Posisi utang pemerintah yang terus meningkat, disertai dengan rasio utang terhadap pendapatan negara yang melampaui rekomendasi lembaga internasional, menunjukkan kondisi fiskal yang semakin rentan dan membebani keberlanjutan ekonomi nasional.
POSISI utang pemerintah sebesar Rp8.680,13 triliun per 30 November 2024. Terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.648,87 triliun dan Pinjaman sebesar Rp1.031,26 triliun. Kondisi ini dilaporkan oleh Kementerian Keuangan melalui publikasi APBN Kita edisi Desember 2024.
Jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2023 telah terjadi peningkatan sebesar Rp535 triliun. Sedangkan rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB) dilaporkan sebesar 39,20% pada 30 November 2024. Meningkat dari rasio per akhir 2023 yang sebesar 38,98%.
Dari sisa waktu sebulan diprakirakan posisinya masih akan bertambah menjadi sekitar Rp8.770 triliun. Selama bulan Desember masih akan ditarik utang baru, dari penerbitan SBN maupun pinjaman. Faktor lain adalah pelemahan nilai rupiah, yang akan menambah nominal utang dalam rupiah dari yang berdenominasi dolar Amerika.
Rasionya atas PDB pun diprakirakan akan meningkat menjadi 39,60%. Posisi utang yang bertambah sebesar Rp90 triliun, dan prakiraan PDB yang masih setara membuat rasionya meningkat.
Jika rasio utang dilihat menurut era pemerintahan, maka periode 2004-2014 berkurang 31,92% poin, dari 56,60% menjadi 24,68% terhadap PDB. Sedangkan pada periode 2014-2024 justeru bertambah 14,92% poin, dari 24,68% menjadi 39,60% terhadap PDB.
Jika dianggap peningkatan terutama karena adanya pandemi, maka tidak didukung oleh data. Pada lima tahun periode pertama Jokowi, rasio utang telah meningkat sebesar 5,55% poin. Dari 24,68% menjadi 30,23% terhadap PDB.
Sementara itu, rasio Utang Pemerintah atas Pendapatan Negara turut meningkat pada era Jokowi, dari 168,27% pada 2014 menjadi 319,45% pada 2024. Pendapatan diprakirakan dari data realisasi per 30 November dan potensi tambahan sebulan, sehingga mencapai Rp2.745 triliun. Artinya, posisi utang lebih dari tiga kali lipat pendapatan setahun.
Sebagai informasi, rasio ini melampaui rekomendasi batas aman dari dua lembaga internasional terpandang, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Reliefs (IDR). IMF memberi rekomendasi kisaran 90-150%. Sedangkan IDR merokemandasikan kisaran 92-167%.
Masalah paling utama dari utang pemerintah saat ini dan tahun-tahun mendatang adalah makin besarnya beban pembayaran. Beban dimaksud terdiri dari pembayaran bunga utang serta pelunasan pokok utang.
Nominal pembayaran bunga utang terus meningkat dari tahun ke tahun. APBN 2024 memprakirakan sebesar Rp498,96 triliun. Rasionya atas pendapatan negara yang diprakirakan sebesar Rp2.745 triliun pada 2024 akan sebesar 18,18%.
Rasio tersebut terbilang sangat rentan karena jauh melampaui rekomendasi IMF dan IDR. IMF memberi rekomendasi kisaran 7-10%. Sedangkan rekomendasi IDR berupa kisaran 4,6-6,8%.
Selain pembayaran bunga, pemerintah harus melunasi sebagian pokok utangnya. Baik dalam hal SBN yang jatuh tempo ataupun cicilan pokok dari pinjaman. Nilainya diprakirakan sebesar Rp800 triliun pada tahun 2024.
Dengan demikian, jumlah pembayaran beban utang mencapai Rp1.298,96 triliun pada tahun 2024. Rasionya atas pendapatan negara yang biasa dikenal sebagai Debt Service Ratio (DSR) pada tahun bersangkutan sebesar 47,32%.
Besaran DSR tersebut mengindikasikan kondisi yang kurang aman atau masih rentan. Rasionya telah melampaui rekomendasi IMF yang di kisaran 25-35%. Meskipun masih dalam rentang aman, namun cenderung meningkat ke batas atas rekomendasi IDR yang kisaran 28-63%.
Berdasar besaran APBN 2025, maka beberapa indikator di atas juga tidak akan membaik signifikan. Rasio utang atas PDB akan bertahan pada kisaran 39-40%. Rasio pembayaran bunga atas pendapatan meningkat menjadi 18,40%. Sedangkan dalam hal DSR hanya akan sedikit menurun menjadi 46%.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa beban pembayaran utang membuat ruang fiskal makin sempit. Dana untuk menjalankan operasional serta program unggulan dari pemerintahan baru tidak tersedia secara memadai. Bahkan, untuk memenuhi kewajiban pembayaran beban utang pun butuh berutang lagi. []