Kinerja triwulan II-2024 dapat menjadi indikator tidak adanya dorongan untuk perekonomian tumbuh lebih pesat di sisa tahun.
LAJU pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,05% pada triwulan II 2024 sedikit di atas prakiraan konsensus banyak pengamat yang sebesar 5%.
Pemerintah sendiri menilainya sebagai cukup baik. Paparan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai penghitung data pun menilai ekonomi Indonesia tetap terjaga dan tumbuh solid.
Sebenarnya, angka pertumbuhan tersebut lebih buruk dibanding triwulan II-2023 yang sebesar 5,17%. Dan secara umum, bisa dikatakan angka pertumbuhan triwulan II-2024 bukan merupakan berita menggembirakan.
1 Triwulan II Year on Year
Dilihat dalam kurun waktu yang lebih lama, kecuali saat pandemi tahun 2020 dan 2021, capaian triwulan II-2024 pun tidak termasuk yang tinggi. Bahkan, jauh lebih rendah dibanding era tahun 2011–2013.
Data sejak tahun 2011 memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan triwulan dua biasanya sedikit lebih tinggi dibanding pertumbuhan satu tahun bersangkutan. Berdasar pola itu, setahun berjalan nanti diprakirakan akan lebih rendah dari triwulan dua.
Pola tersebut dalam kondisi perekonomian yang normal, tanpa guncangan perekonomian. Ketika pandemi masih berlangsung namun mulai menurun pada tahun 2021, pertumbuhan mencapai 7,08% pada triwulan dua, namun menurun drastis menjadi hanya 3,69% selama setahun.
Prakiraan jika kondisi perekonomian berlangsung normal pun pertumbuhan tahun 2024 tidak akan terlampau tinggi atau masih sesuai dengan level biasanya di kisaran 5%. Namun, jika ada guncangan yang mungkin dipicu oleh kondisi global, maka lajunya akan lebih rendah lagi.
2 Sektor yang Tumbuh
Terdapat enam sektor yang tumbuh tinggi dan melampaui pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2024. Yaitu: akomodasi dan makan minum (10,17%); transportasi dan pergudangan (9,56%); jasa kesehatan dan kegiatan sosial (8,56%); jasa perusahaan (7,96%); jasa keuangan (7,90%); dan infokom (7,66%).
Namun sektor-sektor tersebut bukan merupakan sektor yang menjadi fundamen perekonomian Indonesia. Tidak termasuk lima sektor yang berporsi terbesar dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB). Bukan pula sebagai penyerap tenaga kerja yang terbanyak.
Keberlanjutan tumbuh tingginya pun sulit dipertahankan. Terutama karena tidak ditopang oleh perkembangan sektor industri dan sektor pertanian yang justeru mengalami pertumbuhan yang relatif rendah. Kaitannya dengan pasokan input bersifat minimal dan dampak penggandanya bagi pertumbuhan ekonomi pun relatif kecil.
Bagaimanapun, pertumbuhan yang cukup tinggi selama triwulan dua memang sedikit menaikkan porsi masing-masing dalam PDB. Antara lain: transportasi dan pergudangan (6,24%), informasi dan komunikasi (4,33%), jasa keuangan (4,24%), dan akomodasi dan makan minum (2,64%).
Menurut informasi Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan amat tinggi yang dialami oleh sektor Akomodasi dan Makan Minum terutama didorong oleh adanya banyak even berskala nasional dan internasional. Seperti even pertemuan, musik, dan olah raga.
Sedangkan pertumbuhan sektor Transportasi dan Pergudangan didukung oleh beberapa faktor. Di antaranya: peningkatan mobilitas masyarakat seiring dengan hari besar keagamaan, cuti bersama, dan libur sekolah; peningkatan volume pengiriman barang ekspor impor; serta peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara.
Sementara itu, tiga sektor berporsi terbesar dalam PDB justeru tumbuh lebih rendah dari rata-rata seluruh sektor atau pertumbuhan ekonomi triwulan II-2024. Yaitu: sektor industri pengolahan (3,95%), sektor pertanian (3,25%), dan sektor perdagangan (4,86%).
Sektor pertambangan yang sempat tumbuh tinggi selama beberapa triwulan terakhir juga tumbuh rendah, yaitu sebesar 3,17%. Padahal, pada triwulan satu mencapai 9,31%.
