Frasa new normal punya akar yang kuat dalam diskursus ekonomi.
TIDAK asing dengan istilah new normal, bukan? Ini adalah frasa yang sering kita dengar beberapa tahun silam saat pandemi COVID-19 merebak.
Belakangan, new normal acap digunakan untuk menunjukkan situasi tidak lazim yang muncul setelah adanya disrupsi dalam konteks apapun. Padahal, sebetulnya istilah ini punya akar yang kuat dalam konteks ekonomi.
Frasa ini mula-mula populer saat krisis keuangan merebak di Amerika Serikat tahun 2007–2008. New normal dijabarkan dalam pengertian bahwa kondisi ekonomi pasca-krisis tidak akan pernah kembali normal sebagaimana sebelumnya.
Bloomberg, ABC News, BBC News, dan New York Times adalah beberapa media yang kala itu memopulerkan istilah ini. Artikel-artikel bertajuk new normal umumnya ditulis dengan nada pesimistis, bahwasanya, pertumbuhan ekonomi tidak akan tinggi seperti dulu, harga-harga tidak akan murah seperti dulu, dan standar hidup masyarakat tidak akan sebaik seperti dulu.
New normal sebagai istilah muncul sangat fenomenal kala itu. Ini membuat beberapa ahli bahasa mulai melacak bagaimana penggunaan new normal di masa lalu. Rupanya, istilah ini sudah muncul sejak Perang Dunia pertama, persinya tahun 1918.
Penggunaan istilah new normal sekaligus konsepsi-konsepsi terhadapnya kemudian berlaku surut. Ia tidak lagi dipakai untuk hanya menjelaskan krisis 2007–2008.
Istilah new normal juga dipakai menjelaskan disrupsi setelah Perand Dunia II, ekonomi setelah lahirnya internet medio 90-an, situasi ekonomi pasca-terorisme 11 September 2001, flu burung 2005, resesi ekonomi Cina 2012, dan terakhir, pandemi COVID-19 beberapa tahun silam. []
Ikuti artikel menarik BARISANDATA atau pembahasan ISTILAH EKONOMI lainnya.