Pemerintah gagal mendorong sektor industri sebagai motor penggerak pertumbuhan.
ASESMEN terkait apa saja barang dan jasa yang diproduksi oleh perekonomian tidak hanya dalam hal kuantitasnya. Melainkan mencakup aspek utama lainnya dalam perekonomian Indonesia yang berwilayah luas dan berpenduduk sangat banyak. Di antaranya, keberlangsungan transformasi perekonomian menjadi lebih maju dan modern, serta struktur ekonomi yang makin kuat.
Dicermati apakah produksi barang industri pengolahan meningkat pesat untuk menunjukan proses produksi yang makin tidak bergantung pada alam. Apakah produktivitas sektor pertanian meningkat, terutama dalam kaitan dengan kecukupan pangan. Apakah perkembangan sektor jasa menunjang industri, tidak sembarang jasa yang asal tumbuh.
Industri pengolahan diproyeksikan tumbuhan ekonomi pada RPJMN 2015–2019 sebagai berikut: 6,1% (2015), 6,9% (2016), 7,4% (2017), 8,1% (2018), dan 8,6% (2019). Target tiap tahun melampaui target pertumbuhan ekonomi dalam RPJMN.
Seiring dengan itu, porsinya dalam Produk Domestik Bruto (PDB) diharapkan meningkat. Target porsinya adalah sebagai berikut: 20,80% (2015), 21,00% (2016), 21,10% (2017), 21,30% (2018), 21,60% (2019).
Bisa dikatakan, pemerintah tampak menyadari peran industri pengolahan sebagai motor penggerak pertumbuhan. Jika tumbuh tinggi akan mendorong sektor lainnya untuk tumbuh. Sekaligus pula akan memperkuat struktur ekonomi agar mampu tumbuh berimbang dan berkelanjutan.
Sayangnya, realisasi pertumbuhan dan porsinya atas PDB ternyata lebih rendah tiap tahun. Sektor industri pengolahan tumbuh sebagai berikut: 4,33% (2015), 4,26% (2016), 4,29% (2017), 4,27% (2018), dan 3,8% (2019). Dan lajunya selalu lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi pada tahun bersangkutan.
Sedangkan porsinya cenderung menurun, yaitu 20,99% (2015), 20,51% (2016), 20,16% (2017), 19,86% (2018), dan 19,70% (2019). Alih-alih mencapai porsi yang diharapkan sebesar 21,60% pada tahun 2019, malah merosot menjadi hanya 19,70% atas PDB.
Target pertumbuhan sektor industri pengolahan diturunkan pada RPJMN 2020–2024, menjadi berikut ini: 5% (2020), 5,35% (2021), 6,35% (2022), 7,3% (2023), dan 7,4% (2024). Masih dipatok melampaui pertumbuhan ekonomi.
Diperburuk oleh dampak pandemi Covid-19, target tersebut tidak terpenuhi. Pertumbuhannya sebagai berikut: -2,93% (2020), 3,39% (2021), 4,89% (2022), 4,64% (2023), dan 4,85% (2024).
Sementara itu, porsi atas PDB ditargetkan RPJMN sebagai berikut: 19,70% (2020), 19,75% (2021), 19,95% (2022), 20,30% (2023), dan 20,75% (2024). Realisasinya lebih kecil, yaitu: 19,87% (2020), 19,24% (2021), 18,34% (2022), 18,67% (2023), dan 18,80% (2024).
Selain industri pengolahan, sektor lain yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia adalah sektor pertanian dalam arti luas. Meski ditargetkan di bawah pertumbuhan ekonomi, sektor ini masih diharapkan tumbuh cukup tinggi. Disadari perannya dalam menampung tenaga kerja yang banyak dan masih menjadi tumpuan hidup sebagian cukup besar rakyat.
Sektor pertanian pada RPJMN 2015–2019 diproyeksikan tumbuh rata-rata sebesar 4,5%, namun realisasi hanya 3,32% per tahun. Begitu pula target pada RPJMN 2020–2024 sebesar 3,86% hanya terealisasi 2,21% per tahun.
Meskipun tumbuh lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi dan industri pengolahan, porsi sektor pertanian masih bertahan cukup besar dalam PDB. Target RPJMN 2015–2019 sebesar 12,30% pada 2019 hanya terealisasi 12,72%. Target RPJMN 2020–2024 sebesar 11,45% pada tahun 2024 hanya terealisasi 12,50% pada 2024.
Bertahannya porsi sektor pertanian mengindikasikan kegagalan transformasi ekonomi atau secara lebih khusus reindustrialisasi selama era Jokowi. Sektor industri pengolahan justeru mengalami penurunan porsi, dari 20,7% pada 2014 menjadi 18,80% pada 2024. Bisa ditambahkan dengan fenomena tumbuh kembangnya jasa-jasa yang bukan penunjang industrialisasi.
Dapat disimpulkan bahwa transformasi perekonomian yang baik tidak berlangsung, dan struktur ekonomi cenderung makin lemah. Upaya memperkuat struktur ekonomi yang direncanakan Jokowi dalam RPJMN gagal diwujudkan. [adj]