Dilihat dari laju penurunan persentase penduduk papa, era Jokowi bisa dinilai tidak berhasil mengatasi masalah kemiskinan.
JUMLAH penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2024 diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 25,22 juta orang. BPS mengatakan persentasenya dari total jumlah penduduk sebesar 9,03%. Persentase penduduk miskin dalam diskusi publik biasa disebut sebagai angka atau tingkat kemiskinan.
Jumlah penduduk miskin tercatat hanya berkurang sebanyak 8,87 juta orang selama 23 tahun, dari 34,01 juta orang (1996) menjadi 25,14 juta orang (2019). Hal itu antara lain disebabkan krisis ekonomi yang dialami pada tahun 1997/1998. Saat itu, terjadi lonjakan kenaikan jumlah penduduk miskin sebanyak 15,49 juta orang. Dari 34,01 juta orang (1996) menjadi 49,50 juta orang (1998).
Pencapaian selama belasan tahun sebelumnya terhapuskan oleh krisis ekonomi yang berlangsung selama 1,5 tahun. Dan untuk menurunkan kembali ke jumlah yang sama, butuh waktu lebih dari 10 tahun. Jumlahnya masih mencapai 34,96 juta orang pada tahun 2008.
Ketika perekonomian terdampak pandemi Covid-19, jumlah penduduk miskin kembali meningkat signifikan. Dari sebanyak 25,14 juta orang pada Maret 2019, menjadi 26,42 juta orang pada Maret 2020 dan 27,54 juta orang pada Maret 2021.
1 Penurunan Kemiskinan Era Jokowi
Pemulihan ekonomi yang berlangsung selama beberapa tahun terakhir memang menurunkannya kembali secara perlahan. Meskipun demikian, jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 masih sedikit lebih banyak dibanding Maret 2019.
Dalam hal persentase penduduk miskin, era pertama pemerintahan Jokowi berhasil menurunkan dari 11,25% (2014) menjadi 9,41% (2019). Meningkat cukup signifikan karena dampak pandemi pada 2020 dan 2021. Selama tiga tahun terakhir perlahan menurun hingga mencapai 9,03% pada 2024.
Dengan demikian, persentase penduduk miskin berhasil diturunkan sebesar 2,22% poin selama era Jokowi. Lebih sedikit dibanding era SBY yang bisa menurunkan sebanyak 5,41% poin.
Dalam hal jumlah penduduk miskin, era Jokowi mengurangi sebesar 3,06 juta jiwa. Sedangkan era SBY berhasil mengurangi sebanyak 7,87 jiwa.
2 Kemiskinan Perkotaan & Perdesaan
Penduduk miskin pada Maret 2024 yang berdomisili di wilayah perkotaan sebanyak 11,64 juta orang, dan di wilayah perdesaan sebanyak 13,58 juta orang. Secara persentase, penduduk miskin wilayah perkotaan atas total penduduk perkotaan sebesar 7,03%. Dan persentase penduduk miskin wilayah perdesaan atas total penduduk perdesaan sebesar 11,79%.
Jumlah penduduk miskin di perdesaan tampak lebih banyak dibanding perkotaan. Namun, laju penurunannya selama beberapa tahun terakhir cenderung berlangsung lebih cepat. Dalam hal ini, memang harus dipertimbangkan pula faktor perubahan administrasi, karena sebagian wilayah desa secara administrasi berubah menjadi kota.
Dilihat dari persentase penduduk miskin, perdesaan tercatat lebih besar dibanding perkotaan. Laju penurunannya sempat berlangsung lebih lambat sebelum tahun 2019. Namun, dalam beberapa tahun terakhir setelah ada dampak pandemi, laju penurunan di perdesaan berlangsung lebih cepat.
Sebaliknya dengan persentase penduduk miskin perkotaan yang kondisi Maret 2024 masih lebih buruk dibanding Maret 2019. Sebelum ada pandemi, laju penurunan berlangsung cukup cepat, melebihi penurunan di perdesaan. Ketika terjadi pandemi, meningkatnya cukup signifikan dan hanya menurun perlahan hingga saat ini.
Persentase penduduk miskin wilayah perdesaan pada Maret 2019 sebesar 12,85%, dan pada Maret 2024 sebesar 11,79%. Sedangkan wilayah perkotaan pada Maret 2019 sebesar 6,69%, dan pada Maret 2024 sebesar 7,03%.