3 Deindustrialisasi Masih Berlanjut
Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun mendatang berisiko akan melandai. Terutama karena tidak ditopang oleh kemajuan sektor industri pengolahan yang terhambat. Dalam struktur ekonomi Indonesia, industri pengolahan lah yang memiliki efek pengganda besar bagi sektor-sektor lainnya.
Sektor industri pengolahan hanya tumbuh 3,95%, atau lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Tercatat menurun dibanding triwulan II-2021 sampai dengan 2023. Pertumbuhannya bisa dipastikan sulit melampaui 4,5% selama setahun 2024. Dan masih akan tetap berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi.
Kecenderungan sektor industri tidak mampu tumbuh tinggi dan lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan dua telah terjadi satu sejak tahun 2013. Fenomena ini melanjutkan kecenderungan deindustrialisasi prematur yang terjadi sejak tiga dekade lalu.
Secara tahunan, sektor Industri pengolahan memang selalu tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2012. Selama era tahun 2011–2023, rata-rata tumbuh sebesar 3,99% per tahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,61%.
Selama sembilan tahun era Jokowi (2015–2023), rata-rata hanya tumbuh 3,44% per tahun. Jauh lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan ekonomi yang sebesar 4,13% per tahun.
Industri pengolahan memang masih memberi andil pertumbuhan ekonomi tertinggi pada triwulan II-2024. Sebesar 0,79 persen poin dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05%. Akan tetapi, andil atau sumbangan tersebut relatif lebih rendah dibanding tahun-tahun lampau yang kisaran satu persen poin.
Dalam hal porsinya atas PDB, terjadi sedikit penurunan menjadi 18,52%, dibanding triwulan I-2024 yang sebesar 19,28% dan triwulan II-2024 yang sebesar 18,26%. Kecenderungan ini mengindikasikan deindustrialisasi yang masih berlanjut. Porsinya secara tahunan 2024 mungkin hanya kisaran 19%.
Sejauh ini, porsi industri pengolahan dalam PDB memang masih yang terbesar, namun cenderung terus menurun. Porsinya masih sebesar 22,04% pada tahun 2010, turun menjadi 18,67% pada tahun 2023. Selama era Presiden Jokowi, penurunan dari porsi 21,08% pada tahun 2014.
Dilihat dari berbagai subsektor yang menopang kinerja industri pengolahan hingga masih mampu tumbuh 3,95%, maka masih akan sulit ditingkatkan selama beberapa tahun mendatang. Baik dalam konteks reindustrialisasi maupun andil dalam pertumbuhan ekonomi.
Antara lain dicirikan peningkatan porsi lebih ditopang oleh kenaikan industri makanan dan minuman, serta industri logam dasar. Pertumbuhan industri belakangan juga diperkuat oleh produksi sektor pertambangan yang diolah, yang secara popular disebut hilirisasi.
Meski sempat tumbuh tinggi dan memiliki porsi atas PDB yang cukup besar, keberlanjutan kinerja bagus dari sektor pertambangan mengkhawatirkan. Selain karena berasal dari sumber daya alam yang tak terbarukan, kinerjanya sangat bergantung pada perkembangan harga global yang tidak stabil. Penurunan kinerja sektor pertambangan terindikasi mulai terjadi pada triwulan dua ini.
Sementara itu, kinerja industri pengolahan terdongkrak oleh subsektor industri pengolahan makanan dan minuman. Namun, subsektor ini tampak makin mengandalkan bahan baku atau penolong dari impor. Sekurangnya tidak mendorong pertumbuhan sektor pertanian domestik sebagai bahan baku.
Perlu dicermati pula peran sektor industri pengolahan dalam penciptaan lapangan kerja. Penduduk yang bekerja di sektor ini sebanyak 18,88 juta orang atau 13,28% dari seluruh pekerja pada Februari 2024. Menempati urutan terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja.
Meski masih terbilang berporsi besar dalam penyerapan tenaga kerja, namun cenderung mengalami penurunan. Dalam hal jumlah tenaga kerja masih bisa sedikit bertambah, namun menurun signifikan dalam hal persentase atas total pekerja.
4 Sektor Pertanian Makin Terpuruk
Ketika ekonomi bisa tumbuh sebesar 5,05% pada triwulan II-2024, sektor pertanian hanya bisa tumbuh sebesar 3,25%. Kondisinya melanjutkan tren penurunan pertumbuhan yang hanya sebesar 1,30% pada tahun 2023.
