Data APBN menunjukkan sejumlah indikator pendapatan—pajak hingga PNBP—turun signifikan, menjadi sinyal kuat bahwa ekonomi sedang tidak baik-baik saja.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
REALISASI Pendapatan Negara sampai dengan 31 Oktober 2025 dilaporkan hanya sebesar Rp2.113,3 triliun. Kementerian Keuangan dalam siaran pers APBN Kita mengaku capaian itu merupakan 73,7% dari outlook atau laporan semester satu lalu. Sebenarnya, hanya 70,32% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp3.005,1 triliun.
Pada laporan semester satu lalu, Pemerintah memang telah memprakirakan (outlook) kinerja pendapatan negara setahun hanya akan sebesar Rp2.865,5 triliun atau 95,4% dari target APBN. Ada kemungkinan, realisasinya lebih rendah lagi hingga kisaran Rp2.800 triliun atau 93,18% dari target.
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, maka capaian pendapatan negara 2025 sampai dengan 31 Oktober menurun atau kontraksi sebesar 5,98%. Realisasi 10 bulan APBN selama ini tidak pernah alami penurunan, kecuali pada 2020 saat pandemi covid.
Perkembangan pendapatan negara kadang dinilai pula dari angka rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasar asumsi nilai PDB dalam rilis APBN Kita November 2025, maka rasionya hanya sekitar 11,80% pada akhir tahun nanti. Terendah selama ini, kecuali saat pandemi 2020 dan 2021.
Penerimaan Perpajakan sebagai komponen terbesar pendapatan tercatat hanya Rp1.708,3 triliun, yang dilaporkan sebagai 71,6% dari outlook. Sebenarnya jika berdasar target APBN 2025 yang sebesar Rp2.490,1 triliun, maka capaian baru mencapai 68,58%.
Pada laporan semester satu, Pemerintah telah memprakirakan kinerja penerimaan perpajakan negara setahun hanya akan mencapai Rp2.387,28 triliun atau 95,8% dari target. Harapan itu pun masih butuh kerja keras untuk dicapai. Tingkat ketidaktercapaian atau short fall perpajakan mungkin saja mencapai kisaran 5%.

Indikasi yang memperkuat kemungkinan itu adalah capaian penerimaan perpajakan hingga 31 Oktober 2025 yang menurun atau kontraksi sebesar 2,34% dibanding tahun lalu.
Sejauh ini, yang sedikit menahan laju penurunan penerimaan perpajakan adalah komponen penerimaan bea dan cukai. Tercatat masih tumbuh sebesar 7,6%, dan berpotensi berlanjut hingga akhir tahun anggaran.
Khusus penerimaan Pajak, yang tidak mencakup kepabeanan dan cukai, diprakirakan oleh laporan semester satu akan alami shortfall sebesar 5,1%. Ada kemungkinan kinerja setahun nanti akan lebih buruk dari. Dengan demikian fenomena shortfall pajak (tidak termasuk bea dan cukai), melanjutkan kinerja tahun 2024.
Menariknya, paparan APBN Kita beberapa bulan tahun 2025 ini menyajikan data penerimaan pajak, yang membedakan pajak bruto dan pajak neto. Ingin dikesankan bahwa sebenarnya penerimaan pajak secara bruto masih bertumbuh, meski secara neto kontraksi.
Contohnya selama 10 bulan ini, pajak bruto berhasil dihimpun sebesar Rp1.799,5 triliun, naik dari tahun lalu yang sebesar Rp1.767,13 triliun. Sedangkan secara neto, hanya Rp1.459,03 triliun atau turun dari Rp1.517,54 triliun. Meski demikian, yang dicantumkan sebagai penerimaan pajak tetap saja nilai netonya.
Selain itu, Kementerian Keuangan perlu memperjelas apakah yang mengurangi nilai bruto menjadi neto hanya restitusi pajak atau belanja perpajakan dalam arti luas. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026, disebut proyeksi belanja perpajakan tahun 2025 mencapai Rp530,3 triliun. Jika dilihat rincian, kemungkinan yang dimaksud nilai bruto hanya memperhitungkan sebagiannya.
Bagaimanapun, rasio perpajakan atas PDB tahun 2025 diprakirakan hanya sekitar 10%. Lebih rendah dari tahun 2022-2024. Padahal, Presiden Prabowo menargetkan kenaikan sejak masa kampanye dan dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029.
Kinerja tidak menggembirakan juga dialami Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PNBP sampai dengan 31 Oktober 2025 hanya sebesar Rp402,4 triliun. Diakui kementerian Keuangan sebagai atau 84,3% dari outlook, atau lebih baik dari penerimaan perpajakan. Namun jika dibandingkan dengan target APBN 2025 yang sebesar Rp513,64 triliun, maka hanya mencapai 78,35%.
Realisasi PNBP selama 10 bulan tahun 2025 tercatat menurun sebesar 15,7% dibanding kurun serupa pada 2024. Diprakirakan perhitungan setahun nanti, kontraksi akan lebih dalam alami penurunan signifikan hingga 18,34% dibanding realisasi APBN 2024. Bahkan secara nominal juga masih lebih rendah dibanding tahun 2022 dan 2024.
Kementerian Keuangan menjelaskan penyebab penurunan antara lain Pendapatan SDA Migas yang terkontraksi karena penurunan harga minyak mentah Indonesia dan lifting gas bumi; Pendapatan SDA Nonmigas yang terkontraksi karena moderasi harga batubara dan penurunan volume produksi, serta Pendapatan Kekayaan Negara yang Dipisahkan yang terkontraksi karena pengalihan ke BPI Danantara.
Bagaimanapun, secara umum sulit untuk dipungkiri bahwa penurunan pendapatan, terutama pajak, disebabkan kondisi perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja. Selama ini, pemerintah selalu denial atas kondisi ekonomi yang lesu. Padahal, kinerja fiskal memberi bukti yang kuat atas kondisi ekonomi setahun terakhir. Pemerintah mesti lebih mengakui kesulitan kondisi perekonomian, terutama yang berdampak besar pada sisi pendapatan. Data-data tersebut sebaiknya disikapi dengan disiplin fiskal yang lebih ketat. Oleh karena pendapatan dipastikan akan turun atau tidak mencapai target, maka sisi belanja lah yang lebih dikendalikan. []




