Pengangguran selama 2014–2023 bertambah. Pemerintahan Jokowi kurang sukses menciptakan lapangan kerja.
PENURUNAN jumlah pengangguran dan persentasenya menjadi salah satu tujuan utama pengelolaan ekonomi di semua negara, termasuk Indonesia. Hal itu berarti upaya penciptaan lapangan kerja menjadi prioritas kebijakan ekonomi, seiring dengan usaha mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tingkat Pengangguran diproyeksikan menurun tiap tahun pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019. Penurunannya diharapkan sebagai berikut: 5,65% (2015), 5,35% (2016), 5,15% (2017), 4,85% (2018), dan 4,5% (2019).
Tingkat pengangguran memang berhasil diturunkan, namun tidak sesuai target RPJMN. Realisasinya untuk kondisi Agustus adalah sebagai berikut: 6,18% (2015), 5,61% (2016), 5,5% (2017), 5,34% (2018), dan 5,28% (2019).
Jokowi dalam periode kedua pemerintahannya menetapkan RPJMN 2020–2024 yang menurunkan target tingkat pengangguran dibanding RPJMN sebelumnya. Namun masih tidak berhasil dicapai.
RPJMN 2020–2024 hanya menyebut target akhir 2024 berupa rentang, yaitu 3,6–4,3%. Data yang biasa dipakai untuk menggambarkan kondisi tahun adalah bulan Agustus, karena sampel surveinya jauh lebih banyak dibanding Februari. Data terkini yang tersedia Agustus adalah 2023 sebesar 5,32%.
Jumlah pengangguran selama Agustus 2014–2023 justeru bertambah 0,62 juta orang. Diprakirakan jika sampai Agustus 2024, maka hanya jumlahnya hanya akan setara 2014. Padahal selama era SBY, kondisi Agustus 2004–2014 berhasil mengurangi sebanyak 3,01 juta orang.
Tingkat pengangguran memang berhasil diturunkan selama era Jokowi, kurun Agustus 2014–2023 berkurang sebesar 0,62% poin. Diprakirakan pengurangan bisa mencapai hampir 1% poin pada Agustus 2024. Namun, selama era SBY untuk kondisi Agustus 2004–2014 berhasil dikurangi sebanyak 3,92% poin.
Sementara itu, paparan Sri Mulyani dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada 28 Agustus tampak membanggakan penciptaan lapangan kerja sebanyak 21,3 juta orang. Disandingkan dengan data di atas berarti secara statistik hanya bisa menyerap tambahan angkatan kerja baru. Persentase atau tingkat penganggutan memang sedikit menurun, namun jumlah penganggurnya bertahan.
Kinerja buruk pemerintahan Jokowi dalam penciptaan lapangan kerja dan pengurangan jumlah pengangguran terindikasi pula dalam beberapa informasi tentang sebaran pekerja secara sektoral atau lapangan usaha. Pekerja sektor pertanian masih sebanyak 39,45 juta per Agustus 2023, atau lebih banyak dari kondisi Agustus 2014 yang 38,97 juta orang.
Padahal, pertumbuhan sektor pertanian sangat rendah selama era Jokowi, hanya 2,76% per tahun. Lebih rendah dari rata-rata keseluruhan sektor atau pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, nilai tambah yang diperoleh petani atau pekerja sektor pertanian tidak meningkat. Salah satu akibatnya, hampir separuh penduduk miskin memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian.
Kinerja kurang baik juga tampak dalam perkembangan jumlah pekerja berstatus berusaha sendiri, yang terutama mencerminkan usaha skala mikro. Kondisi pekerjaan mereka secara umum kurang layak, baik dalam hal imbalan ataupun keamanan dan keberlanjutannya. Jumlahnya per Agustus 2023 sebanyak 32,21 juta orang, meningkat pesat dibanding Agustus 2014 yang 20,49 juta orang.
Tidak berhasilnya pemerintahan Jokowi menciptakan pekerjaan yang layak juga tergambar pada data jumlah Pekerja Keluarga atau Pekerja Tak Dibayar. Badan Pusat Statistik (BPS) memasukan mereka sebagai bekerja atau bukan pengangguran. Mereka dianggap menghasilkan pendapatan bagi orang atau keluarga yang dibantu.
Jumlah pekerja keluarga menurut data BPS per Agustus 2023 sebanyak 18,09 juta orang. Bertambah dibanding kondisi Agustus 2014 yang sebanyak 16,81 juta orang. Padahal selama era SBY, jumlahnya berhasil dikurangi, dari 17,29 pada tahun 2004.
Dapat disimpulkan bahwa penurunan tingkat pengangguran selama era Jokowi tidak mencapai target yang ditetapkan Presiden sendiri dalam RPJMN 2015–2019. Ketika target duturunkan pada RPJMN 2020–2024 pun tidak berhasil dicapai.
Asesmen dari pencermatan atas data BPS, lapangan pekerjaan yang diciptakan sebagiannya tidak berkualitas. Antara lain, sektor pertanian “dipaksa” menampung tenaga kerja yang tidak terserap di sektor lain. Bertambahnya pekerja berstatus berusaha sendiri dan pekerja tak dibayar memperkuat indikasi kegagalan menciptakan status pekerjaan yang lebih layak. [adj]