Kenaikan BI-Rate jelas merupakan kebijakan moneter ketat yang akan berdampak pada permintaan agregat.
RAPAT Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23–24 April 2024 memutuskan menaikan BI-Rate sebesar 0,25 basis point menjadi 6,25%. Sedikit di luar dugaan banyak pihak yang beberapa hari sebelumnya memprakirakan akan dipertahankan pada tingkat 6,00%.
Bank Indonesia mengatakan bahwa kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasarannya. Sasaran inflasi di kisaran 1,5–3,5% pada 2024 dan 2025, yang dianggap sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability.
Level BI-Rate sebenarnya terbilang tinggi. Ketika ditetapkan sebesar 6,00% per Oktober 2023 sudah merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2016. Dengan demikian, rekor baru tercipta.
1 Pertimbangan Bank Indonesia Menaikkan BI-Rate
Bank Indonesia tampaknya menyadari bahwa BI-Rate memang cukup tinggi. Oleh karenanya ditambahkan penjelasan bahwa hal itu akan disertai beberapa kebijakan untuk mengendalikan dampak buruknya. Terdapat kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ditambahkan bahwa kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.
RDG Bank Indonesia April 2024 menjelaskan sekaligus menimbang berbagai faktor dan dinamika perekonomian terkini dalam pengambilan kebijakannya. Antara lain menyajikan asesmen terhadap: ekonomi global, ekonomi domestik, neraca pembayaran, nilai tukar rupiah, inflasi, operasi moneter pro-market, transmisi suku bunga kebijakan, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran.
Dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian meningkat karena perubahan arah kebijakan moneter AS dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Ada spekulasi penurunan Fed Funds Rate yang lebih kecil dan lebih lama dari prakiraan. Akibatnya, investor global memindahkan portofolionya ke aset yang lebih aman yang menyebabkan pelarian modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin besar.
Dalam kondisi demikian, Bank Indonesia menilai ekonomi Indonesia tetap masih bisa tumbuh cukup tinggi dan berdaya tahan. Ditambahkan bahwa ketahanan eksternal ekonomi nasional juga didukung oleh surplus neraca pembayaran Indonesia.
Bank Indonesia melaporkan beberapa hal lain yang juga dalam kondisi baik. Inflasi terjaga kisaran sasaran 1,5–3,5%. Transmisi kebijakan moneter berjalan baik dan ketahanan sistem keuangan tetap terjaga baik. Kinerja transaksi sistem pembayaran tetap tumbuh kuat yang didukung oleh stabilitas infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran tetap terjaga. Pertumbuhan kredit perbankan pun terus meningkat.
Meski asesmen secara umum mengklaim kondisi yang baik dan berdaya tahan, kebijakan nilai tukar Bank Indonesia terus diarahkan untuk menjaga stabilitas rupiah dari dampak menguatnya dolar AS secara luas. Bank Indonesia mengaku terus mengoptimalkan strategi operasi moneter “pro-market“.
Pertimbangan tersebut membuat Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25%. Suku bunga Deposit Facility juga dinaikan sebesar 25 bps menjadi 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 7,00%.
Bank Indonesia tampak menyadari bahwa BI-Rate sebesar itu memang cukup tinggi. Oleh karenanya ditambahkan penjelasan akan disertai beberapa kebijakan untuk mengendalikan dampak buruknya. Terdapat kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ditambahkan bahwa kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.
2 Perkembangan BI-Rate
Bank Indonesia menggunakan nama BI-Rate sebagai suku bunga kebijakan menggantikan BI 7-day reverse repo rate (BI7DRR) pada 21 Desember 2023. Namun, ini hanya penggantian nama dan tidak mengubah makna dan tujuannya sebagai stance kebijakan moneter serta memperkuat komunikasi kebijakan. Tetap mengacu pada transaksi reverse repo Bank Indonesia tenor tujuh hari.
