Maraknya batik impor dari Cina adalah pertanda buruk bagi eksistensi perajin lokal.
EKSISTENSI batik Indonesia, warisan budaya yang kaya akan sejarah dan nilai tradisional, yang telah menjadi identitas bangsa, tengah menghadapi ancaman. Beberapa sentra batik di Indonesia terancam gulung tikar karena maraknya impor batik print dari Cina.
Produk batik impor dari Cina tidak hanya menawarkan motif dan desain tradisional batik khas Indonesia, tetapi juga harga yang lebih murah.
Sebagai gambaran, batik impor yang dijual grosiran di sejumlah tempat hanya dipatok Rp40–50 ribu. Ini harga yang kelewat murah, sementara batik lokal biasanya dipatok di kisaran Rp150 ribu atau lebih.
Maraknya batik impor dari Cina adalah pertanda buruk bagi eksistensi perajin lokal. Perajin kita seperti dipecundangi dua kali. Pertama desain mereka ditiru. Kedua pasar mereka direbut.
Padahal, pada saat-saat sekarang, para perajin lokal hanya bisa mengandalkan penjualan domestik. Hal ini lantaran lesunya pasar internasional, sehingga pesanan batik dari luar negeri cenderung sepi.
Banyak produsen batik lokal yang merasa terdesak dalam persaingan sudah gulung tikar.
Ini ironis. Sentra batik di Indonesia seharusnya menjadi sumber kebanggaan nasional. Pemerintah bukannya menolong, justru cenderung membiarkan industri lokal dikalahkan pasar.
Gempuran produk impor ini diprediksi masih bakal berlanjut hingga tahun-tahun mendatang. Apalagi, pemerintah sudah mengecualikan batik dari produk-produk impor yang dibatasi lewat Peraturan Menteri Perdagangan 36/2023 yang diteken 11 Desember tahun kemarin.
Aturan ini membuka peluang lebih besar bagi importir batik mengambil keuntungan. Permendag 36/2023 memberi kemudahan untuk melakukan impor batik dan tidak rumit.
Batik boleh diimpor selama ia menjadi keperluan instansi pemerintah dan memenuhi kepentingan umum. Syaratnya sederhana, importir hanya perlu surat keterangan Direktur Jenderal atas nama Menteri, surat perintah kerja, dan surat keterangan yang menjelaskan tujuan penggunaan barang.
Padahal, sebelum aturan ini muncul, persyaratan impor batik lebih ribet dan berlapis, di antaranya harus punya kepemilikan angka pengenal importir umum dan angka pengenal importir produsen, surat rekomendasi dari Kemenperin, serta surat rekomendasi dari Kemenkop-UMKM.
Pemerintah agaknya perlu mempertimbangkan untuk meriviu aturan yang akan berlaku 90 hari sejak ia diundangkan. Jangan sampai produsen lokal terintimidasi oleh produk impor yang makin tak terbendung. []