Efisiensi anggaran atau manipulasi postur APBN? Di balik pidato Prabowo dan angka-angka yang dilemparkan, tersembunyi ketidakjelasan yang bisa mengguncang stabilitas fiskal.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
KEKISRUHAN informasi rencana efisiensi sebagaimana disinggung tulisan bagian satu disebabkan pidato Prabowo pada 15 Februari dalam acara partai Gerindra. Rencana tiga putaran pemangkasan anggaran, masih belum jelas apakah telah mencakup perintah Inpres No.1/2025 dan Surat Edaran Menteri Keuangan.
Jika dianggap mencakup pun, timbul beberapa masalah karena paparannya tidak mengikuti kaedah yang lazim dalam numenklatur, bahkan postur APBN. Istilah efisiensi atau pemangkasan secara logis hanya terkait belanja. Jika mau diperluas termasuk pembiayaan yang bersifat pengeluaran.
Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja Negara mencakup semua pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran yang mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan kewajiban negara, serta tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh negara di waktu mendatang.
Dalam konteks APBN, pengertian belanja negara lebih sempit dari pengeluaran negara. Pengeluaran negara merupakan uang yang keluar dari kas negara. Ada pengeluaran yang akan diterima kembali di masa mendatang, sehingga tidak dimasukkan ke dalam belanja. Contoh: pemberian pinjaman dan investasi untuk BUMN, BLU dan Badan Lainnya.
Belanja Negara terdiri dari dua kelompok, yaitu Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer ke Daerah (TKD). BPP dibelanjakan langsung oleh Pemerintah Pusat untuk kegiatan operasional maupun Pembangunan. Sedangkan TKD merupakan belanja pemerintah pusat yang diserahkan kepada pemerintah daerah, dan masuk dalam APBD.
Salah satu yang disebut efisiensi berupa pengalihan laba badan usaha milik negara (BUMN) sebesar Rp300 triliun kepada Danantara. Bagian laba BUMN merupakan item dalam Pendapatan, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang ditargetkan sebesar Rp90 triliun oleh APBN 2025.
Cukup membingungkan tema besar efisiensi anggaran, yang dipotong atau dipindahkan justeru pendapatan. Bahkan besaran Rp300 triliun pun seolah dipaksakan, mengingat nilainya hanya kisaran Rp80 triliun pada tahun 2023 dan 2024. Jika yang dimaksud berupa laba BUMN keseluruhan, maka perlu diingat ada bagian publik, karena tidak sepenuhnya milik Pemerintah.
Pada saat bersamaan, dikatakan Rp100 triliun akan disalurkan untuk penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN, yang direncanakan sebesar Rp44,25 triliun pada APBN 2025. PMN tidak bisa dialokasikan begitu saja, tanpa ada penetapan dalam APBN yang merupakan Undang-Undang. Bahkan, alokasi PMN selalu dilengkapi dengan proposal atau rencana bisnis dari BUMN yang akan diberi, bukan secara suka-suka Pemerintah.
Perubahan Postur APBN setelah Efisiensi
Hasil pemotongan belanja yang ditargetkan mencapai Rp306 triliun versi Inpres atau sebesar Rp750 triliun versi pidato Prabowo tadi sebenarnya belum dipastikan realokasinya. Salah satu yang banyak disebut adalah untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Akan tetapi, belum diketahui pula apakah itu berarti menambah alokasi Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai salah satu Lembaga setingkat Kementerian. Atau tersebar dalam beberapa Kementerian dan Lembaga. Sejauh informasi yang beredar hanya akan ditambah Rp100 triliun, menajdi Rp171 triliun. Artinya masih belum jelas alokasi sekitar Rp156 triliun versi Inpres atau Rp650 triliun versi pidato Prabowo.
Bisa saja, sebagian hasil pemotongan untuk mengatasi kesulitan fiskal sedang dialami. Target pendapatan APBN 2025 sebesar Rp3.005 triliun berisiko tidak tercapai. Jika rencana belanja tidak berubah, hanya direalokasi, maka defisit sangat mungkin melampaui Rp616 triliun dan rasionya mendekati 3%. Apalagi jika bagian laba BUMN sebesar Rp90 triliun tidak masuk APBN, maka defisit makin lebar.
Bagaimanapun untuk menimbang manfaatnya jika setelah dipotong kemudian dialokasikan, perlu dicermati rincian. MBG sendiri belum cukup jelas pola pelaksanaannya, sehingga sulit mengukur outcome, yang salah satu dinarasikan memberi efek pengganda pertumbuhan ekonomi. Termasuk mendorong UMKM.
Sedangkan, belanja yang akhirnya dipotong apa saja. Tidak cukup dengan narasi ATK, perjalanan dinas dan rapat saja. Dari informasi yang beredar, yang dipotong termasuk belanja modal beberapa K/L. Bagaimanapun, pemotongan ini berdampak pada perekonomian. Mesti Dihitung hasil bersih antara tambahan manfaat (outcome) dengan kehilangan yang terjadi.
Begitu pula masih belum bisa dinilai apakah tepat untuk kondisi ekonomi saat ini, yang antara lain dicirikan turunnya daya beli masyarakat. Nanti tergantung yang ternyata banyak dipangkas apakah program yang memiliki “keterkaitan” kuat atau rendah bagi dinamika ekonomi, khususnya dunia usaha.
Harus dinilai oleh banyak pengamat dan mungkin juga diakui pihak ahli anggaran pemerintah bahwa efektivitas penggunaan anggaran oleh kementerian dan lembaga masih rendah. Begitu pula dengan tingkat efisiensinya.
Efektivitas diukur dari kinerja capaian output (produknya) dan yang lebih penting outcome dan impact (dampak). Sebenarnya tiap kegiatan dan program dalam dokumen penganggaran telah dicantumkan target keduanya. Dengan demikian, kurang efektif bisa bersumber dari perencanaan (penganggaran) dan bisa dari pelaksanaannya.
Sedangkan efisiensi dilihat dari besarnya biaya (input) dibandingkan dengan output dan outcome. Ini juga bisa berasal dari perencanaan (penganggaran) dan realisasinya. Di kedua bagian proses itu selalu bisa terjadi “penyelewengan” dan atau karena memang boros.
Penulis menilai upaya efisiensi belanja merupakan langkah yang tepat. Namun, ketidakjelasan dan ketidakpastian sejauh ini justeru bisa memperburuk pengelolaan APBN. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setan anggaran bersembunyi dalam rincian. []