Penyebutan BI-Rate sebagai suku bunga acuan sudah pernah dipakai sebelumnya, yaitu sejak tahun 2005 hingga Agustus 2016. Kala itu, BI-Rate merupakan suku bunga dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tenor selama 12 bulan. Bank-bank umum yang menyimpan dana mereka berupa SBI memperoleh pendapatan bunga tahunan sesuai besaran BI Rate yang telah ditentukan.
Sejarah BI rate sendiri bisa ditarik dari krisis moneter yang memicu Indonesia untuk melakukan banyak reformasi di lembaga keuangan. Mulai dari Krisis 1997/1998 yang kemudian menghasilkan Undang-Undang No.23 Tahun 1999 yang menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bersifat independen.
Bank Indonesia kemudian memberlakukan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework (ITF). Sejak 1 Juli 2005, BI menerapkan kerangka kebijakan tersebut dalam tugasnya menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Sebagai suku bunga acuan ditetapkanlah BI-Rate.
Bank Indonesia mengubah suku bunga acuan menjadi BI7DRR sejak 19 Agustus 2016. Instrumen ini memungkinkan bank-bank umum untuk menarik kembali dana yang mereka simpan di BI dalam tempo tujuh hari serta kelipatannya.
BI-Rate yang dahulu disebut BI7DRR dinilai Bank Indonesia memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang. Sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya penggunaan instrumen repo. Dengan demikian, Bank Indonesia memiliki salah satu instrumen untuk mengendalikan jumlah uang beredar sebagai satu instrumen pengendalian inflasi.
Pada prinsipnya, Bank Indonesia akan menerapkan kebijakan moneter ketat atau suku bunga acuan saat terjadi lonjakan inflasi, stabilitas nilai tukar terganggu atau saat tingkat suku bunga global melonjak. Ketika ada ancaman inflasi meningkat tinggi, BI cenderung menaikkan suku bunga.
Sebagai contoh, suku bunga acuan tertinggi pernah ditetapkan sebesar 12,75% selama Desember 2005 hingga April 2006. Pada waktu itu terutama untuk meredam tingginya ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga BBM.
Kemudian pada saat terdampak krisis keuangan 2008, BI Rate naik secara bertahap dari 8% menjadi 9,5% pada Oktober 2008. Kebijakan itu termasuk mitigasi atas dampak krisis keuangan 2008 yang berimbas cukup besar kepada Indonesia berupa derasnya arus modal ke luar (capital outflow).
Selain itu, inflasi global termasuk Indonesia melonjak karena harga minyak mentah melambung. Pemerintah kemudian menaikkan harga BBM subsidi sebesar 29% pada Mei 2008. Langkah ini membuat inflasi melambung hingga 10,4% pada periode yang sama. Secara keseluruhan inflasi mencapai 11,06% pada sepanjang tahun 2008.
Kebijakan moneter ketat diterapkan pada 2013 saat pasar keuangan global goyang karena the Fed menjalankan kebijakan yang disebut quantitative easing. Pada periode tersebut, capital outflow dari pasar keuangan Indonesia mengalir keluar cukup deras dan menekan rupiah—ditambah faktor inflasi yang melonjak setelah pemerintah menaikkan harga BBM pada Juni 2013.
Dalam kondisi normal, BI-Rate konsep lama maupun baru, cenderung diturunkan secara perlahan. Dalam konsep lama, sempat cukup lama di level 5,75-7,75%. Sedangkan dalam konsep baru (BI7DDR) mencapai tingkat terendah dan stabil periode Februari 2021–Juli 2022 di level 3,50%.
Secara perlahan BI menaikan kembali hingga mencapai 6,00% sejak Oktober 2023 sampai dengan Maret 2024. Hal itu terutama karena pengaruh masih tingginya suku bunga the Fed. Perkembangan terkini membuat dinaikan lagi menjadi 6,25% pada April 2024, yang merupakan level tertinggi sejak Agustus 2016.
3 Kebijakan Moneter
Dampak dari krisis 1997/1998 antara lain menghasilkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 yang menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang bersifat independen. Bank Indonesia dikukuhkan menjadi otoritas moneter yang menjalankan kebijakan moneter.
