Utang pemerintah kembali menanjak tajam, menembus 9.450 triliun per Oktober 2025 dan memicu tanya besar tentang arah fiskal nasional.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
KEMENTERIAN Keuangan melalui siaran pers APBN Kita tanggal 20 November menyampaikan realisasi APBN sampai dengan 31 Oktober 2025. Dilaporkan Pendapatan Negara sebesar Rp2.113,3 triliun dan Belanja Negara sebesar Rp2.593 triliun. Dengan demikian, dialami defisit sebesar Rp479,7 triliun.
Pembiayaan anggaran sebagai upaya mengatasi defisit tercatat melebihinya, dan telah mencapai Rp532,9triliun. Meski tidak disajikan secara eksplisit, dari data itu bisa dihitung besaran sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA). SiLPA merupakan selisih antara pembiayaan anggaran dengan defisit sebesar Rp53,2 triliun.
Per definisi, Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Artinya ada yang bersifat penerimaan dan ada yang pengeluaran.
Penerimaan pembiayaan antara lain berupa penarikan utang, pengelolaan hasil aset, penerimaan cicilan pengembalian pemberian pinjaman, atau penerimaan kembali investasi. Pengeluaran pembiayaan antara lain berupa pembiayaan investasi, kewajiban penjaminan, pembayaran cicilan pokok utang, atau pemberian pinjaman.
Pembiayaan utang adalah penyebutan nilai penarikan utang baru dikurangi pelunasan pokok utang lama. Terdiri dari pembiayaan Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman. Biasa disajikan dengan nilai neto dalam postur APBN serta laporan APBN Kita, terutama dalam hal SBN.
Realisasi Pembiayaan utang sampai dengan 31 oktober 2025 secara neto mencapai Rp570,1triliun. Sedangkan pembiayaan non utang sebesar Rp37,2 triliun, yang secara neto bersifat pengeluaran.
Realisasi pembiayaan utang telah mencapai 73,48% dari rencana APBN 2025 yang sebesar Rp775,9 triliun. Pada laporan semester satu, pemerintah sedikit menurunkan rencana berutangnya menjadi Rp772,95 triliun. Namun, saat rilis APBN Kita lalu dikatakan outlook laporan semester hanya Rp731,5 triliun.

Sejak pertengahan tahun, Pemerintah tampak berupaya keras agar kebutuhan berutangnya lebih terkendali. Namun, defisit masih lebar terutama karena pendapatan negara yang terkontraksi. Upaya ini memaksa penambahan penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL), yang dilaporkan mendapatkan persetujuan DPR hingga sebesar Rp85,6 triliun.
Meski demikian, realisasi APBN sampai dengan 31 Oktober masih mencatatkan SiLPA, yang berarti berutang melebihi kebutuhannya. Bahkan, diklaim pemenuhan pembiayaan utang berjalan sesuai ontrack dan antisipatif. Antara lain dengan berbagai langkah mitigasi risiko, antara lain melalui prefunding, cash buffer yang memadai, serta active cash and debt management.
Salah satu yang kurang baik dari sisi keterbukaan informasi keuangan negara, APBN Kita selama tahun 2025 ini tidak menyajikan posisi utang Pemerintah. Informasi sempat disajikan pada APBN Kita Februari 2025 yang sudah di takedown. Rilis APBN Kita edisi November pun tidak menyajikan data posisi utang pemerintah per 31 Oktober.
Beberapa waktu lalu, kementerian keuangan mengatakan hanya akan menyajikan data posisi utang hanya tiap tiga bulan. Alasannya agar penyajian rasio utang atas PDB bisa disajikan lebih presisi, maka perlu menunggu publikasi dari BPS. Padahal, APBN Kita menyajikan defisit per 31 Oktober 2025 sebagai 2,02% dari PDB, yang berarti ada asumsi tentang PDB nominal.
Sebenarnya berdasar data pembiayaan utang yang disajikan bisa saja diprakirakan posisi utang itu. Nilai sebesar Rp570,1 triliun merupakan tambahan bersih (neto) utang dari 1 Januari sampai dengan 31 Oktober 2025.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menyajikan data posisi utang per 31 Desember 2024 sebesar Rp8.813 triliun. Dengan demikian posisi utang dtambah pembiayaan utang menjai sebesar Rp9.383triliun per 31 Oktober 2025.
Namun ada faktor lain yang perlu diperhatikan, yakni terjadi pelemahan nilai tukar rupiah antara 31 Desember 2024 dengan 31 Oktober 2025. Berdasar Kurs tengah Bank Indonesia yang biasa dipakai untuk perhitungan, yaitu dari Rp16.162 menjadi Rp16.640. Artinya melemah sekitar 2,96%.
Terdapat sekitar 28,5% dari utang pemerintah berdenominasi valuta asing, dan 90% dari itu adalah dolar Amerika. Ketika posisi utang dinyatakan dalam rupiah, maka ada tambahan nominal posisi utang. Tambahan posisi utang akibat pelemahan ini pada 31 Oktober 2025 diprakirakan mencapai Rp67 triliun.
Dengan perhitungan tadi, penulis memprakirakan posisi utang Pemerintah per 31 Oktober 2025 mencapai Rp9.450 triliun. Posisi ini kemungkinan akan terus bertambah hingga mencapai Rp9.600 pada akhir tahun 2025. Sedangkan rasionya atas PDB memang masih bertahan di kisaran 40%. []




