Pemerintah perlu semacam ‘sense of crisis’ untuk menyadari bahwa kondisi utangnya sudah tidak aman.
MENGAPA pemerintah terus saja mengambil utang, bahkan nilainya makin besar?
Belanja negara selalu melebihi dari pendapatan negara atau mengalami defisit. Defisit atau tekor dalam istilah rumah tangga sehari-hari itu direncanakan sejak awal, seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang menetapkan defisit sebesar Rp523 triliun. Kekurangannya terutama diatasi dengan cara berutang.
Oleh karena tekor tiap tahun—dan tekornya makin banyak di era Jokowi—maka tambahan utang selama 10 tahun pemerintahannya mencapai Rp6.241 triliun. Dihitung dari posisi atau sisa utang akhir 2014 yang sebesar Rp2.609 triliun akan menjadi Rp8.850 triliun pada akhir tahun 2024 ini. Lebih banyak dibanding era SBY yang tercatat menambah utang sebanyak Rp1.309 triliun.
Mengapa tidak rancang jumlah belanja yang sesuai saja dengan prakiraan pendapatan?
Andai cara itu dilakukan pada suatu tahun, sehingga tidak terjadi defisit atau tekor pada tahun yang bersangkutan. Akan tetapi, pemerintah masih harus melunasi ataupun membayar cicilan utang masa lalu yang sudah jatuh tempo. Artinya tetap saja butuh berutang untuk hal itu, yang nilainya sekitar Rp650 triliun pada tahun 2024.
Bagaimana jika belanja dikurangi lagi dengan memperhitungkan pelunasan dan cicilan itu?
Selain cicilan, pemerintah harus membayar bunga utang atas utang terdahulu. Nilainya sebesar Rp497 triliun pada tahun 2024. Rencananya, bunga utang pun akan dibayar dengan penerimaan dari berutang. Secara teknis pencatatan APBN disebut sebagai nilai minus pada keseimbangan primer.
Bagaimana jika belanja direncanakan dengan menimbang cicilan dan bunga, sekaligus tidak perlu berutang baru lagi?
Bisa saja dilakukan perhitungan, maka nilai belanja hanya akan sekitar 60–70% dari yang tercantum pada APBN. Pada tahun 2024 diprakirakan cicilan dan bunga utang sekitar Rp1.150 triliun, sedangkan pendapatan sebesar Rp2.800 triliun, maka nilainya tersisa Rp1.650 triliun.
Jika memang cara serupa bisa dilakukan tiap tahun, maka perlahan sisa utang pemerintah akan terus berkurang.
Namun bagaimana memulainya? Apakah mengurangi gaji pegawai secara signifikan? Mengurangi subsidi dan layanan publik hingga batas sangat minimal atau dibebankan biaya tinggi kepada masyarakat? Pemerintah tidak perlu membangun infrastruktur lagi, cukup dengan memelihara yang sudah ada? Alusista untuk pertahanan dan keamanan tak perlu dibeli sementara waktu, cukup yang ada saja dirawat?
Daftar belanja yang bisa dikurangi atau ditiadakan dapat ditambah, namun apakah rakyat bersedia menerima kondisi seolah negara tidak hadir? Sekarang saja sudah banyak protes dan keluhan, karena negara belum mampu memberi layanan yang memadai.
Lantas jika tetap berutang saja makin besar seperti sekarang? Tentu saja, pendapatan negara terus terbebani untuk membayar beban utang di masa mendatang. Jika pada suatu saat terjadi resesi panjang atau krisis ekonomi, maka amat mungkin aset negara satu persatu akan berkurang.
Kondisi keuangan negara atau pemerintah saat ini bisa disetarakan dengan keluarga terjerat rentenir atau pinjaman online. Pendapatan masih diterima, namun kondisi keuangan memprihatinkan. Aset masih banyak yang dimiliki, namun berisiko hilang di masa mendatang.
Apakah kondisi buruk ini tidak bisa diatasi?
Terbuka berbagai skenario kebijakan untuk secara perlahan memperbaikinya. Pertama diperlukan semacam ‘sense of crisis’ dari pemerintah sendiri, yakni menyadari bahwa kondisi utangnya tidaklah aman. Kemudian diambil langkah yang meski tak seekstrim ilustrasi di atas, namun secara substansi perlu menjadi acuan.
Belanja harus direncanakan amat baik dengan kesadaran kondisi krisis keuangan, antara lain memilih prioritas secara benar, atau belanjanya efektif. Bukan mengutamakan proyek mercusuar atau seolah demi kemajuan, melainkan yang benar-benar bermanfaat bagi perekonomian dan hidup rakyat kebanyakan.
Belanja harus dilaksanakan secara efisien, dengan biaya yang dapat ditekan optimal untuk proyek. Termasuk mencegah korupsi secara maksimal, serta memberi hukuman berat pada koruptor.
Pada saat bersamaan, sumber-sumber pendapatan dioptimalkan. Dengan catatan selalu menimbang dampak akhirnya bagi rakyat. Termasuk menimbang kondisi perekonomian, terutama industri dan perdagangan, agar tetap bisa berkembang pesat.
Dibutuhkan bukan hanya ahli akuntansi atau ahli keuangan, melainkan ahli yang bisa memperbaiki perekonomian. Pendapatan negara tetap meningkat, dan produksi nasional atau pendapatan masyarakat meningkat pesat. Pada saat bersamaan, belanja dipilah pilih untuk tidak boros.
Para ahli tersebut tentu saja harus dipimpin orang-orang yang mengerti dan mau mengatasi kondisi keuangan negara saat ini, terutama risiko utang. Tidak cukup sekadar pemimpin dari pihak eksekutif, namun juga pihak legislatif. Ditambah rakyat yang teredukasi untuk mengerti dan turut mengawasi.
Dengan demikian, beban utang pemerintah perlahan dapat diatasi. Kesejahteraan rakyat akan terus meningkat. Mimpi Indonesia emas pun bisa diraih, meski dalam kurun waktu yang lebih lama. [adj]