3 Sebaran Kemiskinan Provinsi & Kabupaten
Kondisi atau profil kemiskinan untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupaten atau kota juga dipublikasi oleh BPS. Biasanya untuk tingkat provinsi disajikan bersamaan dengan rilis dalam Berita Resmi Statistik nasional. Sedangkan data tingkat kabupaten atau kota disajikan sekitar 6 bulan kemudian di laman BPS.
Beberapa provinsi memiliki jumlah penduduk miskin yang terbilang sangat banyak, namun angka kemiskinannya tidak berbeda jauh dari tingkat nasional. Ada pula yang secara jumlah tak terbilang banyak, namun secara persentase tampak jauh di atas nasional. Perhitungan persentase sesuai dengan jumlah penduduk wilayah bersangkutan.
Tiga provinsi di pulau Jawa memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak pada Maret 2024. Yaitu: Jawa Timur sebanyak 3,98 juta jiwa, Jawa Barat sebanyak 3,85 juta jiwa, dan Jawa tengah sebanyak 3,70 juta jiwa.
Sedangkan di luar pulau Jawa yang memiliki jumlah penduduk cukup banyak, antara lain: Sumatera Utarasebanyak 1,23 juta jiwa, Nusa Tenggara Timur sebanyak 1,13 juta jiwa, dan Sumatera Selatan sebanyak 984,24 ribu jiwa.
Dilihat dari sebaran menurut pulau, penduduk miskin terbanyak memang berada di pulau Jawa, karena jumlah penduduknya memang jauh lebih banyak. Sebaran menurut pulau sebagai berikut: Jawa (13,24 juta jiwa), Sumatera (5,55 juta jiwa), Bali-Nusa Tenggara (2,02 juta jiwa), Sulawesi (1,96 juta jiwa), Maluku-Papua (1,51 juta jiwa), dan Kalimantan (0,94 juta jiwa).
Beberapa provinsi memiliki jumlah penduduk miskin yang jauh lebih sedikit dibanding tiga provinsi itu, namun persentase atau angka kemiskinannya justeru lebih tinggi. Di antaranya adalah: Nusa Tenggara Timur (19,48%), Maluku (16,05%), dan lima provinsi di Papua. Khusus Papua tercatat masih sangat tinggi, yaitu: Papua Pegunungan (32,97%), Papua Tengah (29,76%), Papua Barat (21,66%), Papua Barat Daya (18,13%), dan Papua (17,26%).
Data kemiskinan yang tersedia untuk tingkat kabupaten masih per Maret 2023. Contoh yang berpenduduk miskin cukup banyak, antara lain: Sampang (221,71 ribu jiwa), Tangerang (276,33 ribu jiwa), Brebes (286,14 juta jiwa), Bogor (453,76 juta jiwa), Garut (260,48 juta jiwa), Jember (236,46 juta jiwa), Lombok Timur (197,63 juta jiwa).
Perbedaan persentase penduduk miskin atau tingkat kemiskinan antar kabupaten/kota juga amat signifikan. Sebagian berkondisi sangat baik, tingkat kemiskinannya jauh di bawah tingkat nasional, seperti: Kota Sawah Lunto, Kota Pekanbaru, Kota Jakarta Selatan, Kota Depok, Kota Denpasar, dan Kabupaten Badung. Sedangkan sebagian lagi sangat buruk, jauh di atas tingkat nasional.
Terdapat puluhan kabupaten yang angka kemiskinannya diatas 30% atau mencapai sepertiga dari penduduk di wilayah tersebut. Tersebar di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan seluruh provinsi di Papua. Khusus kabupaten berbagai provinsi di Papua, bahkan angkanya lebih dari 30%. Sebagai contoh per Maret 2023, antara lain: Paniai (35,39%), Puncak Jaya (35,36%), Yahukimo (36,08%), Supiori (36,99%), Intan Jaya (40,01%), dan Deiyai (38,66%).
