Pemerintah makin sulit menyusun APBN agar perhitungannya terpenuhi. Akhirnya, terjadi manuver atas beberapa pos Belanja dan Pembiayaan, agar termasuk anggaran pendidikan secara kategori.
PASAL 31 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenihi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional.”
Amanat UUD 1945 itu dinyatakan kembali oleh Undang-Undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1). Sangat jelas bahwa anggaran pendidikan harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Batas minimal 20% selama ini diterjemahkan oleh Pemerintah dan DPR sebagai menurut nilai Belanja. Sebagai contoh, RAPBN 2025 yang merencanakan total belanja sebesar Rp3.613 triliun, maka anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp722,6 triliun.
Perlu diketahui, meski batasnya atas berdasar nilai belanja, namun upaya memenuhi tidak hanya dalam belanja. Melainkan ditambahkan nilai pos Pembiayaan, yang bersifat pengeluaran terkait pendidikan. Contohnya ke berbagai pembiayaan pendidikan, seperti: Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan, Dana Abadi Penelitian, Dana Abadi Kebudayaan, Dana Abadi Perguruan Tinggi, dan lain sebagainya.
Belanja sendiri terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer ke Daerah (TKD). BPP dialokasikan ke berbagai Kementerian dan Lembaga, tidak hanya pada Kementerian Pendidikan. Mencakup sekitar 25 Kementerian dan Lembaga. Bahkan, ada yang melalui belanja Non K/L atau melalui Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara.
Batas minimal anggaran pendidikan diangkat kembali oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat dengan DPR pada Rabu, 4 September lalu. Dia mengusulkan agar patokan nilainya bukan lagi belanja, melainkan pendapatan. Alasan utamanya, nilai belanja sangat berfluktuasi dan sebagian cukup besarnya terkait dengan perkembangan perekonomian domestik dan global yang volatil.
Berdasar usulan itu, bisa dipastikan alokasi anggaran pendidikan akan turun signifikan karena pendapatan selalu lebih sedikit dibanding belanja dalam APBN selama ini. Sebagai contoh RAPBN 2025 yang sedang dalam pembahasan ini, total Belanja sebesar Rp3.613,1 dan Pendapatan sebesar Rp2.996,9 triliun. Batas nilai 20% dari masing-masing adalah Rp722,6 triliun dan Rp599,4 triliun.
Penulis menilai wacana Sri Mulyani itu sebenarnya merupakan pengakuan kesulitan “utak atik” numenklatur atau pos APBN selama beberapa tahun ini untuk memenuhi mandatory spending anggaran pendidikan. Pemerintah makin sulit menyusun APBN agar perhitungannya terpenuhi. Akhirnya, terjadi manuver atas beberapa pos Belanja dan Pembiayaan, agar termasuk anggaran pendidikan secara kategori.
Akibatnya, anggaran pendidikan dalam APBN tidak pernah terealisasi sepenuhnya sejak tahun 2021. Sebagai contoh, APBN tahun 2023 menganggarkan Rp624,25 Triliun, sedangkan yang terealisasi hanya Rp513,39 triliun atau 82,24% nya.
Padahal, realisasi Belanja Negara justeru melebihi 100% pada tahun 2023. Dari Rp3.117,18 triliun dalam APBN direalisasikan sebesar Rp3.121,22 triliun. Akibatnya, realisasi anggaran pendidikan pada tahun 2023 hanya sebesar 16,45% dari belanja.
Anggaran Pendidikan APBN 2023 melalui Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp249,16 triliun hanya terealiasasi sebesar Rp187,39 triliun atau 75,28%. Melalui Transfer Ke Daerah sebesarRp305,60 triliun berhasil direalisasikan hingga 100,13%. Sedangkan melalui Pembiayaan hanya teralisasi Rp20 triliun dari Rp69,50 triliun atau 28,78%.
Kecenderungan anggaran pendidikan tidak optimal direalisasikan berlangsung sejak tahun 2021. Jika realisasi tersebut dihitung dari total Belanja maka rasionya sebagai berikut: 18,25% (2020), 17,21% (2021), 15,51% (2022) dan 16,45% (2023).
Daripada membahas usulan Sri Mulyani agar tafsir atau perhitungan 20% dari pendapatan bukan dari belanja, yang secara penalaran sulit diterima. Diperlukan pertanggungjawaban kepada publik dahulu atas yang dilaksanakan selama ini.
Apakah realisasi yang selalu di bawah 20% selama empat tahun, dari 2021 sampai dengan 2022, bisa dianggap melanggar UUD 1945? Bisa dipastikan, realisasi tahun 2024 yang sedang berjalan pun akan di bawah 20%. Begitu pula usulan tak realistis dalam Anggaran Pendidikan RAPBN 2025.
Penulis kurang mengerti dari sudut pandang hukumnya. Yang jelas realisasi anggaran pendidikan selama periode kedua pemerintahan Jokowi tidak memenuhi amanat UUD 1945. [rif]
Discussion about this post