Rupiah melemah dari tahun ke tahun, tapi jarak volatilitasnya stabil. Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat tertahan.
POSISI, peran, dan tugas Bank Indonesia yang diatur oleh undang-undang saat ini masih mengacu kepada Letter of Intent (LOI) dengan International Monetary Fund (IMF) pada awal era reformasi. Antara lain ditetapkan penanganganan Inflasi menjadi peran Bank Indonesia melalui instrumen moneter atau uang beredar.
Hal itu diiringi diubahnya peran Bulog sebagai pengendali inflasi dari sisi pemerintah. Dibatasi hanya dalam hal supply dan demand komoditas. Komoditas dimaksud pun perlahan dikurangi tak sebanyak era Soeharto.
Pola hubungan keuangan antara Bank Indonesia dan Pemerintah pun berubah. Belanja fiskal oleh pemerintah menjadi objek sasaran operasi moneter. Namun, peran operasi moneter langsung ke sektor riil dari BI juga dicabut.
Hubungan fiskal dan moneter tidak lagi berbasis kredit program langsung dari neraca moneter ke sektor riil. Melainkan melalui instrumen fiskal yang diterbitkan pemerintah di pasar keuangan, yaitu Surat Berharga Negara (SBN).
Pada awal era reformasi, pemerintah menerbitkan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dengan durasi (tenor) 12 bulan untuk menyerap uang beredar di neraca moneter. Baik dari rekening tabungan pemerintah di Bank Indonesia dan atau dari alokasi uang beredar di masyarakat melalui penerbitan Surat Berharga Bank Indonesia (SBI).
Beberapa tahun berjalan, disadari menyebabkan tidak optimalnya pembiayaan yang dibutuhkan pemerintah dalam belanja fiskal dengan durasi lebih dari setahun, yang dibiayai utang negara. Pada sisi lain, Bank Indonesia memandang SBI telah dijadikan instrumen “investasi” perbankan, yang menjadi sumber pendapatan atas biaya deposito, yang menyebabkan kredit perbankan menurun.
Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian melakukan reformasi hubungan fiskal moneter pada 2008. Pemerintah merubah penerbitan utang negara ke arah sekuritisasi di pasar keuangan (SUN). Surat Utang Negara (SUN) ini kemudian menggeser peran SBI di Perbankan. Alokasi over likuiditas perbankan memang diarahkan ke aset likuid SUN.
Bank Indonesia mengubah operasi moneter dengan perbankan mengggunakan mekanisme Reverse RePO 7 hari. Bank menjual SUN ke BI dan 7 hari setelahnya membeli kembali dgn diskonto tertentu, yang dikenal sebagai BI rate 7 day. Tetap demikian hingga saat ini, meski kembali disebut BI rate saja.
Sederhananya, pemerintah menerbitkan SUN yang diserap pelaku pasar keuangan, termasuk perbankan. Kemudian Bank Indonesia melakukan operasi moneter dengan bank di pasar sekunder SUN.
Perubahan dilakukan pada saat terjadi pandemi COVID-19 dan upaya pemulihan ekonomi setelahnya. Bank Indonesia turut langsung membeli SUN pemerintah di pasar perdana saat penerbitannya. Hal ini yang disebut burden sharing dari saldo laba di neraca moneter ke defisit neraca fiskal.
Secara umum, transmisi kebijakan monter Bank Indonesia selama ini sesuai dengan pola monetaris dalam menopang belanja fiskal. Namun, jika ditelisik lebih cermat, maka ada kegagalan dalam aspek belanja fiskal dari penerbitan SUN yang menghambat penerimaan pajak. Rasio pajak atas Produk Domestik Bruto (PDB) justeru menurun, dan kemudian stagnan di kisaran 10-11%.
Indikasi kegagalan dikonfirmasi oleh fenomena menurunnya porsi sektor pertanian dan sektor manufaktur dalam PDB. Bisa dikatakan peran Bank Indonesia untuk menjaga inflasi dalam jangka panjang cukup mengkhawatirkan. Pembiayaan program pemerintah dalam hal belanja fiskal untuk ketahanan pangan dan daya kerja dapat dikatakan tidak berhasil.
Dalam konteks kondisi dan pola kebijakan demikian, surplus yang meningkat sangat pesat tahun 2023 dapat dinilai tidak sehat. Untuk menjaga nilai kurs, Bank Indonesia telah menyerap likuiditas di pasar keuangan dengan kupon SUN 6%. Rupiah dijaga stabil pada tingkat volatilitas yang sama dengan ekspektasi pasar dari bunga SUN.
Rupiah bisa melemah dari tahun ke tahun, tapi jarak volatilitasnya stabil kisaran 6%. Dalam operasi moneter seperti itu, Bank Indonesia mengalami laba moneter dalam keuntungan operasi pasar terbuka jual beli dolar AS di pasar spot, maupun melalui jual beli SUN Repo dengan perbankan.
Sebagian rakyat yang mampu mengakses pasar keuangan memang bisa mengkompensasi tingkat inflasi, bahkan memperoleh kekayaan baru. Pihak Perbankan, BPJS, BPKH, Asuransi, Dana Pensiun dan semacamnya pun makin memperbesar nilai nominal dan porsinya dalam kepemilikan SBN.
Secara umum tercipta insentif pemilik dana makin enggan ke sektor riil. Sementara uang belanja fiskal dari SBN tak berhasil menciptakan daya kerja dan daya tahan pangan yang dibutuhkan rakyat banyak. Kegagalan utamanya memang dalam belanja fiskal yang tidak mendukung ke arah itu.
Sedang rakyat kebanyakan terpaksa mengatasi inflasi antara lain dengan pinjaman online (pinjol), bahkan terjebak judi online (judol). Peningkatan daya beli masyarakat makin tertahan, karena lapangan kerja yang tercipta sangat kurang dan sebagian tidak layak. Ditambah dengan harga pangan yang sangat volatil dan cenderung naik, karena daya tahan pangan tidak tercipta.
Tak terhindarkan, ketidakadilan ekonomi meningkat akibat kondisi demikian. Bank Indonesia dan Perbankan seolah menikmati permainan keseimbangan baru rupiah. Sedangkan rakyat kebanyakan telah merasakan tekanan dari pelemahan rupiah yang telah terjadi.
Bank Indonesia sesuai tujuannya harusnya lebih independen, dengan meminta pemerintah melalui parlemen dan presiden melakukan sinkronisasi yang lebih tegas dan konsisten. Terutama dalam hal penyerapan SUN dari neraca moneter dan perbankan harus bisa meningkatkan daya beli masyarakat.
Perlu diketahui bahwa peran dan tugas the Fed dan berbagai bank sentral negara industri maju tidak hanya menjaga inflasi dan nilai tukar. Melainkan juga dalam hal mengurangi pengangguran atau mendorong penciptaan lapangan kerja. Dengan peran itu, kebijakan moneter atau operasi moneter memiliki ukuran keseimbangan antara tingkat inflasi dan pengangguran.
Terlepas dari undang-undang yang belum mengamanatkan, mestinya Bank Indonesia tetap harus mempertimbangkan soal penciptaan lapangan kerja bagi rakyat banyak. Jika hanya menjaga inflasi umum dan nilai kurs, maka Indonesia dapat terjebak sebagai negara importir. Dan seperti yang sudah terjadi, stabilitas rupiah yang sebenarnya juga cukup volatil menjadi beban rakyat banyak, sedangkan Bank Indonesia dan pasar keuangan menikmati laba. []