Raja Bhutan Jigme Singye memakai Kebahagiaan Nasional Bruto (KNB) untuk mengukur keberhasilan pembangunan.
JIGME Singye Wangchuk nama lengkapnya. Pada 1972, ia naik takhta menjadi raja Bhutan saat usianya masih 16 tahun. Bhutan, sebuah negara kecil di antara India dan Cina itu, disebut banyak mengalami kemajuan saat dipimpinnya.
Mungkin, Jigme Singye adalah satu-satunya raja Bhutan yang dikenal dunia secara luas. Terutama setelah ia memperkenalkan konsep Kebahagiaan Nasional Bruto.
Di tengah negara dunia berlomba menghitung output nasionalnya dengan memakai Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai alat ukur, Raja Jigme Singye lebih memilih memakai Kebahagiaan Nasional Bruto (KNB) sebagai ukuran keberhasilan pembangunan negara Bhutan.
Jadi, menurut Jigme Singye Wangchuk, keberhasilan pembangunan tidak cukup dilihat hanya dari seberapa banyak produk dihasilkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tapi, harus juga diperhatikan sejauh mana kebahagiaan dirasakan oleh segenap rakyatnya.
Mula-mula, ide Jigme Singye ini dianggap retorika kosong yang tidak memperbaiki apapun. Para kritikus menilai KNB tidak lebih semacam kesadaran palsu untuk menutupi fakta bahwa, di balik itu, ada realitas kemiskinan yang tak tertanggulangi dengan baik.
Namun belakangan, seiring ide-ide kapitalisme yang dianut negara-negara modern mulai disorot, keberadaan KNB menjadi penting atas kemampuannya memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan yang bersifat non-ekonomi.
Ada 4 pilar utama dalam KNB, yaitu: pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan; pelestarian lingkungan; pelestarian dan promosi budaya; dan pemerintahan yang baik.
Pada dasarnya, konsepsi KNB merupakan ejawantah nilai-nilai ajaran Buddha tentang kekayaan dan kebahagiaan. Buddha ialah agama yang dipeluk mayoritas rakyat Bhutan.
Menurut Buddha, kekayaan merupakan salah satu sumber kebahagiaan (atthi sukha). Alih-alih dihindari, mengumpulkan kekayaan justru adalah hal yang baik sejauh dilakukan dengan jalan yang benar.
Sebagaimana dijelaskan Y.M Bhikkhu Suguno dalam buku Ekonomi Kerakyatan (2014: 86), Buddha melihat kekayaan sebagai anavajja sukha, yaitu sarana mencapai kebahagiaan diri sendiri dan orang lain. Jalan untuk mengumpulkan materi sebaiknya dengan usaha dan semangat yang tinggi (utthana-viriyadhigatehi), dengan keringat sendiri (sedavakkitehi) dan lewat jalan Dhamma (dhammikehi-dhammaladdhehi).
Adapun kebijaksaan Buddha selalu menekankan pentingnya menghindari keserakahan (lobha) dan kebencian (dosa) saat menjalankan sebuah ekonomi. Dua hal itu adalah sumber kegagalan seseorang untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Gagasan-gagasan lama inilah yang digali oleh Raja Jigme Singye dan diterapkan dalam penghitungan KNB.
Banyak kalangan menilai kemunculan KNB tepat waktu. Dewasa ini, ekonomi dunia telah digerakkan kehendak tak terbatas untuk menumpuk kapital, tanpa pernah menimbang konsekuensi yang timbul. Alih-alih membahagiakan, justru kenyataanya manusia selalu dibuat merasa serba kekurangan oleh ekonomi kapitalistik ini.
Sejumlah pujian kepada gagasan KNB Raja Jigme Singye kemudian bermunculan. Jody Rosen, jurnalis New York Times, menyebut KNB sebagai, “Sebuah etos kelanggengan lingkungan, pelestarian budaya, dan berkah ‘holistik’ yang membuat Bhutan populer dalam lingkaran pembangunan internasional dan di antara para pencari pencerahan zaman baru.”
Tidak hanya berhenti sebagai gagasan. Penelitian yang dijalankan University of Leicester pada tahun 2006 mendapati bahwa rakyat Bhutan termasuk orang-orang paling berbahagia di dunia, sebagaimana dicatat Lorenzo Fioramonti dalam bukunya (2017: 124).
Meskipun termasuk negara rendahan kalau memakai perhitungan PDB (dengan PDB per kapita hanya US$3.391 pada tahun 2020), Bhutan selalu dapat bersaing dengan negara-negara kaya kalau urusan tingkat kebahagiaan.
Mengukur yang Penting
Saat berkesempatan memaparkan gagasannya di hadapan PBB pada tahun 2011, Negara Bhutan mendapat perhatian hampir bulat oleh 68 negara anggota. Tak kurang-kurang, Kebahagiaan Nasional Bruto disebut-sebut sebagai “pendekatan holistik untuk pembangunan”.
Berangkat dari situ, diadakan pertemuan lanjutan di bulan April 2012. PBB menggelar Pertemuan Tingkat Tinggi untuk merumuskan ulang definisi kesejahteraan. Acara tersebut bertajuk: “Happiness and Wellbeing: Defining a New Economic Paradigm.”
Singkat cerita, akhirnya dunia menyepakati bahwa kebahagiaan adalah ukuran penting yang tidak boleh diabaikan dalam penyusunan kebijakan ekonomi. Sejak saat itu, PBB juga mulai berkala merilis Laporan Kebahagiaan Dunia, di mana negara-negara diperingkat menurut kebahagiaan yang dilaporkan oleh warga-negaranya sendiri-sendiri.
Raja Jigme Singye sudah turun takhta pada tahun 2006 yang lalu, digantikan anaknya, Jigme Khesar Namgyel. Walau tidak lagi bertindak sebagai raja, nama Jigme Singye masih dirayakan oleh rakyat Bhutan, atas keberhasilannya membawa kerajaan kecil itu masuk dalam resonansi percakapan dunia.
Hari ini, membicarakan hubungan orang Bhutan dengan kebahagiaan sama halnya membicarakan orang Prancis dengan anggur, atau membahas orang Brasil dengan sepak bola. []
Ikuti artikel menarik BARISANDATA atau pembahasan TOKOH lainnya.