Tujuan utama kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dinyatakan sebagai berikut: mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, serta turut menjaga stabilitas sistem keuangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
UU No. 23 Tahun 1999 telah beberapa kali diubah dan dilengkapi dengan UU terkait. Terkini dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Yang dimaksud dengan stabilitas nilai rupiah adalah kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter yang disebut Inflation Targeting Framework (ITF) sejak 1 Juli 2005. ITF adalah suatu kerangka kerja (framework) kebijakan moneter mengenai kisaran target sasaran inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan serta diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan akuntabilitas bank sentral. Implementasinya menggunakan suku bunga kebijakan sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga pasar uang antarbank overnight di Indonesia.
Penetapan sasaran inflasi yang eksplisit dan diumumkan secara transparan diberikan sinyal kepada masyarakat dan pelaku pasar mengenai komitmen Bank Indonesia menjaga stabilitas harga dan kepercayaan publik. Selain itu, Bank Indonesia mengaku akan meningkatkan akuntabilitasnya dalam menjalankan kebijakan moneter, dengan menerapkan kerangka kerja yang konsisten dan transparan.
Pengalaman krisis keuangan global 2008/2009 mengajarkan pentingnya fleksibilitas bagi bank sentral dalam merespons perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang semakin kuat dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan pengalaman tersebut, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF.
Disadari penerapan ITF secara ketat hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan. Keberhasilan penerapan ITF harus didukung dengan kerangka pengaturan di sektor keuangan secara makro. Kerangka FlexibleITF dinilai memperkuat mandat Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas harga dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan.
4 Operasi Pasar Terbuka
Dalam menjalankan tugasnya, Bank Indonesia antara lain melakukan Operasi Moneter (OM). OM bertujuan mendukung pencapaian stabilitas moneter yang dilaksanakan di pasar uang dan pasar valas secara terintegrasi. Ada yang dilakukan secara konvensional dan ada yang berdasarkan prinsip syariah.
OM terutama dilakukan dengan mengendalikan suku bunga di pasar uang antar-bank Overnight. Pengendalian dimaksud agar bergerak di sekitar suku bunga kebijakan Bank Indonesia yaitu BI-Rate dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar bergerak stabil sejalan dengan nilai tukar fundamental.
Pengelolaan likuiditas di pasar uang rupiah dilakukan dengan cara absorpsi likuiditas dan injeksi likuiditas. Sedangkan untuk menjaga nilai tukar agar sejalan dengan nilai tukar fundamental, OM dilakukan melalui pelaksanaan intervensi dan atau transaksi valas lainnya di pasar valuta asing.
Operasi Moneter terdiri dari Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities (SF). OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan bank atau pihak lain untuk OM. Pelaksanaan OPT rupiah dibagi menjadi dua yaitu absorbsi dan injeksi yang dalam pelaksanaannya menimbang kondisi likuiditas di sistem perbankan.
OPT valuta asing (valas) dilakukan melalui instrumen intervensi valas yang utama, seperti transaksi spot, transaksi forward dan transaksi domestic non-deliverable forward (DNDF). Ditambah dengan instrumen pengelolaan likuditas yang bertujuan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah, seperti foreign exchange swap (FX Swap), Term Deposit (TD) Valas, Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) Valas, dan TD Valas Syariah.
5 Dampak BI-Rate yang Tinggi
Suku bunga kebijakan BI-Rate adalah instrumen utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir mencapai sasaran inflasi. Namun, dalam proses transmisi kebijakan moneter tersebut, terdapat waktu yang dibutuhkan (time lag) untuk mencapai sasaran inflasi melalui berbagai channel. Setiap channeltransmisi kebijakan moneter memiliki time lag yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, perbankan akan merespons kenaikan atau penurunan BI-Rate dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga perbankan dalam tempo cukup cepat. Namun, jika perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, maka respons perbankan terhadap penurunan akan lebih lambat. Dan jika perbankan sedang konsolidasi memperbaiki permodalannya, penurunan suku bunga kredit dan peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit.
Pada sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan pun tidak selalu direspons peningkatan permintaan kredit dari masyarakat. Hal itu biasa terjadi dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu. Dengan kata lain, efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor keuangan dan perbankan, serta sektor riil.
