Realisasi sementara APBN 2024 memperlihatkan ketidaksesuaian antara asumsi dasar ekonomi makro (ADEM) dan target penerimaan perpajakan, mencerminkan kondisi perekonomian yang tidak sesuai harapan serta menambah tekanan pada defisit anggaran.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
REALISASI sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024 yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan memperlihatkan berbagai asumsi dan target yang tidak sesuai rencana. Diantaranya yang menonjol adalah terkait Asumsi Dasar Ekonomi Makro (ADEM) dan penerimaan perpajakan.
Dari tujuh indikator ADEM, hanya satu yang sesuai sedangkan enam lainnya tidak sesuai. Dalam arti lebih buruk dari asumsi atau prakiraan APBN 2024. Yaitu: pertumbuhan ekonomi, kurs, yield SBN, harga minyak, lifting minyak, dan lifting gas. Realisasi ADEM selama sepuluh tahun era Jokowi memang sering lebih buruk dari yang ditetapkan APBN tahun bersangkutan.
Realisasi sementara defisit APBN 2024 sebesar Rp507,8 triliun memang lebih rendah dari target, atau seolah lebih baik. Akan tetapi, secara rasio atas Produk Domestik Bruto (PDB) masih setara target, yakni sebesar 2,29%. Terutama disebabkan realisasi yang lebih rendah dari asumsi nilai PDB sebagai bagian asumsi pertumbuhan ekonomi.
PDB nominal yang diasumsikan oleh APBN 2024 sekitar Rp22.830 triliun. Hal ini tidak dinyatakan secara eksplisit seperti asumsi pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,2%. Namun dari pernyataan defisit sebesar Rp522,8 triliun triliun merupakan 2,29% atas PDB.
Ternyata defisit bisa ditekan menjadi Rp507,8 triliun dan disebut rasionya atas PDB tetap 2,29%. Dengan demikian, nilai PDB hanya sekitar Rp22.175 triliun. Terutama disebabkan pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,0% atau lebih rendah dari asumsi.
Melesetnya sebagain besar ADEM berdampak pada kedua sisi postur APBN. Berdampak pada pendapatan dan pada belanja. Selanjutnya akan berdampak pula pada kondisi defisit anggaran.

Simulasi perhitungan dampak ketidaksesuaian asumsi dengan realisasi disajikan pada dokumen Nota Keuangan dan APBN 2024. Namun, simulasi perhitungan dilakukan terpisah untuk tiap indikator, dengan asumsi yang lainnya tak berubah (ceteris paribus). Meski demikian, arah perubahan yang diakibatkan bisa dianggap serupa.
Pertumbuhan ekonomi yang selisih kurang 0,2% poin dari asumsi memberi tambahan belanja lebih besar dari pendapatan atau menambah defisit. Namun secara simulasi ceteris paribus hanya sebesar Rp3,6 triliun.
Selisih realisasi dan asumsi nilai tukar rupiah yang cukup lebar juga tampak memberi dampak lebih signifikan. Data realisasi sementara menyebut kurs akhir periode, bukan kurs rata-rata setahun yang nantinya dipakai, selisih sebesar Rp1.162. Dampaknya ceteris paribus menambah defisit sebesar Rp69 triliun.
Realisasi lifting minyak selisih kurang dari asumsi sebesar 63 barel per hari, sedangkan lifting gas selisih kurang sebesar 60 barel setara minyak per hari. Keduanya turut memberi tekanan pada berkurangnya pendapatan, dan pada gilirannya menambah defisit.
Secara umum dapat dikatakan bahwa realisasi ADEM berdampak tambahan pada defisit. Baik melalui peningkatan Belanja maupun berkurangnya pendapatan. Salah satunya diperlihatkan oleh Belanja yang melampaui target, yakni sebesar 100,8%.
Sebenarnya kinerja Pendapatan Negara telah melampaui target, yakni sebesar Rp2.842,5 triliun atau 101,4% dari target Rp2.802,5 triliun. Akan tetapi jika dicermati dari rinciannya, maka bukan karena realisasi ADEM. Bahkan, mencerminkan kinerja yang kurang kinclong dari pengelolaan APBN.
Realisasi penerimaan Perpajakan hanya mencapai 96,7% dari target. Khusus penerimaan pajak, yang tak memasukan kepabeanan dan cukai, hanya 97,2% dari target. Kinerja keduanya biasa disebut shortfall perpajakan dan pajak, yang mengindikasikan perekonomian sedang tidak baik-baik saja.
Pencapaian pendapatan negara terbantu oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tercatat melampaui target. Sebesar Rp579,5 triliun dari target Rp492 triliun, atau sekitar 117,8%. []