World Water Forum diharap mampu menyelesaikan permasalahan air di dunia maupun di Indonesia, bukan malah memperkeruhnya.
PRESIDEN Joko Widodo mengeluarkan sejumlah pernyataan penting dalam sambutannya di World Water Forum ke-10 yang digelar di Bali.
Setidaknya, ada dua hal besar yang dapat dimengerti dalam satu tarikan napas yang patut mendapat perhatian khusus: pembangunan infrastruktur air dan privatisasi.
Presiden menerangkan dalam 10 tahun terakhir Indonesia sudah memperkuat infrastruktur air dengan membangun 42 bendungan, 1,18 juta hektare jaringan irigasi, 2.156 kilometer pengendali banjir dan pengamanan pantai, serta merehabilitasi 4,3 juta hektare jaringan irigasi. Kemudian, kalimat ini ia lanjutkan dengan pernyataan ajakan untuk berkolaborasi.
Kita dapat menduga itu sebagai ajakan terarah kepada negara-negara lain untuk berinvestasi ke Indonesia. Jika dugaan ini benar, artinya akan ada privatisasi air, dan kita tahu privatisasi air selalu menyimpan masalah.
Pembangunan Infrastruktur
Kita bisa menguji pernyataan demi pernyataan Jokowi dalam pidatonya di World Water Forum. Pertama, soal pembangunan infrastruktur.
Indonesia adalah negara dengan curah hujan tahunan sebesar 2.700 mm. Kita menempati urutan ke-9 negara dengan curah hujan tertinggi. Artinya, kuantitas air yang tersedia di Indonesia lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya.
Namun, ada juga banyak tempat di mana ketersediaan air sangat kurang. Dan masalah ini bisa diselesaikan dengan pemerataan pembangunan. Soal apakah pembangunan infrastruktur air sudah merata, di sinilah perlunya uji saintifik.
Soal waduk misalnya. Zhang dan Gu dalam penelitiannya yang diterbitkan di jurnal Nature Scientific Data mencatat ada sebanyak 248 waduk (besar dan kecil) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 60% waduk dibangun di Pulau Jawa. Menyusul berikutnya adalah kepulauan Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Kenapa banyak sekali waduk di Pulau Jawa, mungkin karena pertimbangan jumlah penduduk. Faktanya, 56% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, dan ketersediaan air dapat mendorong aktivitas ekonomi mereka melalui peningkatan produksi.
Tetapi, waduk bukan hanya diperuntukkan melayani kebutuhan air. Waduk juga difungsikan untuk mengendalikan bencana banjir dan kekeringan. Tentang ini, menurut data BNPB, masih banyak kejadian banjir yang melanda wilayah-wilayah di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Soal banjir, menurut data terakhir, ada 16.459 desa yang terdampak, sebanyak 4.730 (28,7%) desa berada di Pulau Sumatera, 4.503 (27,4%) desa di Pulau Jawa, 3.138 (19,1%) desa di Pulau Kalimantan, dan 2.286 (13,9%) desa di Pulau Sulawesi.
Soal kekeringan, dari 2.570 desa yang mengalami kekeringan, sebanyak 984 (38,3%) desa di Pulau Jawa, 584 (22,7%) desa di Pulau Sumatera, 185 (7,2%) desa di Pulau Kalimantan dan 142 (5,5%) desa di Pulau Sulawesi.
Data-data di atas menunjukkan bahwa banjir dan kekeringan terjadi di mana-mana. Tetapi pembangunan infrastruktur masih terpusat di Jawa. Ada yang salah dari kebijakan pemerintah? Ada yang salah dari kebijakan pemerintah.
Privatisasi Air
Privatisasi adalah salah satu faktor yang cukup signifikan dalam menjadikan akses terhadap air semakin sulit bagi masyarakat. Ketika sumber air dikelola secara privat, hal ini sering kali mengarah pada keuntungan finansial yang lebih besar bagi perusahaan-perusahaan, namun pada saat yang sama, masyarakat rentan menjadi korban.
Banyak kasus di mana privatisasi air telah mengakibatkan kenaikan harga yang signifikan. Bahkan, hal itu tereskalasi hingga pada tingkat di mana akses terhadap air bersih menjadi sulit atau tidak terjangkau sama sekali bagi sebagian masyarakat.
Kita bisa melacak sejarah panjang tentang privatisasi air yang tidak pernah baik-baik saja. Masalah privatisasi terjadi di Umbul Senjoyo di Semarang, Sigedang di Klaten, Gunung Muria di Kudus, dan terjadi pula di Jakarta.
Upaya Presiden Jokowi melanjutkan privatisasi agaknya berlawanan dengan tren pemerintahan negara-negara dunia yang mulai mengelola air sendiri. Sedang ada proses di mana kontrol, kepemilikan, dan pengelolaan suatu bisnis yang sebelumnya dioperasikan oleh sektor swasta, dikembalikan kepada pemerintah atau sektor publik. Dalam istilah, proses ini dikenal sebagai remunisipalisasi.
Laporan sejumlah akademikus dari University of Glasgow berjudul Mapping Remunicipalisation: Emergent Trends in the Global Deprivatisation Process menunjukkan, ada sebanyak 1.561 kasus remunisipalisasi yang tersebar di 56 negara mulai dari tahun 2000 hingga tahun 2022. Dari total tersebut, 343 kasus di antaranya adalah remunisipalisasi sektor air (di samping sektor energi, telekomunikasi, kesehatan, dan layanan pemerintah).
Buruknya kualitas pelayanan oleh swasta adalah alasan paling umum pemerintah melakukan remunisipalisasi. Alasan lainnya adalah tarif yang mahal, kacaunya tata kelola, transparansi, kondisi tenaga kerja, kebangkrutan, dan kekosongan arus investasi.
Kita mesti berharap World Water Forum yang tengah berlangsung di Bali dapat menyelesaikan persoalan-persoalan semacam ini, bukan malah membuatnya bertambah parah. []