Ambisi Presiden terpilih Prabowo untuk tumbuh 8% nyaris mustahil direalisasikan dalam waktu 5 tahun mendatang. Baik berdasar data historis, maupun kinerja komponen sektoral dan komponen pengeluaran PDB.
PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia pada Triwulan II-2024 sebesar 5,05% dianggap oleh Pemerintah sebagai berita menggembirakan. Padahal, angka tersebut merupakan pertumbuhan triwulan dua terendah selama 4 tahun terakhir. Dan merupakan yang terendah keempat selama 13 tahun, sejak tahun 2011.
Kinerja triwulan dua itu memberi petanda bahwa pertumbuhan setahun 2024 akan sedikit lebih rendah. Hal itu digambarkan oleh fakta sejak tahun 2011, sebanyak 10 kali pertumbuhan tahunan lebih rendah dari triwulan dua tahun bersangkutan. Hanya dialami 3 kali yang lebih tinggi.
Selain itu, kinerja pertumbuhan dari 17 sektor atau lapangan usaha mengindikasikan tidak terdapat dorongan untuk tumbuh lebih pesat selama dua triwulan mendatang. Sektor yang berhasil tumbuh tinggi bukan lah yang berporsi besar dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB). Dan tidak pula sebagai pencipta lapangan kerja yang banyak.
Tiga sektor berporsi terbesar dalam PDB dan penyerap tenaga kerja yang banyak justeru tumbuh lebih rendah dari rata-rata seluruh sektor atau pertumbuhan ekonomi. Sektor industri pengolahan sebesar 3,95%, sektor Pertanian sebesar 3,25%, dan sektor perdagangan sebesar 4,86%.
Dengan demikian, keberlanjutan kinerja dari beberapa sektor yang tumbuh tinggi pada Triwulan II-2024 tampak sulit dipertahankan. Terutama karena tidak ditopang oleh perkembangan sektor industri dan sektor pertanian. Kaitannya adalah dengan pasokan input yang bersifat minimal, serta dampak pengganda yang relatif kecil bagi pertumbuhan sektor lainnya.
Dari uraian terkait kondisi pertumbuhan beberapa sektor di atas, maka setahun 2024 kemungkinan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 5%. Bahkan terdapat risiko hanya tumbuh sebesar 4,9%. Sektor yang tumbuh tinggi pada Triwulan II berisiko sedikit melambat. Pada saat bersamaan, sektor besar seperti pertanian dan industri pengolahan belum terindikasi mampu tumbuh tinggi.
Risiko pertumbuhan tahun 2024 hanya sebesar 5% atau sedikit lebih rendah diindikasikan pula oleh komponen permintaan atau pengeluaran. Pertumbuhan memang masih ditopang konsumsi rumah tangga yang mampu tumbuh 4,93% pada Triwulan II-2024. Kinerja itu lebih baik dibanding kondisi 2-3 tahun sebelumnya, namun masih sedikit lebih rendah dibanding era sebelum pandemi.
Sementara itu komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh sebesar 4,43% pada Triwulan II-2024. Tumbuh lebih rendah dibanding triwulan yang sama pada tahun 2023, serta dibanding rata-rata era sebelum pandemi.
Dengan kata lain, komponen PMTB belum berhasil ditingkatkan secara signifikan selama beberapa triwulan terakahir. Bahkan, jika dilihat pertumbuhan subkomponen dari PMTB, maka kapasitas produksi perekonomian tidak memadai untuk pertumbuhan tinggi pada tahun-tahun mendatang. Antara lain dicerminkan pertumbuhan subkomponen Mesin dan Perlengkapan serta subkomponen peralatan lainnya.
Komponen ekspor memang masih mampu tumbuh 8,28% pada Triwulan II 2024, setelah sebelumnya menurun. Akan tetapi, pada saat bersamaan impor tumbuh sebesar 8,57%, yang artinya ekspor neto memberi andil mengurangi pertumbuhan ekonomi. Laju ekspor dan terutama ekspor neto berisiko memburuk pada dua triwulan terakhir dan pada tahun-tahun mendatang.
Meski demikian, Pemerintah masih berharap pertumbuhan ekonomi sesuai asumsi APBN 2024, yaitu sebesar 5,2%. Padahal, International Monetary Fund (IMF) baru-baru ini dalam dokumen laporan perekonomian Indonesia terkini hanya memproyeksikan pertumbuhan sebesar 5,0%. Bahkan, hanya mampu tumbuh 5,1% selama lima tahun berikutnya hingga tahun 2029.
Proyeksi IMF itu jauh lebih rendah dibanding asumsi jangka menengah dari Nota Keuangan dan APBN 2024. Asumsi atau target dalam dokumen resmi itu berupa rentang, sebagai berikut: 5,5-6,0% (2025), 5,6-6,3% (2026), dan 5,7-6,4% (2027).
Dari uraian di atas, ambisi Presiden terpilih Prabowo untuk tumbuh 8% nyaris mustahil direalisasikan dalam waktu 5 tahun mendatang. Baik berdasar data historis, maupun kinerja komponen sektoral dan komponen pengeluaran PDB.
Penulis menyarankan agar Pemerintah tidak terlampau fokus pada angka pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Pemerintah lebih baik meningkatkan kualitas pertumbuhan. Pertumbuhan yang berkualitas antara lain dicerminkan oleh kemiskinan yang menurun lebih cepat, ketimpangan ekonomi yang membaik, serta penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan layak. [rif]