Perubahan BI-Rate akan memengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan melalui transmisi kebijakan moneter pada jalur suku bunga. Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter yang ketat dengan menaikkan suku bunga yang berdampak pada permintaan agregat sehingga akan menurunkan tekanan inflasi.
Sebaliknya, penurunan BI-Rate akan menurunkan suku bunga kredit sehingga meningkatkan permintaan kredit dari perusahaan dan rumah tangga. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk investasi. Hal tersebut meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan pada jalur nilai tukar, kenaikan BI-Rate meningkatkan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga di luar negeri. Hal tersebut biasanya mendorong investor asing untuk menanamkan modalnya ke instrumen keuangan di Indonesia, karena mereka bisa mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal asing tersebut kemudian akan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah.
Apresiasi nilai tukar rupiah membuat harga barang impor menjadi lebih murah, sementara harga barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif, sehingga dapat mendorong impor dan mengurangi ekspor. Adanya apresiasi rupiah kemudian akan berdampak pada penurunan tekanan inflasi.
Perubahan suku bunga BI-Rate juga memengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi, sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan. Pada giliran berikutnya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Hal ini akan mengurangi permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi.
Dampak perubahan suku bunga pada kegiatan ekonomi juga dianggap memengaruhi ekspektasi publik terhadap inflasi melalui jalur ekspektasi. Penurunan suku bunga akan mendorong aktivitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi akan mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.
Kenaikan BI-Rate yang sudah sebelumnya sudah cukup tinggi selama ini merupakan kebijakan moneter yang ketat, yang berdampak pada penurunan permintaan agregat. Hal itu dianggap sebagai salah satu sebab inflasi dapat dikendalikan sejauh ini. Salah satu tujuan kenaikan BI-Rate terkini juga menahan tekanan inflasi.
Akan tetapi, kondisi saat ini terindikasi mengalami kelesuan ekonomi atau kekurangan permintaan agregat. Otoritas ekonomi seharusnya menimbang lebih cermat antara biaya menahan laju Inflasi dengan kebutuhan mendinamisasi perekonomian yang sedang membutuhkan dorongan permintaan agregat, atau sekurangnya daya beli masyarakat luas.
Bank Indonesia perlu menimbang lebih jauh asumsi transmisi kebijakan pada jalur nilai tukar pada saat ini. Belum tentu akan terjadi asumsi kenaikan BI-Rate bisa memperkuat nilai tukar. Penjelasan kebijakannya antara lain terjadi peningkatan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga di luar negeri, lalu mendorong investor asing untuk menanamkan modalnya ke instrumen keuangan di Indonesia. Dampak berikutnya, penguatan nilai tukar rupiah.
Asumsi demikian adalah dalam kondisi normal. Jika kondisinya cukup luar biasa dan ketidakpastian meningkat, maka beberapa faktor lain bisa lebih menentukan. Di antaranya adalah kebijakan dari berbagai negara lain, perkembangan kondisi geopolitik, dan kondisi dalam negeri Indonesia. Salah satu perlu diwaspadai juga adalah faktor spekulasi yang tidak cukup terduga.
6 Komentar Ekonom
Yanuar Rizky, ekonom senior mengatakan bahwa dalam jangka panjang pola relasi berdasar riset data, BI-Rate memang memiliki transmisi korelasi positif dengan kurs rupiah. Jika BI-Rate naik, maka Rupiah cenderung menguat.
Ditambahkannya, jika dilihat dari aspek volatilitas, pelemahan rupiah biasanya mendahului BI-Rate. Akibatnya terjadi penurunan nilai impor. Dalam waktu beberapa bulan pelemahan rupiah, akan menyebabkan transmisi korelasi impor sebagai pendorong Inflasi.
“Pada sisi lain, rupiah yang melemah diikuti naiknya rate volatilitas rupiah di pasar uang antar-bank atas dolar AS. Hal itu menyebabkan ekses likuiditas ke melemahnya harga SUN, yang berakibat kenaikan yield SUN,” kata Yanuar.
