Saat dunia menuding Trump sebagai biang kerok ketidakpastian ekonomi global, Indonesia justru harus berkaca pada kelemahannya sendiri.
Oleh: Yanuar Rizky
(Ekonom Senior Bright Institute)
KEBIJAKAN tarif dan kebijakan lainnya dari Donald Trump telah membuat gaduh dunia, yang bermuara pada peningkatan ketidakpastian ekonomi dan keuangan global. Pertumbuhan ekonomi dunia pun diprakirakan akan melambat oleh banyak pihak. Sebagian pakar ekonomi dan pelaku bisnis besar bahkan telah menyinggung kemungkinan resesi hingga krisis ekonomi.
Banyak negara terdampak buruk, dan sebagiannya terancam alami berbagai kesulitan akibat kondisi global yang demikian. Pemerintah masing-masing tampak ramai-ramai menyalahkan Trump. Analisis para pakar ekonomi dan komentar pelakunya pun demikian.
Diskursus yang terjadi di Indonesia tidak banyak berbeda dengan tren itu. Baik secara samar ataupun terang-terangan menuding Trump sebagai biang kerok kegaduhan beberapa bulan ini. Pemerintah sendiri tampak memberi komentar yang lebih diplomatis, dan memperlihatkan sikap yang siap bernegosiasi.
Sebenarnya dampak langsung kenaikan tarif belum langsung dirasakan, apalagi masih ada beberapa penyesuaian kebijakan yang dilakukan pemerintahan Trump. Ancaman perang dagang pun masih bisa dikatakan baru sebatas genderang perang yang dikumandangkan. Akan tetapi, dampaknya terhadap sektor keuangan seketika terjadi.
Hampir semua indeks utama berbagai bursa saham global mengalami penurunan signifikan seketika hingga beberapa hari setelah Trump mengumumkan kebijakan tarifnya pada 2 April lalu. Sekitar sepekan kemudian, indeks perlahan naik kembali, namun belum kembali pada posisi
Berbagai indeks kemudian naik kembali, namun belum kembali pada kondisi sebelum kebijakan itu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun langsung meluncur turun dan perdagangan terpaksa dihentikan sementara (trading halt) ketika mulai dibuka paska liburan tanggal 8 April. Setelah dibuka kembali, IHSG pun hanya bisa dipertahankan untuk tidak turun lebih jauh pada hari itu.
Dinamika IHSG selanjutnya hingga hari ini memiliki pola yang hampir serupa dengan bursa global. Namun jika diperbandingkan untuk kurun sejak awal tahun (year to date), IHSG termasuk yang alami penurunan lebih dalam.
Termasuk dampak “musiman” bulan maret tiap tahun yang dicirikan tren penurunan indeks akibat “rebalancing” portofolio dari para pelaku besar (hedge fund management). Dalam konteks ini, IHSG terlihat terdampak lebih besar dibanding berbagai indeks bursa negara lainnya.
Kebijakan Trump juga berdampak segera terhadap nilai tukar dolar atas mata uang negara lain. Indikator utama yang dipakai adalah indeks dolar (DXY), yakni indeksnya terhadap enam mata uang negara yang memiliki hubungan erat dengan Amerika. Kebijakan Trump membawa DXY turun lebih jauh, hingga dibawah 100 sejak 11 April hingga tulisan ini dibuat.
Sebelumnya, DXY menguat pada bulan Desember 2024 dan Januari 2025 hingga mencapai hampir 110 pada pertengahan Januari 2025. Sempat berfluktuasi menurun namun bertahan hingga leverl 107 pada akhir Februari 2025. Tren menurun terjadi pada bulan Maret, namun masih bertahan pada level 102 sebelum kebijakan Trump diumumkan pada 2 April.
