Kegagalan reindustrialisasi selama era Jokowi sebenarnya diakui secara “diam-diam” oleh pemerintah sendiri.
ASESMEN terkait apa saja barang dan jasa yang diproduksi oleh perekonomian mencakup pula aspek transformasi perekonomian. Salah satunya, dicermati apakah produksi barang industri pengolahan meningkat pesat. Sektor ini dianggap memiliki potensi nilai tambah yang besar, mampu mendorong sektor lain, dan bisa berkelanjutan.
Industri pengolahan diproyeksikan RPJMN 2015–2019 tumbuh sebagai berikut: 6,1% (2015), 6,9% (2016), 7,4% (2017), 8,1% (2018), dan 8,6% (2019). Seiring dengan itu, porsinya dalam Produk Domestik Bruto (PDB) diharapkan meningkat. Target porsinya adalah sebagai berikut: 20,80% (2015), 21,00% (2016), 21,10% (2017), 21,30% (2018), 21,60% (2019).
Realisasinya tiap tahun ternyata jauh lebih rendah. Sektor industri pengolahan tumbuh sebagai berikut: 4,33% (2015), 4,26% (2016), 4,29% (2017), 4,27% (2018), dan 3,8% (2019). Sedangkan porsinya cenderung menurun, yaitu 20,99% (2015), 20,51% (2016), 20,16% (2017), 19,86% (2018), dan 19,70% (2019).
Target pertumbuhan sektor industri pengolahan diturunkan pada RPJMN 2020–2024, menjadi berikut ini: 5% (2015), 5,35% (2016), 6,35% (2017), 7,3% (2018), dan 7,4% (2019). Sedangkan porsi atas PDB ditargetkan sebagai berikut: 19,70% (2020), 19,75% (2021), 19,95% (2022), 20,30% (2023), dan 20,75% (2024).
Diperburuk oleh dampak pandemi Covid-19, target tersebut tidak terpenuhi. Pertumbuhannya sebagai berikut: -2,93% (2020), 3,39% (2021), 4,89% (2022), 4,64% (2023), dan 4,85% (2024). Sedangkan porsi atas PDB sebagai berikut: 19,87% (2020), 19,24% (2021), 18,34% (2022), 18,67% (2023), dan 18,80% (2024).
Alih-alih mencapai porsi yang diharapkan sebesar 21,60% pada tahun 2019, malah merosot menjadi hanya 19,70% atas PDB. Begitu pula dengan target yang telah diturunkan menjadi 20,75% pada 2024, hanya kan sekitar 18,80%.
Harus diakui bahwa fenomena deindustrialisasi prematur atau dini telah berlangsung sebelum era Jokowi, mulai tahun 2002. Relatif bisa ditahun lajunya hingga tahun 2009, namun setelahnya makin cepat laju deindustrialisasi.
Pemerintahan Jokowi cukup menyadari fenomena ini, sehingga dua RPJMN menargetkan sektor industri pengolahan tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Ditargetkan pula kenaikan porsi atas PDB.
RPJMN 2020–2024 mengatakan bahwa tantangan pertama dalam pembangunan industri di masa yang akan datang adalah “Mendorong akselerasi pertumbuhan industri untuk menangkal bahkan membalikkan gejala deindustrialisasi yang secara singkat dapat disebut reindustrialisasi.”
Tantangan lain yang disampaikan adalah “Mendorong investasi industri untuk mengolah bahan mentah dari pertanian dan pertambangan (sektor primer) menjadi produk bernilai tambah tinggi (hilirisasi). Dalam hal ini jelas bahwa hilirisasi tidak terkait produk pertambangan seperti nikel saja, melainkan berbagai subsektor pertanian dan pertambangan.
RPJMN sebelumnya juga mengatakan tentang hilirisasi dalam pengertian luas yang demikian, bukan seperti yang dikesankan belangan ini. Diyakini jika pertumbuhan sektor industri tercapai, maka akan ada daya dorong yang kuat bagi banyak sektor lain juga tumbuh tinggi.
Kegagalan reindustrialisasi selama era Jokowi sebenarnya diakui secara “diam-diam” oleh pemerintah sendiri. Rancangan teknokratis RPJMN 2025–2029 telah dirumuskan bulan Maret 2024, yang nantinya akan menjadi bahan penyusunan dokumen final oleh pemerintahan selanjutnya.
Dalam dokumen itu diakui bahwa industrialisasi belum menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir, bahkan peranannya cenderung mengalami penurunan. Disebutkan upaya pengembangan sektor industri pengolahan dihadapkan pada berbagai isu strategis, terutama pada sisi penawaran atau suplai.
Di antaranya adalah inefisiensi faktor produksi, kompleksitas dan nilai tambah produk yang masih rendah, struktur industri yang belum kuat, serta kemampuan adopsi teknologi, pemanfaatan RD&D dan penerapan standardisasi yang masih terbatas.
Diakui pula bahwa rendahnya produktivitas tenaga kerja menjadi tantangan besar karena sebagian besar berpendidikan menengah ke bawah dan bekerja di sektor bernilai tambah rendah. Akibatnya, laju peningkatan nilai tambah di beberapa subsektor industri padat karya pun relatif terbatas. Ada pengakuan bahwa secara umum Indonesia masih berada pada era Industrial Revolution 2.0, padahal perkembangan teknologi industri semakin masif.
Sementara itu, subsektor industri manufaktur yang tumbuh dan berporsi makin besar dalam PDB justeru yang berbasis teknologi rendah. Porsi dari 8 subsektornya mencapai 52,81% atau lebih dari separuh sektor industri pada tahun 2023. Padahal masih sebesar 46,42% pada tahun 2014.
Dari uraian di atas, penulis menilai sektor industri pengolahan makin merosot selama era Jokowi. Perekonomian masih dicirikan oleh deindustrialisasi prematur. Baik dilihat dari laju pertumbuhan, porsi atas PDB, penyerapan dan produktivitas tenaga kerja, maupun perbaikan teknologi produksinya. [adj]