Menurutnya, atas pertimbang pola data selama ini, BI-Rate memang harus dinaikkan. Dijelaskannya antara lain karena kondisi beberapa bulan belakangan sebelumnya: (1) harga penutupan harian rupiah melemah ke rata-rata Rp16.240 dari Rp15.800; (2) rate volatilitas rupiah atas dolar AS di perdagangan harian pasar uang rata-rata harian per tahunnya 6,64%; (3) Yield SUN meningkat ke 7,256%.
“Bahkan, jika dilihat kenaikan BI-Rate ke 6,25% bisa dikatakan terlambat (behind the curve). Yield di pasar masih jauh lebih besar, mencapai 7,27%. Data-data memperlihatkan bahwa naiknya yield dan rate volatilitas Rupiah-dolar telah melebihi BI-Rate,” tegas Yanuar.
Ketika ditanya tentang bagaimana pengaruhnya atas suku bunga pinjaman perbankan, dijawab bahwa pengaruh akan terjadi jika BI-Rate terus naik dalam jangka 3–6 bulan dan tetap tinggi dalam 1 tahun. Hal itu ditentukan oleh seberapa dalam pelemahan rupiah dan penurunan harga sekunder SUN bisa diredam BI untuk mengatasi masalah sistem pembayaran impor konsumsi dan energi dan pelemahan nilai aset perbankan dan kecukupan modalnya.
Secara keseluruhan, Yanuar menilai bauran kebijajakan harus diperkuat untuk mendukung kenaikkan BI-Rate ini. Diingatkannya soal koordinasi dan sinergi kebijakan moneter dengan fiskal moneter harus ditingkatkan.
Ekonom senior lainnya, Awalil Rizky menilai sebagian besar asesmen Bank Indonesia menyajikan kondisi yang disebutnya hanya ingin dilihat saja, dan prakiraannya pun terlampau optimistis. Dia berargurmen jika memang sebagus itu, mestinya tidak perlu menaikkan BI-Rate, karena level 6,00% saja sudah terasa cukup tinggi.
Awalil menganggap Bank Indonesia cukup menyadari BI-Rate sebesar itu cukup tinggi, yang tampak dari penjelasan kenaikan akan disertai beberapa kebijakan untuk mengendalikan dampak buruknya. Antara lain disebut kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran yang tetap pro-growth atau mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Kenaikan BI-Rate yang sudah cukup tinggi selama ini jelas merupakan kebijakan moneter yang ketat, yang akan berdampak pada permintaan agregat. Mungkin akan menurunkan tekanan inflasi. Namun, kondisi saat ini justeru sedang terdapat kelesuan ekonomi atau kekurangan permintaan agregat,” kata Awalil.
“Patut dipertanyakan apakah sepadan biaya menahan laju Inflasi dengan kebutuhan mendinamisasi perekonomian yang sedang membutuhkan dorongan permintaan agregat, atau sekurangnya daya beli masyarakat luas,” lanjutnya.
Awalil mengingatkan bahwa Bank Indonesia perlu menimbang lebih jauh asumsi transmisi kebijakan pada jalur nilai tukar pada saat ini. Menurutnya, sangat mungkin tidak terealisasi asumsi kenaikan BI-Rate yang meningkatkan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga di luar negeri, lalu mendorong masuknya investor asing dan berdampak penguatan nilai tukar rupiah.
“Harus diakui, tiap pilihan kebijakan ekonomi memiliki kelebihan dan kekurangan, serta bergantung pada ketepatan asumsi dan realisasi. Secara umum, kebijakan menaikan BI-Rate kali ini, apalagi akan berlanjut bulan-bulan mendatang, akan berbiaya sangat besar bagi ekonomi Indonesia. Khususnya kondisi kehidupan rakyat banyak,” kata Awalil.
“Perlu dievaluasi berbagai bauran kebijakan yang as usual karena kondisinya terindikasi makin luar biasa kompleks. Baik yang berasal faktor global, maupun dari kondisi domestik,” pungkasnya. []