Apa jadinya jika pemerintah secara tak langsung mengakui ekonomi sedang tidak baik-baik saja, namun tetap membungkusnya dengan narasi optimis?
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
FAKTOR eksternal atau global yang memburuk kembali menjadi pembenaran Sri Mulyani atas turunnya sasaran fiskal tahun 2026. Penyampaian Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) pada rapat dengan DPR mengedepankan narasi dampak perubahan yang drastis dan dramatis dari lanskap tatanan dan tata kelola dunia.
Sederhananya, ekonomi dunia dinilai sedang tidak baik-baik saja sehingga Indonesia pun terdampak alami kesulitan. Akan tetapi, sebagaimana biasa Sri Mulyani mengklaim kita masih lebih baik dari kebanyakan negara lain Bahkan, belum ada pengakuan tegas dan jelas tentang kondisi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
Bagaimanapun, postur makro fiskal tahun 2026 bisa dibaca sebagai pengakuan keadaan tahun depan tidak cukup baik. Postur makro fiskal dalam KEM-PPKF dimaksud antara lain terdiri dari: Pendapatan Negara, Belanja Negara, Keseimbangan Primer, Defisit Anggaran, dan Pembiayaan. Besaran disajikan dalam rasio atas Produk Domestik Bruto (PDB) dengan nilai rentang batas bawah dan batas atas.
Postur Pendapatan Negara tahun 2026 tampak “lebih buruk” dari APBN 2025 dan rata-rata realisasi selama dua dekade terakhir. Sedangkan postur jangka menengah, dari 2027 sampai dengan 2029 justeru tampak tidak realistis. Dinyatakan dalam rentang yang lebar tiap tahunnya, sehingga batas atas lebih merupakan harapan dibanding sebagai target atau sasaran.
Postur Pendapatan Negara
Target rasio pendapatan negara KEM-PPKF 2026 dinyatakan kisaran 11,71%-12,22% dari PDB. Padahal, realisasi APBN 2024 telah mencapai 12,84%, dan ditargetkan APBN 2025 sebesar 12,36%.
Target yang cukup realistis, namun sekaligus pengakuan Pemerintah atas kesulitannya meningkatkan pendapatan. Bahkan, target APBN 2025 yang telah lebih kecil dari realisasi 2024 saja kemungkinan tidak tercapai.
Narasi Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, seolah masih menolak mengakui (denial) kinerja pendapatan negara yang menurun. Penurunan telah dinilai banyak ekonom dan pengamat sebagai indikasi pelemahan aktivitas ekonomi atau kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja.
Target Pendapatan Negara KEM-PPKF 2026 dalam rentang tadi jika dinyatakan dalam nilai tengahnya, hanya sebesar 11,97% dari PDB. Padahal rata-rata kinerjanya pada 2015-2024 mencapai 12,55%, sudah termasuk era pandemi 2020-2021. Bahkan, rata-rata pada 2005-2014 mencapai 16,50%.
Penurunan target KEM PPKF 2026 tampaknya didasari kinerja 2024 dan satu triwulan 2025. Meski Pemerintah yakin ada perbaikan pada tiga triwulan sisa, namun tidak tampak dalam besaran proyeksi. Terbacanya, kinerja pendapatan negara pada 2025 disadari tidak akan mencapai target APBN.
Rasio perpajakan sepintas tidak mengalami penurunan target dinyatakan kisaran 10,08%-10,45% atau dengan nilai tengah sebesar 10,27%. Lebih besar dari realisasi 2024 sebesar 10,08% dan target APBN 2025 sebesar 10,24%. Namun target juga diturunkan jika dilihat batas bawah yang 10,08%.
Perlu diketahui bahwa rata-rata kinerja 2015-2024 sebesar 9,93%. Sudah termasuk saat pandemi 2020 dan 2021, sebesar 8,33% dan 9,12%. Sementara itu, kinerja era 2005-2014 mencapai 11,68%.

Postur Penerimaan Perpajakan jangka menengah tahun 2026-2029 terkesan bersifat harapan, karena berupa rentang yang lebar antara batas bawah dan batas atas. Sasaran batas bawah justeru realistis. Batas bawah sebagai berikut: 2026 (10,08%), 2027 (10,29%), 2028 (10,75%), dan 2029 (11,52%). Sedangkan batas atasnya tampak terlampau tinggi, yaitu: 2026 (10,45%), 2027 (11,39%), 2028 (13,13%), dan 2029 (15,01%).
Yang mengalami penurunan target secara signifikan adalah Penerimaan negara Bukan Pajak (PNBP), yang kisaran 1,63%-1,70% atau dengan nilai tengah sebesar 1,67% pada 2026. Bahkan, sasaran 2027-2029 lebih rendah lagi. Padahal asumsi atau target APBN 2025 sebesar 2,11%.
Bandingkan dengan realisasi rasio PNBP APBN 2024 yang sebesar 2,48%. Rata-rata kinerja periode 2015-2029 sebesar 2,53% per tahun. Bahkan, rata-rata kinerja periode 2005-2014 mencapai 2,53% per tahun.
Hal ini terutama berkaitan dengan proyeksi harga komoditas yang dianggap tidak akan naik dan bahkan mungkin menurun. Sementara produksi belum diyakini akan meningkat signifikan.
Bisa pula ditafsirkan faktor lain, yaitu dipindahkannya bagian laba BUMN yang biasa diterima PNBP menjadi ke Danantara. Jika benar demikian, maka menimbulkan pertanyaan bagaimana kontribusi Danantara dan BUMN dalam Pendapatan Negara di masa mendatang.
Bagaimanapun, asumsi Pendapatan Negara dalam KEM-PPKF 2026 sudah cukup realistis. Pemerintah tampaknya menyadari risiko “crowding out” bagi perekonomian jika menaikannya “secara paksa”. Persoalan serius adalah pada proyeksi tahun-tahun berikutnya yang batas bawahnya sangat pesimis, dan batas atasnya terlampau optimis. []