Pada tahun ’90-an, Ismail Serageldin adalah salah seorang yang paling getol mengampanyekan privatisasi air.
BANYAK kalangan menganggap air akan jadi sumber masalah di masa depan. Pro-kontra tentang ketersediaan air sudah diperdebatkan sejak tahun ’90-an dengan agak membosankan, sebelum Ismail Serageldin hadir menyentak syaraf banyak orang.
Ismail Serageldin, pada tahun 1995, di satu pidatonya sebagai Wakil Presiden Bank Dunia di Stockholm, dengan tegas mengatakan, “Banyak perang abad ke-20 adalah tentang minyak tetapi perang abad ke-21 adalah tentang air, kecuali kita mengubah cara kita mengelolanya.”
Ismail Serageldin bukan nama asing soal air. Ia merupakan ketua Global Water Partnership dan World Commission for Water. Ia adalah figur penting dalam diskusi menyangkut ini, terutama ketika ia menjabat sebagai Wakil Presiden Bank Dunia pada tahun 1993–2000.
Perdebatan ‘krisis air’ ala akademia sejak saat itu secara langsung mengerucut kepada isu ‘perang air’. Fakta semakin banyaknya kebutuhan manusia atas air dijadikan legitimasi awal terjadinya perang di masa mendatang.
Privatisasi Air
Ismail Serageldin menjadi figur menarik sebab hal-hal yang ia ucapkan kala itu sejalan dengan apa yang memang semestinya ia lakukan. Ia mengatakan banyak hal buruk tentang perang perebutan air. Di sisi lain, sebagai Wakil Presiden Bank Dunia, ia menawarkan jawaban untuk menghindarkan terjadinya perang: privatisasi air.
Bank Dunia, kita tahu, adalah entitas yang paling getol mengampanyekan privatisasi air. Namun, soal apakah privatisasi air dapat menjadi jawaban langsung untuk mencegah terjadinya perang perebutan sumber daya air, hal itulah yang belum diketahui pasti.
Yang terang, Bank Dunia punya tendensi merebut pengelolaan air dari tangan sektor publik (pemerintah) untuk diserahkan kepada sektor swasta.
Dalam makalahnya berjudul Improving Water Resources Management, Bank Dunia menyebut sektor publik tidak ‘becus’ mengelola air. Pemerintah di banyak negara, menurut makalah itu, kedapatan sering buang-buang air bersih hingga 40–50 persen dari seharusnya. Penyebabnya adalah kebocoran dan pencurian. Hal itu mengurangi kemampuan pemerintah dalam memperluas pelayanan air bersih ke wilayah kumuh dan pinggir perkotaan.
Bank Dunia berpandangan bahwa pengelolaan air oleh negara punya sekian keterbatasan, dan keterbatasan itu bukan tanpa solusi. Karena kesulitan-kesulitan yang sering ditemui bermuara pada soal anggaran, maka di ujung cerita, hal ini cukup untuk menjadi alasan agar negara mengoper tugasnya kepada swasta.
Langkah ini mula-mula memang tampak logis, walaupun pada akhirnya membuat pemerintahan di banyak negara terbelenggu oleh solusi yang awalnya dipilih sendiri. Gelombang privatisasi yang bermula dua dekade lalu baru dirasakan sekarang. Banyak sektor swasta yang terbukti gagal mengelola air dengan baik.
Di Indonesia, kegagalan swasta bisa dipelajari dari kasus-kasus misalnya yang terjadi di Umbul Senjoyo di Semarang, di mata air Sigedang di Klaten, dan di mata air Gunung Muria di Kudus. Tentu saja, kegagalan swasta juga bisa dipelajari dari konsesi Pemprov DKI Jakarta dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ) pada tahun 1997.
Swasta yang semula menjanjikan banyak hal justru banyak memberikan kualitas pelayanan yang buruk. Air yang dikelola swasta juga biasanya punya tarif mahal. Selain itu, kacaunya tata kelola, kurangnya transparansi, buruknya kondisi tenaga kerja, potensi kebangkrutan, dan kekosongan arus investasi menjadi alasan lain mengapa privatisasi air gagal diterapkan di banyak negara.
Setelah tidak menjabat sebagai Wakil Presiden Bank Dunia, Ismail Serageldin melanglang buana ke tempat yang sepi hiruk-pikuk. Ia menjadi Direktur Pustakawan di Bibliotheca Alexandrina (BA), Mesir, dan datang memberi ceramah ke kampus-kampus.
Banyak pihak memberi Ismail Serageldin penghargaan atas sumbangsih pikirannya soal pengentasan kemiskinan dan kelestarian lingkungan. Tidak sedikit pula yang menghujatnya sebagai sumber masalah privatisasi air di seluruh dunia. [adj]