Posisi cadangan devisa April 2024 menurun sebanyak US$4,17 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
“CADANGAN Devisa April 2024 tetap tinggi” merupakan judul rilis Bank Indonesia tanggal 8 Mei 2024. Posisi cadangan devisa Indonesia dinformasikan sebesar US$136,22 miliar. Sebenarnya, menurun sebanyak US$4,17 miliar dibandingkan posisi pada akhir Maret 2024 yang sebesar US$140,4 miliar. Termasuk penurunan sangat banyak untuk kurun satu bulan.
Bank Indonesia menjelaskan kondisi itu dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Stabililasi dimaksud diberi alasan peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Informasi tentang kebutuhan stabilisasi menjadi penting, karena intervensi Bank Indonesia jelas butuh devisa. Faktanya, rupiah masih terus melemah hingga awal minggu keempat April. Bank Indonesia kemudian “terpaksa” menaikan BI-rate, yang akhir mampu menahan laju depresiasi rupiah. Namun, ada indikasi masih perlunya intervensi yang membutuhkan devisa.
Posisi Cadangan Devisa
Klaim posisi cadangan devisa tersebut masih tetap tinggi, karena dinilai setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Dan berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Dianggap mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Perlu diingat bahwa Indonesia memperoleh “hadiah” devisa dari International Monetary Fund (IMF) pada Agustus 2021 sebesar US$6,31 miliar. Jika diperhitungkan, maka posisi akhir April hanya sekitar US$128,91 miliar. Merupakan posisi terendah selama beberapa tahun terakhir.
Pemberian devisa dari IMF itu sendiri bukan karena kinerja transaksi internasional yang lazim. Secara akuntansi, penambahannya dicatat pula sebagai utang Bank Indonesia kepada IMF dan masuk dalam statistik Utang Luar Negeri Indonesia.
Faktor Neraca Pembayaran
Faktor utama dalam perubahan posisi cadangan devisa yang utama adalah transaksi internasional penduduk Indonesia dengan pihak asing, yang dicatat dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Penduduk dimaksud mencakup perseorangan, korporasi, negara dan entitas hukum lainnya.
NPI selama ini cenderung surplus, yang berarti terjadi arus masuk bersih berupa devisa ke dalam perekonomian nasional. Selama periode 1981–1996 dialami surplus sebanyak 12 kali, dan defisit sebanyak 4 kali. Pada tahun 1997 dan 1998 dialami defisit yang lebar. Selama periode tahun 1999–2023 dialami surplus sebanyak 17 kali dan defisit 7 kali. Pada tahun 2023 dialami surplus sebesar US$6.301 juta.
Namun, nilai surplus NPI selama beberapa tahun terakhir tidak lagi sebesar sebelumnya. Dengan demikian, laju penambahan devisa tiap tahun pun agak berkurang.
Terdapat dua kelompok transaksi dalam NPI. Kelompok pertama adalah transaksi yang tidak mengakibatkan hak dan kewajiban lagi di waktu mendatang setelah transaksi selesai, yang dicatat dalam Transaksi Berjalan. Penambahan atau pengurangan devisa akibat kelompok transaksi ini bisa dikatakan bersifat final.
Selama era tahun 2012–2020 kondisi Transaksi Berjalan selalu mengalami defisit. Pada tahun 2021 dan 2022 mengalami surplus. Perlu diketahui bahwa pada era 1998–2011 selalu mengalami surplus, dan era tahun 1981–1997 selalu mengalami defisit.
Pada tahun 2023 kembali mengalami defisit sebesar US$1,57 miliar. Lembaga International Monetary Funds (IMF) pada April lalu memproyeksikan defisitnya meningkat menjadi US$13,16 miliar pada tahun 2024 ini. Bahkan, IMF memprakirakan defisit masih terus bertambah signifikan pada tahun-tahun selanjutnya. Dengan kata lain, posisi cadangan devisa akan berkurang akibat jenis transaksi ini.
Kelompok kedua merupakan transaksi yang berdampak pada hak dan kewajiban, disebut sebagai Transaksi Finansial. Baik yang bersifat utang piutang ataupun bersifat investasi. Sebagai contoh hak dan kewajiban itu berupa pengembalian pokok utang, pembayaran bunga utang, pembayaran keuntungan, dan hal lain yang serupa.
Nilai bersih dari transaksi finansial selama ini hampir selalu bersifat arus masuk bersih. Lebih banyak modal finansial yang masuk dibandingkan yang keluar. Nilai surplusnya menurun signifikan pada tahun 2020 dan 2021, dan kemudian mengalami defisit sebesar US$9,16 miliar pada tahun 2022.
Transaksi Finansial selama setahun pada tahun 2023 kembali mencatatkan surplus atau arus masuk bersih sebesar US$8,70 miliar. Meski demikian, nilai surplus ini belum terbilang besar dibanding pada tahun-tahun yang lampau. Bisa dikatakan bahwa pada tahun 2024 dan beberapa tahun berikutnya, mungkin tidak bisa menutupi defisit kelompok Transaksi Berjalan.
Dengan demikian, kondisi neraca pembayaran Indonesia diprakirakan tidak mampu memperkuat cadangan devisa sebanyak masa lalu lagi. Bahkan, berpotensi bersifat mengurangi pada tahun 2024 dan 2025. Jika Bank Indonesia bermaksud menstabilkan rupiah melalui kebijakan yang membutuhkan devisa, maka kondisi ketahanan eksternal Indonesia akan menjadi rawan. []