Kinerja transaksi internasional tidak sesuai harapan pemerintah yang dicantumkan dalam RPJMN.
ASESMEN terkait tentang bagaimana barang dan jasa diproduksi, salah satunya dicermati dari kinerja transaksi internasional. Di antaranya yang utama adalah tentang kinerja perdagangan barang dan jasa, transaksi investasi dan utang piutang dengan pihak asing, perkembangan nilai tukar rupiah, dan cadangan devisa.
Terdapat berbagai indikator ekonomi yang biasa dipakai untuk menilai kinerjanya, dan dipergunakan dalam Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019. Salah satu yang menjadi acuan utama adalah neraca pembayaran, yang mencukup beberapa komponen dan indikator. RPJMN menyatakan bahwa berbagai langkah reformasi secara komprehensif dilakukan untuk meningkatkan kinerja neraca pembayaran.
Defisit transaksi berjalan diproyeksikan menurun dalam periode tahun 2015–2019, hingga menjadi US$7,7 miliar pada tahun 2019. Perbaikan terutama bersumber dari perbaikan neraca perdagangan barang, terutama peningkatan surplus perdagangan non-migas. Hal itu diharapkan menambah posisi cadangan devisa secara signifikan.
Ekspor nonmigas sendiri ditargetkan meningkat hingga mencapai US$250,5 miliar pada tahun 2019. Diproyeksikan mengalami pertumbuhan yang meningkat tiap tahun, yakni: 8,0% (2015); 9,9% (2016); 11,9% (2017); 13,7% (2018); dan 14,3% (2019). Atau rata-rata sekitar 11,56% per tahun.
Realisasinya, transaksi berjalan masih ditandai defisit yang lebar, dan masih sebesar US$30,38 milar pada tahun 2019. Sedangkan cadangan devisa hanya sebesar US$129,18 miliar pada akhir 2019, cukup jauh di bawah targetnya yang sebesar US$156,30 miliar.
Realisasi kinerja ekspor nonmigas ternyata sangat rendah dan berfluktuasi. Sempat mengalami kontraksi pada tahun 2015 dan 2019. Secara rata-rata, realisasinya jauh di bawah target, yakni sekitar 1,70% per tahun.
RPJMN 2015–2019 memproyeksikan nilai tukar rupiah stabil di kisaran Rp12.000 hingga tahun 2019. Realisasinya justeru terjadi pelemahan dari tahun ke tahun, hingga kisaran Rp14.250 pada tahun 2018 dan 2019.
Target dalam hal transaksi internasional atau neraca pembayaran tampak diturunkan pada RPJMN 2020–2024. Transaksi Berjalan hanya diupayakan terjaga pada defisit kisaran US$30 miliar per tahun. Dengan target yang “rendah” itu, realisasinya memenuhi dan bahkan melampaui target.
Pertumbuhan ekspor nonmigas pun diproyeksikan membaik perlahan hingga tumbuh mencapai 9,8% pada tahun 2024. Ekspor nonmigas mengalami kontraksi atau turun pada tahun 2020. Namun sempat tercatat tumbuh luar biasa tinggi pada tahun 2021 dan 2022. Kemudian kontraksi lagi pada tahun 2023 dan kemungkinan pada tahun 2024 berjalan ini.
RPJMN 2020–2024 tidak mencantumkan proyeksi nilai tukar dari tahun ke tahun. Hanya menyebut sepanjang tahun 2020–2024, nilai tukar stabil pada tingkat fundamentalnya untuk menjaga daya saing ekspor. Realisasinya, terjadi pelemahan nilai tukar secara perlahan dan diprakirakan hampir Rp16.000 pada akhir tahun 2024.
Posisi cadangan devisa diproyeksikan RPJMN meningkat dari tahun ke tahun, dan menjadi US$159,5 miliar pada tahun 2024. Target ini mungkin akan sulit tetap sulit tercapai, meski tak separah RPJMN sebelumnya, karena hingga akhir Agustus 2024 tercatat sebesar US$150,24 miliar. Namun perlu diketahui bahwa pada Agustus 2021, ada hadiah devisa dari IMF sebesar US$6,2 miliar.
Salah satu kelemahan yang disadari sejak awal dalam hal transaksi internasional dengan pihak asing adalah sektor jasa-jasa yang kurang berkembang baik di Indonesia. Indonesia tercatat selalu lebih banyak membayar penggunaan jasa asing dibanding menerima karena jasanya dipakai asing.
RPJMN 2020–2025 memproyeksikan menurunnya defisit neraca jasa-jasa tersebut. Nilai penerimaan atau ekspor jasa ditargetkan meningkat dari ke tahun, melampaui kenaikan pembayaran atau impor. Namun realisasinya masih jauh dari harapan, justeru impor yang melaju lebih cepat.
Sebagai contoh tahun 2023 yang sudah tersedia data realisasinya, ditargetkan ekspor jasa sebesar US$47,3 miliar dan impor sebesar US$52,3 miliar. Realisasinya, ekspor hanya mencapai US$33,43 miliar. Sedangkan nilai impor hampir sesuai proyeksi yakni sebesar US$51,35 miliar. Dengan demikian terjadi defisit sebesar US$17,92 miliar, jauh melampaui target yang US$4,9 miliar.
Dari uraian di atas, selama 10 tahun era Jokowi, kinerja transaksi internasional tidak sesuai harapan yang dicantumkan dalam RPJMN. Secara umum kinerjanya berdasar data neraca pembayaran tampak memburuk dari tahun ke tahun. Dan lebih buruk dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. [adj]