Kurs mata uang banyak negara mengalami pelemahan ketika DXY meningkat, dan sebaliknya jika DXY menurun. Tren demikian dialami pula oleh rupiah selama bertahun-tahun di masa lalu. Secara umum bisa dikatakan nilai tukar rupiah memiliki elastisitas terhadap dolar Amerika, sebagaimana banyak mata uang negara lain.
Akan tetapi, sejak 28 Februari 2025, pola itu tidak terjadi hingga hari ini. Nilai tukar Rupiah tetap lemah meskipun DXY melemah. Bahkan saat Trump reverse isu tarif ke pause tarif, yang membuat DXY makin melemah, Rupiah tetap tidak menguat.
Persoalan utama ada dalam Ekonomi Indonesia sendiri
Kebijakan Trump jelas berdampak ke Indonesia, namun harus dicermati beberapa fenomena yang menunjukkan kelemahan ekonomi Indonesia. Indikator yang memberi isyarat itu antara lain pola perkembangan IHSG dan nilai tukar Rupiah di atas.
Beberapa dinamika terkini juga mesti dijadikan “warning” tentang hal tersebut. Misalnya tentang orang kaya yang mulai melarikan uang ke luar. Hampir bisa dipastikan motifnya adalah berjaga-jaga dan sekaligus spekulasi meningkat. Muaranya, makin berkurang uang untuk transaksi domestik baik konsumsi maupun investasi di sektor riil.
Fenomena tersebut sebenarnya beriringan dengan fakta rata-rata hedge fund management yang mengelola dana nasabah kaya yang melakukan hedging dalam menghadapi ketidakpastian. Rata-rata return yang diberikan melonjak dari sekitar 5,7% pada 2023 rata2 menjadi 10,7% pada 2024. Bahkan, ada yang memberi return hingga 50%, dengan melakukan bauran investasi di China dan Asia.
Operasi mereka merupakan salah satu sebab average sell down di bursa asia sejak November 2024. Dan average sell down di Indonesia diikuti pelemahan Rupiah. Dan ketika posisi profit taking, Rupiah ternyata tetap ke arah melemah.
Fenomena lain yang perlu dicermati adalah harga emas yang “rally” sejak Januari 2025. Kondisinya seperti situasi era perang. Diperkuat data badan statistik Amerika Serikat yang memperlihatkan sejak Januari 2025 terjadi defisit neraca perdangan yang diakibatkan lonjakan impor emas nonmonetary, atau pembelian emas oleh institusi keuangan diluar bank sentral
Kaitannya antara lain ketika Trump pada awal pemerintahan melakukan executive note devisa kripto (bitcoin) dikaitkan emas. Besar kemungkinan, uang orang kaya Indonesia keluar via kripto settlement, yang bisa masuk dalam skema emas. Selanjutnya dimungkinkan masuk ke hedge fund.
Hal demikian wajar saja terjadi pada saat “rebalancing portofolio hedge fund”, yang sering terjadi pada bulan Maret selama beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, pada waktu lalu, nilai tukar Rupiah tidak bersifat inelastis terhadap indeks dolar.
Fenomena “anomaly” sejak 28 Februari 2025 tersebut diduga kuat karena investor dan para pemilik dana besar telah membaca Pemerintah Indonesia sedang kesulitan arus kas (cash flow). Antara lain ditandai oleh pemblokiran banyak pos belanja, dengan alasan sedang proses efisiensi APBN.
Menkeu Sri Mulyani saat sarasehan ekonomi lalu menginformasikan bahwa uang APBN sudah bisa cair untuk belanja, seolah memberi optimisme tidak ada masalah cash flow. Akan tetapi, pasar masih membaca Indonesia mengalami penurunan daya beli sehingga menurunkan pendapatan negara.
Padahal, pengeluaran akan naik tajam dari besar nilai utang jatuh tempo pada 2025-2027, disertai pembayaran bunga yang turut melonjak. Penjelasan efisiensi APBN juga tidak memberi sinyal yang jelas bahwa belanja akan mengurangi defisit dan mengatasi kesulitan cash flow. []