Meskipun mencetak laba besar, fenomena ini bukan pertanda sehatnya sistem moneter, melainkan cerminan dari ketidakstabilan ekonomi yang makin terasa.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Senior Bright Institute)
BANK Indonesia melaporkan keuangannya memperoleh surplus besar pada tahun 2024. Surplus sebelum pajak mencapai Rp67,35 triliun, dan setelah dikurangi pajak sebesar Rp52,19 triliun. Merupakan surplus terbesar sejak 2016 atau selama sembilan tahun terakhir.
Surplus diperhitungkan dari Penghasilan yang mencapai Rp228,37 triliun dan Beban sebesar Rp161,32 triliun.
Penghasilan Bank Indonesia pada 2024 merupakan yang terbesar selama ini. Mengalami kenaikan sebesar 20,43% dibanding 2023. Melanjutkan tren kenaikan selama empat tahun terakhir, setelah sebelumnya sempat mengalami penurunan pada 2019 dan 2020.
Penghasilan Bank Indonesia disajikan dalam lima komponen dalam Laporan Tahunan Keuangan Bank Indonesia. Yaitu: Pelaksanaan Kebijakan Moneter, Pengelolaan Sistem Pembayaran, Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, Pendapatan dari Penyediaan Pendanaan, Pendapatan Lainnya.
Pada dasarnya yang menjadi penghasilan utama Bank Indonesia adalah dari Pelaksanaan Kebijakan Moneter. Pada 2024, komponen ini mencapai Rp226,89 triliun atau 99,22% dari seluruh penghasilan.
Penghasilan dari komponen Pelaksanaan Kebijakan Moneter tahun 2024 terdiri delapan kelompok. Yaitu: Pendapatan Bunga, Pendapatan Transaksi Syariah, Pendapatan Bunga Surat Berharga Negara (SBN) Pemulihan Ekonomi Nasional, Pendapatan Bunga SBN dalam rangka Kesehatan dan Kemanusiaan, Pendapatan imbalan SBN syariah dalam rangka Kesehatan dan Kemanusiaan, Transaksi Aset Keuangan, Selisih Kurs Transaksi Valuta Asing, dan Pendapatan Lainnya.
Pendapatan Bunga mencapai Rp91,53 triliun, yang merupakan rekor tertinggi selama ini. Serupa dengan itu, terdapat pendapatan transaksi atas dasar prinsip syariah yang memberi pendapatan sebesar Rp10,73 triliun. Jika ditotal sebesar Rp triliun, yang merupakan 44,72% dari total penghasilan Bank Indonesia.
Perhitungan Pendapatan Bunga perlu ditambahkan dengan dua kelompok penghasilan lainnya untuk bisa dibandingkan dengan tahun-tahun lampau. Namun, kelompok ini menimbulkan beban yang hampir setara, karena memang dimaksudkan berbagi beban dengan Pemerintah. Antara lain: Pendapatan Bunga SBN Pemulihan Ekonomi Nasional (Rp26,20 triliun), Pendapatan Bunga SBN dalam rangka Kesehatan dan Kemanusiaan (Rp27,79 triliun), dan Pendapatan Imbalan SBN Syariah dalam rangka Kesehatan dan Kemanusiaan (Rp1,09 triliun).
Kelompok Transaksi Aset Keuangan menyumbang penghasilan sebesar Rp9,71 triliun. Kelompok ini menampung pendapatan yang bersifat keuntungan neto setelah memperhitungkan kerugian. Antara lain keuntungan dari transaksi penjualan emas, surat berharga, dan transaksi derivatif.
Kelompok pendapatan dari selisih kurs transaksi valuta asing mencapai Rp54,57 triliun atau 21,27% dari total penghasilan. Meningkat sebesar 35,15% dibanding tahun lalu, meski laju kenaikan turun dibanding tahun 2023 yang mencapai 61,31%. Pendapatan kelompok ini biasanya memang memberi kontribusi besar, dan sempat mencapai 66,57% pada tahun 2015.
Pendapatan selisih kurs transaksi valuta asing makin besar jika volatilitas kurs rupiah makin tinggi. Bank Indonesia menetapkan kurs yang berbeda antara posisi sebagai penjual dan sebagai pembeli valuta asing.
Komponen penghasilan selain Pelaksanaan Kebijakan Moneter memberi kontribusi relatif kecil. Antara lain: Sistem Pembayaran sebesar Rp249,54 miliar, Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial sebesar Rp5,66 miliar, Pendapatan dari Penyediaan Pendanaan sebesar Rp67,06 miliar, serta Pendapatan Lainnya sebesar Rp1,45 triliun.

Informasi kenaikan pesat penghasilan Bank Indonesia pada 2024 di atas menarik untuk dicermati, apalagi jika dikaitkan dengan dinamika sektor moneter dan keuangan. Secara sepintas tampak bahwa pelemahan nilai tukar rupiah justeru memberi kontribusi besar bagi penghasilan. Tepatnya dalam kondisi volatilitas kurs harian yang cukup tinggi.
Begitu pula dengan pendapatan bunga dan yang sejenisnya meningkat seiring dengan kenaikan BI rate dan bunga lending facility. Tentu bukan hanya tingkat bunga melainkan besaran transaksinya. Ditambah dengan tingkat diskonto atau yield SBN di pasar sekunder berkenaan dengan kepemilikan Bank Indonesia yang makin besar.
Dibutuhkan penelisikan lebih lanjut atas berbagai kondisi yang saling berkaitan tersebut. Peningkatan penghasilan Bank Indonesia secara amat signifikan memang tak bisa diartikan sebagai pemburukan kondisi moneter dan keuangan. Akan tetapi juga bukan lah petanda baik, karena isyarat stabilitas dan kepastian yang menurun. []