Sebagian besar utang pemerintah Jokowi tidak terbukti menghasilkan sesuatu yang berkelanjutan.
PRESIDEN Jokowi mengklaim utang pemerintah pada eranya terpakai untuk tujuan produktif. Disebut antara lain soal ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas yang menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Ditambahkan, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.
Pada prinsipnya dinarasikan ada kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak dapat ditunda, namun pendapatan belum cukup untuk memenuhi, sehingga menimbulkan defisit. Defisit yang harus ditutupi melalui pembiayaan atau utang. Pemerintah yakin proses dan dampak berutang tersebut aman karena digunakan untuk belanja produktif.
Penjelasan tentang utang yang bersifat produktif sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintahan era-era sebelumnya. Bahkan, sejak era pemerintahan Soeharto. Masing-masing era hanya berbeda dalam mengemukakan program prioritasnya, serta besaran nilai utang yang dibutuhkan.
Sayangnya, alasan utang produktif tersebut tidak pernah dievalusasi secara sungguh-sungguh dan menjadi diskusi publik yang konstruktif untuk perbaikan. Pemerintah lebih sering mengemukakan sosialisasi atau iklan tentang program prioritas nasional, terutama dalam bidang infrastruktur. Capaian yang diklaim pun bersifat output fisik, bahkan sering berupa nilai proyeknya atau input saja.
Perbincangan nyaris tidak dikembangkan tentang outcome dan impact, atau dampak positif langsung dan yang berkelanjutan. Akibatnya, pengertian utang produktif menjadi tersamarkan.
Produktif sekurangnya dilihat pada tiga aspek dengan beberapa indikatornya. Pertama, dicermati perbandingan tambahan utang dengan aset pemerintah. Apakah utang cukup banyak dipergunakan untuk menambah aset, terutama aset tetap dan investasi jangka panjang.
Perkembangan nilai aset tetap dalam neraca sebagaimana Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menunjukkan bahwa tidak terjadi kenaikan berarti selama periode kedua Jokowi. Bahkan, sebagiannya tercatat mengalami penurunan nilai bersih dari akhir tahun 2019 menuju 2023. Yaitu, Aset tanah (dari Rp4.565,75 triliun menjadi Rp4.428,28 triliun), Aset jalan, irigasi dan jaringan (dari Rp618,05 triliun menjadi Rp554,80 triliun), Aset Tetap Lainnya (dari Rp43,76 triliun menjadi Rp34,11 triliun).
Jika tidak memperhitungkan nilai aset Konsesi Jasa yang baru disajikan pada tahun 2022 dan 2023, maka nilai bersih aset tetap keseluruhan relatif stagnan. Dari sebesar Rp5.949,60 triliun per akhir 2019, menjadi Rp5.956,42 triliun per akhir 2023. Hanya bertambah sebesar Rp6,83 triliun atau 0,11% selama 4 tahun.
Nilai Aset Tetap memang sempat melonjak pesat hingga 208% pada tahun 2019 atau menjadi tiga kali lipat dibanding tahun 2018. Dari Rp1.931,05 triliun menjadi Rp5.949,6 triliun. Hal itu terutama disebabkan inventarisasi dan penilaian kembali yang dilaksanakan pada tahun 2017–2018, bukan karena pembelian dari dana utang.
Aset tetap yang mengalami peningkatan paling dramatis saat itu adalah tanah, menjadi lebih dari 4,5 kali lipat. Disusul oleh aset jalan, irigasi, dan jaringan, yang meningkat hingga 2,5 kali lipat. Kemudian aset tetap gedung dan bangunan yang meningkat hampir 1,5 kali lipat.
Ketika diklaim banyak membangun jalan, maka perlu diperiksa seberapa tambahan panjang jalan dan nilainya dalam neraca. Begitu pula dengan bandara, bendungan, pembangkit listrik dan lain sebagainya. Dilihat dari laju tambahan fisik pun sebenarnya setara saja dengan pemerintahan era sebelumnya.
Dalam hal aset investasi jangka panjang, maka nilai terbesar adalah Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN. Perkembangan secara neraca ternyata juga hanya meningkat dengan laju serupa era sebelumnya. Hanya pernah meningkat pesat pada tahun 2015, ketika ada kebijakan revaluasi yang justeru dari nilai kelolaan era sebelumnya.
Kedua, aspek keuangan pemerintah dalam hal peningkatan pendapatan negara. Jika utang banyak dipakai membiayai proyek selesai dilaksanakan atau beberapa tahun kemudian, maka akan dapat meningkatkan pendapatan. Jika outputnya masih akan memberi hasil dalam jangka menengah atau panjang, mesti ada narasi dan proyeksi hitungannya yang cukup jelas.
Pendapatan Negara memang cenderung meningkat pada era Jokowi, namun secara rata-rata dengan laju yang lebih rendah. Dengan data target APBN 2024, maka era 2015–2024 rata-rata pendapatan naik 6,85% per tahun. Sedangkan kenaikan rata-rata era 2005–2014 mencapai 15,34% per tahun.
Ketiga, aspek perekonomian secara keseluruhan. Proyek prioritas nasional sebagaimana klaimnya, bermaksud mengembangkan perekonomian nasional dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan rakyat. Hal demikian antara lain dapat diukur dari pertumbuhan PDB atau pertumbuhan ekonomi. Secara lebih khusus, pada sektor dan wilayah tertentu beserta masyarakat sekitarnya.
Dalam hal laju pertumbuhan ekonomi, rata-rata sembilan tahun era Jokowi hanya 4,13% per tahun. Jika mengeluarkan faktor dampak pandemi, lima tahun era pertama Jokowi pun rata-rata hanya sebesar 5,03% per tahun. Padahal, era 10 tahun SBY rata-ratanya mencapai 5,69%.
Selain ketiga aspek itu, pengertian produktif dapat dicermati dari biaya atau lebih khusus lagi nilai tambahan utang yang dipergunakan untuk proyek demikian. Dibandingkan dengan nilai tambahan utang pemerintah secara keseluruhan. Dapat dinilai seberapa besar porsi yang sebenarnya dipakai untuk keperluan “produktif” dan yang tidak atau kurang produktif.
Penulis berpandangan utang pemerintah era Jokowi tidak bisa dikatakan produktif. Sebagian utang memang untuk membiayai proyek infrastruktur dan hal yang termasuk kategori produktif. Namun, sebagian cukup besarnya lagi tidak terbukti menghasilkan sesuatu yang berkelanjutan. [adj]