Pertumbuhan sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) selama lima tahun terakhir selalu di bawah 2%. Jauh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi. Bahkan, rata-rata selama era Presiden Jokowi (2015–2023) hanya mencapai 2,86% per tahun.
Pertumbuhan sektor pertanian memang selalu di bawah pertumbuhan ekonomi, kecuali tahun 2020. Ketika perekonomian mengalami kontraksi atau tumbuh minus 2,07%, sektor pertanian masih bisa tumbuh sebesar 1,77%. Namun, pertumbuhan tiga tahun berikutnya masih jauh di bawah rata-rata era sebelum pandemi tahun 2011–2019 yang sebesar 3,95%.
Porsinya dalam struktur perekonomian (PDB) sebesar 13,78% pada triwulan II-2024. Meningkat dibanding tahun 2022 yang sebesar 12,40% dan tahun 2023 yang sebesar 12,53%. Namun, karena pada triwulan satu mengalami kontraksi dan prakiraan triwulan selanjutnya, maka kemungkinan akan menjadi kisaran 12,40% selama tahun 2024.
Padahal, porsinya masih sebesar 13,34% pada tahun 2014. Terdapat tren penurunan porsi sektor pertanian, seiring dengan laju pertumbuhannya yang makin rendah.
Penurunan terutama disumbang oleh subsektor tanaman pangan. Fenomena ini terkonfirmasi dalam data produksi tanaman pangan utama seperti padi, jagung ubi kayu, ubi jalar dan lainnya. Begitu juga dengan data lahan yang tidak bertambah signifikan.
Pada saat bersamaan, tenaga kerja yang bekerja di sektor ini justeru cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Jumlahnya mencapai 40,72 juta orang atau 28,64% dari total pekerja per Februari 2024. Akibatnya produktivitas pekerja sektor pertanian cenderung turun, dan pada gilirannya kesejahteraan petani pun tak bisa membaik.
5 Sektor Pertambangan Melambat
Sektor pertambangan dan penggalian mencatatkan pertumbuhan yang rendah, yakni sebesar 3,17% pada triwulan II-2024. Padahal, pada triwulan sebelumnya tumbuh sangat tiggi, mencapai 9,31%.
Pertumbuhan pada triwulan dua memberi isyarat perlambatan sektor ini, terendah selama 13 triwulan terakhir. Secara tahunan mungkin tidak mencapai kinerja tahun 2023 yang tumbuh sebesar 6,12% dan tahun 2022 tumbuh sebesar 4,38%. Padahal, sebelum pandemi atau pada era tahun 2011–2019 tumbuh rata-rata hanya sebesar 1,31% per tahun.
Akibatnya, peran sektor pertambangan kemungkinan akan sedikit menurun dalam PDB. Porsinya dalam struktur ekonomi sempat meningkat menjadi 10,52% pada tahun 2023, dari sebesar 6,43% pada tahun 2020. Berpotensi hanya bertahan atau sedikit turun di kisaran 10,50% pada tahun 2024.
Data BPS memperlihatkan ketika tumbuh tinggi, sektor ini banyak ditopang oleh pertambangan bijih logam, disebabkan peningkatan produksi bijih tembaga untuk memenuhi permintaan domestik dan luar negeri. Selain itu, pertumbuhan pertambangan batu bara dan lignit yang seiring peningkatan konsumsi domestik dan ekspor batu bara.
Bagaimanapun ini bukan petanda baik bagi fundamental ekonomi dan transformasi perekonomian Indonesia. Meski sempat tumbuh tinggi dan memiliki porsi atas PDB yang cukup besar, keberlanjutan kinerja bagus dari sektor pertambangan masih mengkhawatirkan. Selain karena berasal dari sumber daya alam yang tak terbarukan, kinerjanya sangat bergantung pada perkembangan harga global yang tidak stabil.
6 Pertumbuhan Komponen Pengeluaran
Dari uraian terkait kondisi pertumbuhan beberapa sektor di atas, maka setahun 2024 kemungkinan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 5%. Bahkan terdapat risiko hanya tumbuh sebesar 4,9%. Sektor yang tumbuh tinggi pada triwulan II berisiko sedikit melambat. Pada saat bersamaan, sektor besar seperti pertanian dan industri pengolahan belum terindikasi mampu tumbuh tinggi.
