Klaim kestabilan NPI tampak berlebihan mengingat tren defisit transaksi berjalan dan finansial yang berlanjut serta proyeksi IMF yang menunjukkan pelebaran defisit hingga tahun 2030.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
“Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I-2025 tetap terjaga di tengah perlambatan ekonomi global,” menjadi judul siaran pers Bank Indonesia pada 22 Mei lalu. Klaim yang berlebihan karena kondisinya defisit sebesar US$787 juta. Padahal, NPI lebih sering alami surplus.
Dikemukakan bahwa defisit transaksi berjalan tetap rendah, hanya defisit US$177 juta. Kinerja ini memang lebih baik dari Triwulan I-2024 atau setahun sebelumnya. Namun, jauh lebih buruk jika dibanding tahun 2022 dan 2023.
Disampaikan pula kinerja transaksi modal dan finansial tetap terkendali di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat, sehingga hanya defisit sebesar US$331 juta. Padahal, kinerja neraca ini biasanya surplus, dan jarang alami defisit.
Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia
NPI merupakan catatan transaksi internasional penduduk Indonesia dengan nonpenduduk secara keseluruhan dalam sudut pandang Indonesia. Ada transaksi yang bersifat penerimaan dan ada yang bersifat pembayaran. Surplus berarti penerimaan lebih besar dibanding pembayaran, sedangkan sebaliknya disebut defisit.
Selama periode 1981-1996 dialami surplus sebanyak 12 kali, dan defisit sebanyak 4 kali. Pada tahun 1997 dan 1998 dialami defisit yang lebar. Selama periode tahun 1999-2024 dialami surplus sebanyak 18 kali dan defisit 7 kali. Dengan demikian, kondisi defisit pada Triwulan I-2025 jelas bukan lah kinerja yang baik.
Terdapat dua kelompok transaksi dalam Neraca Pembayaran. Kelompok pertama adalah transaksi yang tidak mengakibatkan hak dan kewajiban lagi di waktu mendatang setelah transaksi selesai. Transaksi Berjalan merupakan neraca perdagangan seluruh barang dan jasa. Lebih luas dibanding neraca perdagangan barang yang biasa dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Selama era tahun 2012-2020 kondisi Transaksi Berjalan selalu mengalami defisit. Pada tahun 2021 dan 2022 mengalami surplus. Pada tahun 2023 dan 2024 kembali mengalami defisit. Sebagai catatan, pada era 1998-2011 selalu mengalami surplus. Sebelumnya lagi, tahun 1981-1997 selalu mengalami defisit.
Defisit Transaksi Berjalan Triwulan I-2025 memang terbilang kecil, namun memperkuat tren defisit pada tahun-tahun yang lampau. Mengingat kondisi global yang penuh ketidakpastian dalam artian buruk, maka diprakirakan defisit akan bertambah hingga akhir tahun.
Kelompok kedua dari neraca pembayaran merupakan transaksi yang berdampak pada hak dan kewajiban di waktu mendatang, disebut sebagai Transaksi Finansial. Baik yang bersifat utang piutang ataupun bersifat investasi. Sebagai contoh hak dan kewajiban itu berupa pengembalian pokok utang, pembayaran bunga utang, pembayaran keuntungan, dan hal lain yang serupa.
Neraca Transaksi finansial selama belasan tahun hampir selalu bersifat arus masuk bersih. Lebih banyak modal finansial yang masuk dibandingkan yang keluar. Nilai surplus nya menurun signifikan pada tahun 2020 dan 2021, dan kemudian mengalami defisit sebesar US$9,16 miliar pada 2022.
Neraca Transaksi Finansial kembali mencatatkan surplus sebesar US$9,85 miliar pada 2023 dan US$17,48 miliar pada 2024. Namun besaran surplus masih lebih kecil dibanding era prapandemi. Dengan demikian, kinerja defisit pada Triwulan I-2025 tidak layak diklaim sebagai tetap terkendali.
Proyeksi Transaksi Berjalan Ke Depan
Transaksi Berjalan terdiri dari empat komponen yang juga berbentuk neraca. Yaitu: necara barang Jasa-jasa, Pendapatan Primer dan Pendapatan Sekunder. Neraca barang dan Pendapatan sekunder masih cenderung surplus sebagaimana biasa. Namun neraca jasa-jasa dan Pendapatan Primer juga terus mengalami defisit
Neraca Jasa-Jasa mencakup antara lain: jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa keuangan, jasa bisnis lainnya, biaya penggunaan kekayaan intelektual, dan lain-lain. Neraca ini selalu mengalami defisit, dengan kecenderungan makin lebar. Hal ini masih berlanjut pada Triwulan I-2025 yang alami defisit sebesar US$5,44 miliar.
Pendapatan Primer mencakup pendapatan investasi dan kompensasi tenaga kerja, dengan dominasi porsi pendapatan investasi. Neraca ini selalu defisit dengan kecenderungan melebar, dan kinerja pada Triwulan I-2025 melanjutkannya. Penyebab defisit terutama besarnya pembayaran pendapatan investasi dari modal asing yang operasional di Indonesia.
Pada April 2025, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan peningkatan defisit Transaksi Berjalan Indonesia hingga tahun 2030. Diproyeksikan sebagai berikut: US$21,21 miliar (2025), US$24,49 miliar (2026), US$23,87 miliar (2027), US$24,76 miliar (2028), US$26,44 miliar (2029), dan US$28,51 miliar (2030).
Pemerintahan Prabowo pun tampaknya menyadari soalan ini, sehingga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 memproyeksikan Transaksi Berjalan masih akan defisit hingga 2029. Defisit diproyeksikan sebesar US$11,87 miliar pada 2025 dan melebar menjadi US$25,80 miliar pada 2029.
Uraian di atas memperlihatkan data-data tidak terlampau mendukung klaim Bank Indonesia tentang kondisi yang disebut terjaga. Kata terjaga memang bisa ditafsirkan kondisinya tidak terlampau buruk. Namun, kondisi umum NPI sebenarnya belum membaik, bahkan perlu diwaspadai. []