Kondisi kemiskinan selama era Jokowi gagal mencapai target yang ditetapkannya sendiri.
ASESMEN terkait untuk siapa barang dan jasa diproduksi atau bagaimana dibagikannya, salah satunya dicermati dari kondisi kemiskinan dan ketimpangan. Kuantitas produksi atau pertumbuhan ekonomi yang meningkat harus diikuti oleh distribusi yang seimbang dan berkeadilan.
Indikator yang banyak dipergunakan, antara lain: pendapatan per kapita, jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin, dan rasio gini. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pun menyatakan proyeksi atau target berbagai indikator tersebut.
RPJMN 2015–2019 menargetkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita meningkat tiap tahun dan mencapai Rp72.217 pada tahun 2019. PDB per kapita memang meningkat tiap tahun, namun dengan laju yang tidak sesuai sasaran. Nilainya hanya sebesar Rp59.318 pada tahun 2019, atau jauh di bawah yang ditargetkan.
Dalam hal distribusi pendapatan, ketimpangan diharapkan membaik. Indeks Gini ditargetkan turun hingga sebesar 0,36 pada tahun 2019. Namun, realisasinya masih sebesar 0,382, atau lebih timpang dari ingin dicapai.
Tingkat kemiskinan atau persentase penduduk miskin diproyeksikan menurun tiap tahun. RPJMN merincinya sebagai berikut: 10% (2015), 9,5% (2016), 9% (2017), 8% (2018), dan 7,5% (2019).
Tingkat kemiskinan memang berhasil diturunkan, namun tidak sesuai target RPJMN. Realisasinya untuk kondisi Maret adalah sebagai berikut: 11,22% (2015), 10,86% (2016), 10,64% (2017), 9,82% (2018), dan 9,41% (2019).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 menyatakan proyeksi atau target berbagai indikator tersebut. tingkat kemiskinan dan rasio gini.
Jokowi dalam periode kedua pemerintahannya menetapkan RPJMN 2020–2024 yang menurunkan target beberapa indikator tersebut dibanding periode sebelumnya. Namun kembali tidak berhasil mencapainya.
PDB per kapita disajikan dalam grafik skenario jangka panjang menuju Indonesia Maju tahun 2045, serta dinyatakan dalam nilai dolar Amerika. Tampak target tahun 2025 yang sebesar US$6.305, yang mustahil tercapai, karena baru sebesar US$4.920 pada tahun 2023.
Ukuran turunan dari PDB juga disajikan, yaitu Gross National Income (GNI) metode atlas. Target tiap tahun dinyatakan sebagai rentang dalam RPJMN. Target tahun 2023 berupa batas bawah sebesar US$5.420 dan batas atas sebesar US$5.550. Realisasinya jauh lebih rendah dari batas bawah, hanya sebesar US$4.870.
Target Rasio Gini memang hampir tercapai batas atasnya, namun jauh dari batas bawahnya. Target RPJMN sebesar 0,360–0,374, sedangkan realisasi sebesar 0,379.
Tingkat kemiskinan ditargetkan RPJMN mencapai kisaran 6–7% pada tahun 2024. Dampak pandemi Covid-19 memperparah kemampuan mencapainya, sehingga tertahan sebesar 9,03% pada 2024.
Jika dilihat dari jumlah absolut penduduk miskin, bahkan terdapat penambahan 80 ribu orang pada periode kedua Jokowi. Dari sebanyak 25,14 juta orang per Maret 2019 menjadi 25,22 juta orang per Maret 2024. Harus diakui ada faktor dampak pandemi, namun bisa dikatakan juga perekonomian belum pulih sepenuhnya dari dampak tersebut.
Meskipun tidak disajikan dalam RPJMN 2020–2024, Jokowi mengedepankan indikator kemiskinan yang lain yaitu kemiskinan ekstrem. Jokowi menyampaikan arahan dalam rapat terbatas mengenai strategi percepatan pengentasan kemiskinan pada 4 Maret 2020 bahwa kemiskinan ekstrem ditargetkan turun menjadi nol persen pada 2024.
Penulis berpandangan target yang disampaikan sebelum parahnya pandemi Covid-19 itu merupakan pengalihan dari target tingkat kemiskinan umum yang sulit dicapai. Sayangnya, saat itu belum disepakati ukuran apa yang dipakai.
Sempat dikemukakan beberapa ukuran oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Tim Nasional Percepatan Penganggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan Kementerian terkait. Terdapat rujukan yang dikenal luas berupa ukuran internasional dari Bank Dunia. Namun, Bank Dunia telah mengubahnya dan ada perhitungan paritas daya beli yang memerlukan estimasi dari BPS atau otoritas Indonesia.
Data terkini yang dikemukakan pemerintah berdasar perhitungan BPS adalah 1,12% pada 2023 dan 0,83% pada 2024. Seolah ingin memperlihatkan target hampir tercapai.
Akan tetapi pada laman Bank Dunia yang baru menyajikan data hingga tahun 2023, tercatat sebesar 1,9%. Selisih dari versi BPS atau Pemerintah itu menyangkut sekitar 2,20 juta orang penduduk miskin ekstrem.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan dan ketimpangan selama era Jokowi tidak berhasil mencapai target yang ditetapkan presiden sendiri dalam RPJMN 2015–2019 dan RPJMN 2020–2024. Dan jika dikaitkan pertumbuhan ekonomi yang masih bisa tumbuh kisaran 5% selain saat pandemi, maka tampak rendahnya kualitas pertumbuhan tersebut. [adj]