Bisa ditambahkan contoh yang tingkat kemiskinannya di atas 25% atau lebih dari seperempat penduduknya. Antara lain: Lombok Utara (25,80%), Sumba Timur (28,08%), Timor Tengah Selatan (25,18%), Rote Ndao (27,05%), Sumba Tengah (31,78%), Sumba Barat Daya (27,48%), Sabu Raijua (28,37%), Maluku Barat Daya (28,78%), Teluk Mondama (28,90%), dan Teluk Bintuni (28,24%).
4 Ukuran dan Garis Kemiskinan
BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Batas kemampuan itu dinyatakan dalam Garis Kemiskinan (GK) berupa nilai pengeluaran dalam rupiah. Penduduk miskin adalah orang yang pengeluarannya di bawah GK. GK nasional pada Maret 2024 sebesar Rp582.932 per kapita per bulan. GK wilayah perkotaan sebesar Rp601.871, dan GK wilayah perdesaan sebesar Rp556.874.
Garis Kemiskinan berubah sesuai data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada waktu bersangkutan. Nilainya selama ini selalu meningkat. Terutama karena terjadinya inflasi pada “komoditas pengukur kemiskinan”, serta faktor perubahan pola konsumsi. Sebelum tahun 2007, hanya ada informasi data GK perkotaan dan GK perdesaan.
Sebagai contoh, GK Nasional Maret 2024 (Rp582.932) meningkat sebesar 5,90% dibanding Maret 2023 (Rp550.458). Jika dibandingkan tingkat inflasi umum pada waktu yang sama, kenaikan harga yang langsung dihadapi oleh penduduk miskin ternyata lebih tinggi. Kecenderungan kenaikan GK melampaui inflasi umum terus berlangsung, bisa diartikan inflasi yang dihadapi penduduk miskin lebih tinggi dibanding yang tidak miskin.
Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). GKM adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. GKM nasional pada Maret 2024 sebesar Rp433.906 per kapita per bulan.
GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. GBKM pada Maret 2024 sebesar Rp149.026 per kapita per bulan.
5 Kedalaman & Keparahan Kemiskinan
Batas atau garis kemiskinan, baik nasional maupun provinsi, merupakan ukuran berupa nilai rupiah pengeluaran. Pengeluaran sebenarnya dari penduduk miskin merupakan data yang berbeda. Ada penduduk miskin yang jaraknya dekat dan ada yang jauh di bawah garis.
BPS menghitung rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap Garis Kemiskinan, kemudian membuat ukuran berupa indeks untuk sebagai data penggambarannya. Ukuran itu disebut sebagai indeks kedalaman kemiskinan, yang didefinisikan sebagai rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap Garis Kemiskinan.
Makin tinggi nilai indeks P1 artinya pengeluaran rata-rata penduduk miskin makin jauh dari garis. Bisa diartikan kondisi makin buruk. Biasanya disertai kondisi buruk lainnya, yang dinyatakan dalam data berbeda mengenai masih banyaknya mereka yang sangat miskin.
Indeks P1 nasional terus mengalami penurunan selama era tahun 2007–2013. Stagnan pada tahun 2014, dan sempat mengalami kenaikan amat sifnifikan pada 2015. Dari 1,75 pada 2014 menjadi 1,97 pada 2015. Kemudian menurun kembali hingga mencapai 1,55 pada 2019.
Pandemi Covid-19 memberi dampak buruk, terjadi peningkatan indeks P1 nasional pada tahun 2020 dan 2021. Kemudian menurun kembali selama tiga tahun terakhir, hingga mencapai 1,46 pada 2024.
Indeks P1 wilayah perdesaan tercatat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Pada Maret 2024, indeks P1 perdesaan sebesar 1,98 dan perkotaan sebesar 1,10 Artinya kesenjangan rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan di perdesaan relatif lebih besar daripada di perkotaan.
Salah satu kelemahan lain dari indeks P1 adalah tidak memperhitungkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Untuk melengkapinya, BPS menghitung pula apa yang disebut sebagai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Indeks P2 dianggap bisa memberi gambaran penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.
Indeks P2 merupakan ukuran ketimpangan di antara penduduk miskin saja, tidak menyertakan seluruh penduduk. Makin kecil nilai indeksnya, makin berkurang ketimpangannya.
Indeks P2 nasional selama periode 2007–2014 terus menurun, setelah sebelumnya berfluktuasi dan sempat naik signifikan pada 2006. Sempat mengalami kenaikan pada 2015 dan nilainya bertahan pada 2016, kemudian kembali cenderung menurun hingga tahun 2019.
