedangkan porsinya mencapai hampir tiga kali lipat.
Porsi kepemilikan atas SBN Rupiah diperdagangkan yang hampir setara dengan BI adalah oleh bank umum. Kepemilikannya mencapai Rp1.231 triliun atau sekitar 21,56% per akhir Maret 2024.
Porsi kepemilikan bank umum sempat menjadi terbesar pada era kebijakan rekapitulasi perbankan. Pemerintah mengambil alih aset perbankan peserta program, dibayar dengan surat utang negara. Istilah surat utang negara belakangan diperluas menjadi Surat Berharga Negara (SBN), antara lain karena adanya SBN Syariah. Porsi kepemilikan bank sempat mencapai lebih dari 88% pada akhir 2002.
Program restrukturisasi perbankan dan dinamika perekonomian berdampak pada pengurangan kepemilikan SBN oleh bank. Namun prosesnya berlangsung selama bertahun-tahun. Porsinya masih sebesar 43,72% pada akhir 2009. Kecenderungan penurunan porsi berlanjut hingga hanya di kisaran 20% pada tahun 2018 hingga saat ini.
Penurunan porsi kepemilikan bank umum kemudian diimbangi oleh peningkatan kepemilikan asing. Porsinya pada akhir 2004 hanya 2,69%. Pada akhir tahun berikutnya terus meningkat, hingga mulai melampaui 30% sejak akhir tahun 2010. Sempat mencapai 39,82% pada akhir 2017.
Ketika pandemi melanda dunia dan Indonesia, kepemilikan asing ini sangat terdampak. Secara nilai nominal cenderung menurun sejak Maret 2020, meski kadang sesekali mengalami kenaikan. Bahkan, tidak mencapai posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp1.062 triliun.
Nominal kepemilikan asing pada tahun selama tahun 2020–2022 cenderung terus menurun. Sempat perlahan sedikit meningkat pada tahun 2023, namun kembali menurun selama tahun 2024 yang sedang berjalan. Posisinya sebesar Rp810 triliun pada akhir Maret 2024.
Oleh karena Pemerintah menerbitkan SBN rupiah secara besar-besaran selama era pademi, maka porsi kepemilikan asing terus mengalami penurunan signifikan. Dari 38,57% pada akhir 2019 menjadi 25,16% pada akhir 2020. Dan hanya mencapai 14,20% per akhir Maret 2024.
Dinamika lain yang patut dicermati dalam hal kepemilikan asing atas SBN rupiah adalah yang terkait komposisinya berdasar waktu jatuh tempo atau tenor. Pihak asing cenderung mengurangi porsi yang bertenor jangka panjang, dan menambah yang berjangka pendek dan menengah.
Porsi bertenor 10 tahun masih sebesar 33,38% dari total SBN yang dimiliki per Maret 2020. Porsinya hanya sebesar 18,38% per akhir Maret 2024.
Bisa dikatakan bahwa pihak asing tidak tertarik menambah kepemilikannya dalam SBN rupiah selama era pandemi hingga saat ini. Padahal, Pemerintah menerbitkan SBN rupiah yang jauh lebih besar dibanding era sebelum pandemi. Dengan demikian, arus masuk devisa tidak terjadi dalam hal pembelian asing atas SBN domestik. []