Di balik klaim optimisme pemerintah, data menunjukkan kinerja APBN 2025 triwulan pertama justru terburuk dalam empat tahun terakhir.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
SRI MULYANI menilai postur APBN sampai dengan akhir Maret sudah dalam situasi membaik. Alasan yang dikemukakan antara lain: penerimaan pajak bruto yang alami tren positif, belanja pemerintah masih on track, dan defisit masih dalam rentang kendali rencana setahun. Padahal, jika dicermati realisasi tiga bulan ini berkinerja lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya.
Realisasi Pendapatan Negara sampai dengan 31 Maret 2025 sebesar Rp516,1 triliun, atau 17,20% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp3.005,1 triliun. Lebih rendah dari capaian tahun-tahun lalu untuk kurun waktu serupa, yaitu: 22,14% (2022), 26,22% (2023), dan 22,11% (2024).
Realisasi itu tercatat turun sebesar 16,76% dibanding tahun lalu. Tahun 2024 pun sebenarnya telah alami penurunan, namun hanya sebesar 4,13%. Sedangkan pada tahun 2022 dan 2023 justeru naik, masing-masing sebesar 32,26% dan 28,98%.
Realisasi Penerimaan Perpajakan sebagai bagian dari Pendapatan Negara sebesar Rp400,1 triliun atau mencapai 16,10% dari target APBN 2025. Lebih rendah dari capaian tahun-tahun lalu, yaitu: 22,56% (2022), 24,96% (2023), dan 20,04% (2024).
Realisasi itu juga turun sebesar 13,57% dibanding tahun lalu. Tahun 2024 pun telah alami penurunan sebesar 8,24%. Sedangkan pada tahun 2022 dan 2023 justeru naik, masing-masing sebesar 38,57% dan 25,36.
Penurunan penerimaan perpajakan merupakan indikasi daya beli masyarakat turun dan kinerja ekonomi melambat. Bisa ditambahkan pelaksanaan “coretax” yang masih bermasalah. Akan tetapi, pemerintah masih “denial” dengan mengklaim daya beli masih kuat dan perekonomian tetap tumbuh sesuai target, serta tidak jelas mengakui adanya masalah “coretax”.
Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sampai dengan 31 Maret 2025: Rp115,9 triliun atau 22,60% dari target APBN 2025. Meskipun tidak terlampau buruk, masih lebih rendah dari capaian tahun 2023 dan 2024, yang masing-masing sebesar 32,28% dan 31,85%.
Realisasi PNBP itu mengalami penurunan sebesar 26,04% dibanding tahun sebelumnya. Terutama karena turunnya harga komoditas di pasar dunia. Jika rencana laba BUMN sebagai bagian dari PNBP sebesar Rp90 triliun diserahkan kepada Danantara, maka capaian setahun akan berisiko jauh lebih rendah dari target APBN.

Sementara itu, realisasi Belanja Negara yang diklaim “on track” telah mencapai Rp620,3 triliun atau 17,10% dari target APBN yang sebesar Rp3.621,3 triliun. Meningkat 1,37% dari realisasi tahun lalu. Padahal, sempat ada pemblokiran berbagai pos Belanja sekitar sebulan karena proses efisiensi APBN.
Pemblokiran tampak cukup berpengaruh pada realisasi Belanja Pemerintah Pusat yang turun 3,37% dibanding tahun lalu. Akan tetapi, realisasi Transfer ke Daerah (TKD) masih mencapai 22,50% dari target, dan naik 12,36% dibanding tahun lalu. Bisa dikatakan kinerja TKD cukup wajar karena harus dilakukan terkait dengan layanan publik yang wajib di daerah.
Salah satu yang mengherankan adalah belum adanya keputusan dan publikasi resmi dari kebijakan efisiensi anggaran. Sampai acara sarasehan ekonomi 8 April lalu, Sri Mulyani masih mengatakan postur APBN tidak berubah. Sejauh ini berarti, rencana Belanja masih seperti semula.
Realisasi Pendapatan dan Belanja seperti di atas mengakibatkan defisit sebesar Rp104,2 triliun untuk realisasi satu triwulan ini. Secara persentase merupakan 16,90% dari target yang sebesar Rp616,19 triliun. Menjadi alasan Sri Mulyani mengatakan defisit masih terkendali.
Padahal, kurun waktu serupa pada tiga tahun sebelumnya berturut-turut dialami surplus. Nilai surplusnya sebagai berikut: Rp11,09 triliun (2022), Rp128,09 triliun, (2023), dan Rp8,07 triliun (2024).
Bahkan, persentase defisit atas target setahun ternyata lebih buruk dari saat pandemi. Meski juga defisit, persentase realisasi triwulan pertama atas target defisit setahun hanya 7,38% pada 2020 dan 14,28% pada 2021.
Akibat langsung dari defisit yang cukup lebar itu maka pembiayaan utang pun melonjak, mencapai Rp270,4 triliun. Merupakan 34,08% dari target setahun sebesar Rp775,87 triliun. Persentase paling tinggi selama kurun waktu serupa pada tahun-tahun lalu, yaitu: 15,40% (2022), 32,30% (2023), dan 16,30% (2024).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa ini sebagai strategi “front loading” dan diklaim memenuhi target pembiayaan secara on-track. Alasan yang dikemukakan berupa cost of fund tetap efisien dan risiko yang terus dimitigasi.
Sama sekali tidak diakui adanya kesulitan arus kas (cashflow). Padahal secara sepintas saja tampak sebagai contoh pembayaran THR jelang lebaran sebesar Rp49 triliun tak bisa dilakukan jika tidak berutang lebih awal.
Perlu diketahui bahwa sampai dengan 31 Maret 2025, meski defisit terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran sebesar Rp145,8 triliun. Artinya, ada persiapan pula bahwa bulan April dan Mei masih ada kesulitan arus kas. Besaran ini tidak ditampilkan dalam paparan Menkeu saat sarasehan lalu, namun bisa Dihitung dari data defisit dan pembiayaan anggaran.
Secara keseluruhan penulis menilai kinerja triwulan pertama APBN 2025 tidak baik-baik saja, bahkan buruk. Jika rencana efisiensi anggaran tidak segera dipastikan, atau ternyata hanya realokasi pos-pos belanja, maka defisit terancam akan melebar dari targetnya. []