Tujuan laporan keuangan BI adalah menunjukkan pencapaian manajemen atas stabilitas nilai rupiah.
BANK Indonesia merupakan lembaga negara yang mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Diberi status dan kedudukan khusus berdasar Undang-Undang. Hal itu diperlukan agar Bank Indonesia dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara efektif dan efisien.
Status Bank Indonesia sebagai badan hukum publik atau badan hukum perdata diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai badan hukum publik dan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, berwenang mengeluarkan peraturan yang mengikat dalam pelaksanaan undang-undang tersebut. Sebagai badan hukum perdata, berwenang mewakili dirinya di dalam dan di luar pengadilan.
Oleh karena posisi uniknya, Bank Indonesia ditetapkan sebagai badan hukum yang mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengelolaan kekayaan dan keuangan secara umum dituntut transparan dan memenuhi prinsip akuntabilitas publik serta terbuka bagi pengawasan oleh masyarakat.
Bank Indonesia memiliki kewajiban menyusun laporan keuangan yang disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk diperiksa. Hasil pemeriksaan tersebut wajib diumumkan kepada publik melalui media masa dan media informasi lainnya.
BPK memeriksa berdasar beberapa Undang-Undang dan peraturan, termasuk Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia. BPK antara lain memeriksa Laporan Posisi Keuangan, Laporan Surplus Defisit, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Tujuan Laporan Keuangan Menurut Bank Indonesia Sendiri
Bank Indonesia mengatakan tujuan laporan keuangannya adalah untuk menunjukkan pencapaian manajemen atau pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya keuangan dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah.
Laporan mencakup informasi tentang dampak keuangan dari kebijakan Bank Indonesia terhadap posisi keuangan dan surplus atau defisit Bank Indonesia. Dikatakan laporan tidak dimaksudkan untuk mengukur pencapaian tujuan Bank Indonesia, karena stabilitas nilai rupiah tidak dapat diukur dalam satuan mata uang.
Ditambahkan bahwa laporan tidak dimaksudkan menyajikan informasi tentang efisiensi penggunaan sumber daya dalam mencapai tujuan Bank Indonesia. Meskipun penggunaan sumber daya dapat diukur dalam satuan mata uang, tetapi pencapaian tujuannya tidak dapat diukur dengan itu. Oleh karenanya tidak dilakukan perhitungan efisiensi dalam ukuran perbandingan nilai keuangan dari tujuan terhadap biaya untuk mencapai tujuan tersebut.
Namun diakui bahwa dampak keuangan upaya Bank Indonesia mencapai tujuannya dapat diukur dalam satuan mata uang. Dalam hal ini, laporan keuangan dapat digunakan untuk mengukur dampak keuangan dari upaya pencapaian tujuan Bank Indonesia tersebut.
Gambaran Umum Laporan Keuangan Tahun 2023
Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia (LKTBI) 2023 yang telah selesai diaudit oleh BPK pada 3 Mei dan dipublikasi oleh BI pada Juni 2024. LKTBI mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
LKTBI 2023 melaporkan posisi keuangan Bank Indonesia, yang serupa neraca pada badan usaha atau lembaga lainnya. Total Aset Bank Indonesia mencapai Rp3.876,74 triliun pada akhir 2023. Nilainya meningkat tiap tahun. Pada tahun 2020 dan 2021 naik signifikan, antara lain karena kepemilikan BI yang bertambah besar atas Surat Berharga Negara akibat pandemi.
Aset Bank Indonesia tahun 2023 dirinci dalam lima kelompok, yaitu: Emas (Rp80,43 triliun), Aset Keuangan untuk Pelaksanaan Kebijakan Moneter (Rp3.558,67 triliun), Hak Tarik Khusus di Lembaga Keuangan Internasional (Rp131,64 triliun), Tagihan (Rp74,18 triliun), Aset Non Kebijakan (Rp31,82 triliun).