Pandemi Covid-19 memberi dampak buruk, terjadi peningkatan indeks P2 nasional pada tahun 2020 dan 2021. Kemudian menurun kembali selama tiga tahun terakhir, hingga mencapai 0,35 pada 2024.
P2 wilayah perdesaan juga masih lebih tinggi dibanding perkotaan. Pada Maret 2024, indeks P2 perdesaan sebesar 0,48 dan P2 perkotaan sebesar 0,25. Artinya ketimpangan antar-penduduk miskin di perdesaan masih lebih buruk.
6 Profil Rumah Tangga Miskin
Oleh karena secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia pada Maret 2024 memiliki 4,78 orang anggota. Dapat dikatakan bahwa Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.786.415 per rumah tangga miskin per bulan.
BPS memberi gambaran umum profil rumah tangga miskin berdasar data Susenas yang dilengkapi data lainnya. Profil rumah tangga miskin yang disajikan oleh BPS mencakup antara lain: Karakteristik Sosial Demografi, Karakteristik Pendidikan, Karakteristik Ketenagakerjaan, dan Karakteristik Tempat Tinggal.
Publikasi terkini tentang hal ini masih berdasar data bulan Maret 2023. Untuk data Maret 2024 biasanya akan dipublikasi pada akhir tahun nanti.
Karakteristik sosial demografi yang disajikan pada profil rumah tangga miskin meliputi rata-rata jumlah anggota rumah tangga, persentase perempuan sebagai kepala rumah tangga, rata-rata usia kepala rumah tangga, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Keempat karakteristik tersebut dibandingkan dengan melihat proporsi rumah tangga yang dikategorikan sebagai miskin dan tidak miskin.
Rumah tangga miskin cenderung mempunyai anggota rumah tangga lebih banyak. Sementara itu, terkait dengan distribusi umur, rata-rata umur kepala rumah tangga miskin tercatat 50,40 tahun, lebih tinggi dibanding rata-rata umur kepala rumah tangga tidak miskin yang sebesar 49,82 tahun.
Karakteristik pendidikan antara lain tercatat berikut ini. Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga miskin juga lebih rendah dibandingkan dengan kepala rumah tangga tidak miskin, yaitu 6,46 tahun banding 8,64 tahun. Tingkat buta huruf kepala Rumah Tangga Miskin (8,48%) lebih tinggi dibanding Rumah Tangga Tidak Miskin (3,82%). Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga Miskin lebih rendah dibanding Rumah Tangga Tidak Miskin.
Karakteristik ketenagakerjaan memperlihatkan bahwa sebagian besar Rumah Tangga Miskin menggantungkan hidupnya pada Sektor Pertanian. Dan pada umumnya kepala Rumah Tangga Miskin berstatus sebagai pekerja informal.
Karakterisitik tempat tinggal mencakup antara lain: luas dan jenis lantai, atap, dinding, penerangan, sumber air, jamban, dan status kepemilikan rumah tempat tinggal. Sebagai contoh tercacat sebanyak 17,40% Rumah Tangga Miskin menempati luas lantai per kapita kurang dari 7,2 m2, dan sebanyak 8,40% memiliki rumah dengan jenis lantai tanah.
7 Program Penangggulangan Kemiskinan
Pemerintah Indonesia di semua era mengatakan komitmen untuk mengurangi angka kemiskinan dan jumlah penduduk miskin. Pemerintah memiliki banyak program dan kebijakan, yang sebagiannya merupakan kelanjutan atau perbaikan dari era pemerintahan sebelumnya. Sebagiannya lagi memang merupakan program dan kebijakan baru pada periode pemerintahan tertentu.
Alokasi anggaran dari APBN tiap tahun tercatat cukup besar untuk mendukung berbagai program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Nilainya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Secara lebih khusus, alokasi besar terlihat pada program atau kebijakan andalannya.
