Sektor pertanian tidak berhasil dibangun selama era Jokowi. Kinerja buruk 10 tahun membuat petani mengisi separuh dari total keluarga miskin di Indonesia.
ASESMEN terkait apa saja barang dan jasa yang diproduksi oleh perekonomian mencakup aspek lainnya dalam perekonomian Indonesia yang berwilayah luas dan berpenduduk sangat banyak. Salah satu yang penting adalah kinerja sektor pertanian.
Apakah produktivitas sektor pertanian meningkat, terutama dalam kaitan dengan kecukupan pangan? Transformasi perekonomian akan menurunkan porsinya atas total Produk Domestik Bruto (PDB), namun harus diupayakan tetap tumbuh secara memadai. Ditambah dengan proyeksi tentang tenaga kerja yang harusnya berkurang secara perlahan dan berpindah ke sektor lain.
Sektor pertanian diproyeksikan tumbuhan ekonomi pada RPJMN 2015–2019 sebagai berikut: 4,0% (2015), 4,2% (2016), 4,4% (2017), 4,6% (2018), dan 4,8% (2019). Dengan demikian secara rata-rata diharapkan tumbuh sebesar 4,5% per tahun.
Realisasi ternyata lebih rendah tiap tahun. Sektor pertanian tumbuh sebagai berikut: 3,37% (2015); 3,92% (2016); 3,89% (2017); 3,64% (2018); dan 1,77% (2019). Secara rata-rata hanya 3,32% per tahun.
Target pertumbuhan sektor pertanian diturunkan pada RPJMN 2020–2024, dan disajikan dalam nilai rentang batas atas dan batas bawah. Proyeksinya sebagai berikut: 3,7% (2020); 3,7–3,8% (2021); 3,8–3,9% (2022); 3,9–4,0% (2023); dan 4,0-4,1% (2024). Jika diambil titik tengah dari target maka secara rata-rata sebesar 3,86% per tahun.
Realisasi ternyata lebih rendah tiap tahun. Sektor pertanian tumbuh sebagai berikut: 1,87% (2020), 2,25% (2021), 1,3% (2022), 2,86% (2023), dan 2,75% (2024). Secara rata-rata hanya terealisasi 2,21% per tahun.
Kegagalan membangun sektor pertanian selama era Jokowi sangat terlihat pada kinerja subsektor tanaman pangan yang tumbuh lebih rendah dari sektor pertanian secara keseluruhan. Rata-rata hanya tumbuh 0,31% per tahun selama periode 2015–2024. Bahkan, mengalami kontraksi pada beberapa tahun.
RPJMN tahun 2015–2019 sebenarnya memberi penekanan yang cukup besar pada upaya peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi dalam negeri. Beberapa produk diberi perhatian khusus yang dilengkapi dengan target kuantitatif. Antara lain padi, kedelai, jagung, daging sapi, dan gula. Begitu pula RPJMN 2020–2024, meski sebagian target tidak disebut kuantitasnya.
Realisasinya, produksi sebagain besar tanaman pangan justeru menurun dan sebagian lagi meningkat dengan laju yang amat rendah atau mengalami stagnasi.
Sebagai contoh, perhitungan produksi padi dengan metode baru mencatat produksi tahun 2018 sebesar 59,20 juta ton menjadi 53,98 juta ton pada 2023. Produksi kedelai merosot dari 955 ribu ton pada 2014 menjadi 349 ribu ton pada 2023. Produksi gula menurun dari 2,58 juta ton pada 2014 menjadi 2,40 juta ton pada 2023.
Beberapa produksi komoditas pangan hanya sedikit meningkat atau mengalami stagnasi. Produksi jagung dari 19,01 juta ton (2014) menjadi 19,98 juta ton (2023). Produksi daging sapi dari 497.669 ton (2014) menjadi 503.507 ton (2023). Produksi susu dari 800.751 ton (2014) menjadi 837.223 ton (2023).
Indeks Ketahanan Pangan Global atau Global Food Security Index (GFSI) dari Food and Agriculture Organization (FAO) menjadi salah satu indikator yang sering dipakai untuk mengukur kondisi pangan banyak negara. Pada era Jokowi pertama, skornya sempat meningkat hingga mencapai 63,60 pada tahun 2018.
RPJMN 2020–2024 dengan optimistis kemudian menargetkan skor 95,20 pada tahun 2024. Ternyata, skornya justeru cenderung menurun sejak tahun 2019, dan hanya 60,2 pada tahun 2022. Peringkat Indonesia pun masih tertahan di urutan 63 dari 113 negara.
Empat komponen yang diperhitungkan dalam GFSI adalah: keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan, serta keberlanjutan dan adaptasi pangan. Faktor ketersediaan dan keterjangkauan cukup banyak ditopang oleh impor.
Sebagian besar komoditas tanaman pangan pada tahun 2023 mengalami defisit neraca perdagangan, nilai impor melebihi nilai ekspor. Antara lain: beras, gandum, jagung, kedelai, dan gula. Begitu pula dengan produk peternakan, seperti daging sapi dan susu. Bahkan, sayur-sayuran dan buah-buahan telah mengimpor lebih banyak dibanding mengekspor.
Secara umum dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa sektor pertanian tidak berhasil dibangun selama era Jokowi. Hal itu terkonfirmasi pula oleh tidak sejahteranya petani, dan bahkan separuh dari keluarga miskin memiliki kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian. [adj]