Risiko tumbuh yang lebih rendah itu diindikasikan pula oleh kondisi pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi pengeluaran. Pertumbuhan memang masih ditopang konsumsi rumah tangga yang mampu tumbuh 4,93% pada triwulan II-2024. Lebih baik dibanding kondisi 2–3 tahun sebelumnya.
Namun masih sedikit lebih rendah dibanding era pra-pandemi, yang rata-rata sebesar 5,12% per tahun pada tahun 2011–2019. Padahal, kondisi triwulan II 2024 cukup terbantu momen hari besar keagamaan yang mendorong pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman.
Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang tumbuh sebesar 4,43% pada Triwulan I-2024. Tumbuh lebih rendah dibanding triwulan yang sama pada tahun 2023, meski lebih tinggi dibanding tahun 2022. Dan masih lebih rendah dibanding rata-rata era sebelum pandemi.
Komponen pengeluaran yang tumbuh melambat secara signifikan adalah konsumsi pemerintah. Hanya tumbuh sebesar 1,42% pada triwulan II-2024, setelah tumbuh 7,31% pada triwulan I-2024. Pada triwulan satu memang banyak ditopang kenaikan realisasi belanja barang karena kegiatan Pemilu 2024, serta kenaikan realisasi belanja pegawai.
Komponen ekspor yang sempat tumbuh sangat rendah pada triwulan satu, kembali mampu tumbuh sebesar 8,28% pada triwulan II-2024. Akan tetapi, pada saat bersamaan impor tumbuh 8,57%. Jika memperhitungkan impor, maka ekspor neto memberi andil minus atau bersifat mengurangi.
Dengan demikian, kondisi dan prakiraan pertumbuhan komponen pengeluaran secara keseluruhan tidak berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Hasil paling optimal hanya akan membuat pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sekitar 5,0%. Itu pun jika kondisi perekonomian cukup normal atau tidak mengalami guncangan berarti.
7 Komentar Ekonom
Awalil Rizky ekonom senior Bright Institute menilai data pertumbuhan ekonomi triwulan II-2024 bukan merupakan berita menggembirakan. Dia menjelaskan dilihat dari data historis, maka pertumbuhan tahunan akan berada di bawah angka 5,05% tersebut.
“Kinerja berbagai sektoral atau lapangan usaha mengindikasikan tidak terdapatnya dorongan untuk tumbuh lebih pesat selama dua triwulan mendatang. Begitu juga jika diliihat dari sisi komponen pengeluaran atau komponen agregat,” kata Awalil.
Secara lebih khusus, dia mengingatkan tentang konsumsi rumah tangga yang hingga saat ini menjadi andalan sebagai sumber pertumbuhan terbesar dari sisi perekonomian. Dikatakan, konsumsi rumah tangga tampak tertahan dan belum pulih sepenuhnya seperti era sebelum pandemi.
“Sementara itu, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) belum berhasil ditingkatkan secara signifikan. Bahkan, jika dilihat subkomponen dari PMTB, kapasitas produksi perekonomian dalam jangka menengah sulit untuk meningkat pesat,” lanjut Awalil.
“International Monetary Fund (IMF) dalam dokumen laporan perekonomian Indonesia terkini hanya memproyeksikan pertumbuhan sebesar 5,0% pada tahun 2024. Pada tahun-tahun berikutnya hingga 2029 pun hanya diproyeksikan sebesar 5,1%,” kata Awalil.
Dijelaskan bahwa proyeksi IMF itu jauh lebih rendah dibanding asumsi jangka menengah dari Nota Keuangan dan APBN 2024. Asumsi atau target dalam dokumen resmi itu berupa rentang, yang jika diambil titik tengahnya adalah sebagai berikut: 5,20% (2024), 5,75% (2025), 5,95% (2026), dan 6,05% (2027).
Awalil menyarankan kepada pemerintah agar tidak terlampau fokus pada angka pertumbuhan ekonomi, apalagi menarget hingga 8%. Menurutnya jauh lebih baik jika pemerintah memperhatikan soal kualitas pertumbuhan.
Pertumbuhan yang berkualitas antara lain dicerminkan oleh kemiskinan yang menurun lebih cepat, ketimpangan ekonomi yang membaik, serta penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan layak. [adj]