Selama dua dekade terakhir, program penanggulangan kemiskinan dinyatakan pemerintah secara lebih luas, yang dikenal dengan istilah program perlindungan sosial. Program dan kebijakan didasari sistem perlindungan sosial Indonesia, yang terbagi dalam tiga kelompok atau jenis, yaitu: Bantuan Sosial (Bansos), Jaminan Sosial (Jamsos) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Bantuan sosial merupakan bantuan didanai oleh anggaran pemerintah (APBN) tanpa memerlukan kontribusi penerima manfaat. Misalnya bantuan Rastra/BPNT, PBI JKN, PKH atau PIP. Bansos fokus pada 40 persen masyarakat terbawah yang miskin dan rentan.
Jaminan sosial didanai dari kontribusi peserta atau penerima manfaat seperti jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan. Jaminan sosial fokus pada seluruh penduduk atau pekerja dengan sumber dana dari individu atau pemberi kerja. Saat ini sebagian besar dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
Jaring Pengaman Sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari kemunduran sosial akibat adanya guncangan. Seperti guncangan ekonomi, bencana, dan lain sebagainya.
Alokasi dan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat cukup besar selama era Jokowi, terutama pada era kedua pemerintahannya. Pada tahun 2015 sebagai tahun pertama pemerintahan, anggaran sempat menurun drastis karena pengurangan subisdi BBM. Perlahan meningkat pada tahun 2016–2019.
Tambahan anggaran signifikan ketika perekonomian terdampak pandemi Covid-19. Dari sebesar Rp308,38 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp490 triliun pada tahun 2020. Besaran ini hanya sedikit berkurang pada tahun 2021–2023, dan meningkat kembali menjadi Rp496,8 triliun pada tahun 2024.
Meskipun demikian, sejauh ini belum tampak hasil yang optimal. Kondisi kemiskinan secara umum memang tampak membaik, namun disertai banyak catatan penting yang mengurangi arti perbaikan tersebut. Bahkan ada yang sedikit memburuk.
Hal ini mengindikasikan kurangnya efektivitas dan efisiensi program. Selain itu, dinamika ekonomi yang berjalan justeru menciptakan fenomena kemiskinan yang lebih dalam pada beberapa aspeknya.
Terdapat beberapa faktor seperti ketidaktepatan sasaran dalam penentuan penerima program, mekanisme pendampingan program belum optimal, koordinasi dan pelaksanaan program belum terintegrasi, dan prioritas pendanaan untuk program perlindungan sosial masih terbatas.
8 Komentar Ekonom
Awalil Rizky ekonom senior Bright Institute mengatakan bahwa dilihat dari laju penurunan jumlah persentase penduduk miskin, maka era Jokowi bisa dinilai tidak berhasil.
“Padahal, program kemiskinan cukup banyak dan alokasi anggaran hampir Rp500 triliun per tahun selama beberapa tahun anggaran terakhir. Hal ini membuktikan tidak efektifnya kebijakan Pemerintah,” kata Awalil.
“Program dan kebijakan perlindungan sosial secara umum tidak efisien, ditambah kebocoran atau korupsi dalam pelaksanaannya,” tambah Awalil.
Diilustrasikan tentang anggaran sekitar Rp500 triliun padahal jumlah penduduk miskin sebanyak 25 juta jiwa, maka secara teoritis tiap orang memperoleh Rp20 juta per tahun. Dengan alokasi seperti itu secara teknis tidak ada lagi penduduk miskin, mengingat garis kemiskinan hanya sekitar Rp7 juta per kapita per tahun.
Dijelaskan lebih lanjut tentang indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) yang memberi gambaran teoritis tentang besarnya dana yang diperlukan untuk program pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, penduduk miskin bukannya tak memiliki pendapatan atau pengeluaran sama sekali. Kebutuhan dana harusnya hanya dalam hal selisih kurang dari rata-rata pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan kemudian dikalikan dengan jumlah penduduk miskin.
“Data Garis Kemiskinan, jumlah penduduk miskin, indeks kedalaman dan keparahan dapat dihubungkan dengan alokasi anggaran perlindungan sosial. Harusnya dana telah mencukupi, namun terbukti tidak memberi hasil yang berarti,” lanjutnya.
“Fenomena itu mengisyaratkan adanya pengabaian proses pemiskinan yang terus terjadi dalam dinamika perekonomian. Hanya orang miskin yang telah ada yang menjadi basis perhitungan. Dan kebijakan yang dihasilkan menjadi tidak cukup efektif dan efisien,” pungkas Awalil. []