Sesuai kaidah neraca, nilai liabilitas sama dengan nilai aset. Namun, rincian liabilitas Bank Indonesia bersifat khusus dan berbeda dengan badan lain, yaitu: Uang Dalam Peredaran (Rp1.101,77 triliun), Liabilitas Keuangan untuk Pelaksanaan Kebijakan Moneter (Rp1.752,09 triliun), Alokasi Hak Tarik Khusus dari Lembaga Keuangan Internasional (Rp133,31 triliun), Liabilitas Keuangan kepada Pemerintah (Rp465,44 triliun), Kewajiban Non Kebijakan (Rp23,00 triliun), Selisih Revaluasi (Rp85,21 triliun), Modal (Rp3,73 triliun), Akumulasi Surplus atau Defisit (Rp312,17 triliun).
LKTBI 2023 melaporkan penghasilan selama setahun sebesar Rp189,87 triliun. Tersaji dalam lima kelompok, yaitu: Pelaksanaan Kebijakan Moneter (Rp189,40 triliun), Pengelolaan Sistem Pembayaran (Rp219,75 miliar), Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial (Rp11,51 miliar), Pendapatan dari Penyediaan Pendanaan (Rp80,60 miliar), dan Pendapatan Lainnya (Rp160,73 miliar).
Pengeluaran yang disebut sebagai beban mencapai Rp142,97 triliun. Tersaji dalam lima kelompok, yaitu: Pelaksanaan Kebijakan Moneter (Rp61,74 triliun), Pengelolaan Sistem Pembayaran (Rp4,64 trilun), Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial (Rp605,10 miliar), Hubungan Keuangan dengan Pemerintah (Rp59,67 triliun), Beban Umum dan Lainnya (Rp16,31 triliun).
Dengan demikian, Bank Indonesia mengalami surplus sebesar Rp46,91 triliun. Setelah dikurangi pajak, surplusnya menjadi Rp36,31 triliun. Merupakan surplus terbesar selama lima tahun terakhir. Sempat mencapai Rp61,33 triliun pada tahun 2015. Namun juga sempat relatif kecil pada tahun 2017, yang hanya Rp5,28 triliun.
Dari informasi LKTBI terlihat bahwa pelaksanaan kebijakan moneter membutuhkan biaya atau beban, namun juga menimbulkan penghasilan. Dalam praktiknya, penghasilan selalu lebih besar dari beban. Beban dari kegiatan ini pada 2023 sebesar Rp189,40 triliun, sedang Penghasilan mencapai Rp61,74 triliun. Terjadi surplus sebesar Rp127,66 triliun.
Salah satu yang perlu didalami dalam penghasilan pelaksanaan kebijakan moneter adalah selisih transaksi valuta asing. Jika nilai tukar rupiah lebih volatile, maka penghasilan meningkat lebih pesat dibanding beban. Pendapatan selisih transaksi valuta asing meningkat signifikan pada 2023 mencapai Rp40,38 triliun. Lebih dari dua kali lipat pendapatan tahun 2022 yang hanya Rp19,59 triliun.
Dalam hal pendapatan bunga atau yang serupa dalam transaksi syariah mencerminkan beberapa hal. Di ataranya berupa aktivitas penyaluran likuiditas oleh Bank Indonesia serta kepemilikan atas Surat Berharga Negara. Pendapatannya juga meningkat lebih pesat dari bebannya selama beberapa tahun terakhir.
Meskipun perlu dikaji lebih dalam, sepintas terlihat dalam kondisi nilai tukar rupiah yang lebih stabil dan inflasi yang lebih terkendali rendah, maka surplus pelaksanaan kebijakan moneter lebih sedikit. Berlaku pula sebaliknya. Dengan demikian, perlu dicermati lebih lanjut beberapa aspek teknis dari kebijakan moneter yang berdampak pada kondisi ekonomi dan kondisi keuangan Bank Indonesia. []