Pertumbuhan ekonomi triwulan satu tidak ditopang sektor fundamental: keberlanjutannya mengkhawatirkan.
LAJU pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,11% pada triwulan I-2024 cukup dibanggakan oleh pemerintah dan Bank Indonesia.
Paparan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai penghitung data pun menilai ekonomi Indonesia tetap terjaga dan tumbuh solid. Berbagai pihak juga menilainya sebagai capaian yang cukup baik, karena sempat memprakirakan angka yang lebih rendah.
Bagaimana kita menilai klaim-klaim tersebut? Data yang disampaikan pemerintah secara sepenggal-sepenggal tidak akan membuat publik lebih melek terhadap apa yang sesungguhnya terjadi. Dengan meneliti rentang data yang lebih panjang, akan tampak gambaran lebih komprehensif tentang kondisi ekonomi Indonesia.
1 Pertumbuhan Ekonomi Q1 (y-on-y)
Sebenarnya, angka pertumbuhan triwulan I-2024 hanya sedikit lebih baik dibanding triwulan I-2023 yang sebesar 5,04%. Dilihat dalam kurun waktu yang lebih lama, kecuali saat pandemi tahun 2020 dan 2021, capaian tersebut terbilang wajar saja. Bahkan lebih rendah dibanding era tahun 2011–2013.
Data sejak tahun 2011 memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan triwulan satu biasanya hampir setara dengan pertumbuhan satu tahun berjalan nantinya. Kadang sedikit lebih tinggi dan kadang sedikit lebih rendah.
Pola tersebut dalam kondisi perekonomian yang normal, tanpa guncangan perekonomian. Ketika terjadi pandemi pada tahun 2020, pertumbuhan ekonomi masih sebesar 2,97% pada triwulan satu, namun menurun drastis menjadi kontraksi atau minus 2,07% selama setahun. Namun, ketika masih kontraksi sebesar minus 0,69% pada triwulan satu, ternyata berhasil tumbuh hingga 3,69% pada tahun 2021.
Diprakirakan pertumbuhan tahun 2024 tidak akan terlampau tinggi atau masih sesuai dengan level biasanya di kisaran 5%. Prakiraan itu jika kondisi perekonomian berlangsung normal. Namun, jika ada guncangan yang mungkin dipicu oleh kondisi global, maka lajunya akan di bawah itu.
2 Tumbuh Tinggi Tapi Bukan Fundamental
Perlu dicermati bahwa tiga sektor yang berhasil tumbuh tertinggi bukan merupakan sektor yang menjadi fundamen perekonomian Indonesia. Dalam artian tidak berporsi besar dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) serta dalam penyerapan tenaga kerja.
Dalam struktur PDB pada tahun 2023, tiga sektor ini terbilang kecil dibanding beberapa sektor lainnya: sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib (2,95%); sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (1,21%); dan sektor jasa perusahaan (1,83%). Total ketiganya hanya sebesar 5,99% dari PDB.
Oleh karena pertumbuhan yang amat tinggi selama satu triwulan I-2024, memang terjadi sedikit kenaikan porsi masing-masing, menjadi: sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib (3,36%); sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (1,22%); dan sektor jasa perusahaan (1,93%). Total ketiganya meningkat menjadi sebesar 6,51% dari PDB.
Menurut informasi BPS, pertumbuhan tinggi ketiganya terutama didorong oleh beberapa hal. Administrasi pemerintahan didorong oleh peningkatan belanja pegawai (THR dan kenaikan gaji). Jasa kesehatan didukung oleh peningkatan belanja pegawai institusi kesehatan pemerintah. Sedangkan jasa perusahaan didorong peningkatan pendapatan penyelenggara acara (Event Organizer) dan berbagai aktivitas jasa perusahaan lainnya seiring perhelatan Pemilu 2024.
Dengan demikian, sektor administrasi pemerintahan kemungkinan besar akan turun pada tiga triwulan selanjutnya. Sedangkan dua sektor lainnya berisiko melandai, meski masih akan tumbuh cukup tinggi. Secara tahunan, kemungkinan hanya di kisaran rata-rata sebelum pandemi.
Sebagai informasi, rata-rata laju pertumbuhan tahunan pada era tahun 2011–2019 ketiga sektor itu adalah sebagai berikut: administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib (3,89%); jasa kesehatan dan kegiatan sosial (7,52%); dan jasa perusahaan (8,53%).
Hanya sektor jasa perusahaan yang kembali ke level pertumbuhan reratanya saat pemulihan ekonomi terjadi, yaitu sebesar 8,77% (2022) dan 8,24% (2023). Sektor administrasi pemerintahan hanya mampu tumbuh 2,51% (2022) dan 1,50% (2023). Dan sektor jasa kesehatan tumbuh 2,75% (2022) dan 4,66% (2023).
Laju pertumbuhan pada tahun-tahun mendatang juga berisiko akan melandai. Salah satunya karena tidak ditopang oleh kemajuan sektor industri pengolahan yang terhambat. Dalam struktur ekonomi Indonesia, industri pengolahan-lah yang memiliki efek pengganda besar bagi sektor-sektor lainnya.
3 Sektor Manufaktur: Deindustrialisasi Masih Berlanjut
Sektor manufaktur atau industri pengolahan hanya tumbuh 4,13%, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Juga lebih rendah dibanding triwulan-I 2022 dan 2023. Berdasar kecenderungan selama ini, pertumbuhan setahun nantinya akan sulit melampaui 5,0%. Nyaris bisa dipastikan pula akan berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi.
Kecenderungan sektor industri tidak mampu tumbuh tinggi dan lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan satu telah terjadi satu sejak tahun 2013. Fenomena ini melanjutkan kecenderungan deindustrialisasi prematur yang telah terjadi sejak 3 dekade lalu.
Secara tahunan, sektor Industri pengolahan memang selalu tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2012. Selama era tahun 2011–2023, rata-rata tumbuh sebesar 3,99% per tahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,61%.
Selama sembilan tahun era Jokowi (2015–2023), rata-rata hanya tumbuh 3,44% per tahun. Jauh lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan ekonomi yang sebesar 4,13% per tahun.
Industri pengolahan memang masih memberi andil pertumbuhan ekonomi yang tertinggi pada triwulan-I 2024, sebesar 0,86 persen poin dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,11%. Namun andil atau sumbangan tersebut relatif lebih rendah dibanding tahun-tahun lampau yang kisaran 1 persen poin.
Dalam hal porsinya atas PDB, sekilas terjadi sedikit perbaikan menjadi 19,28%, meningkat dibanding triwulan-I 2023 yang sebesar 18,57%. Namun, perbaikan ini belum mengindikasikan reindustrialisasi seperti yang diharapkan, kemungkinan hanya kisaran 19% selama setahun 2024.
Sejauh ini, porsi industri pengolahan dalam PDB memang masih yang terbesar, namun cenderung terus menurun. Porsinya masih sebesar 22,04% pada tahun 2010, turun menjadi 18,67% pada tahun 2023. Selama era Presiden Jokowi, penurunan dari porsi 21,08% pada tahun 2014.
Dilihat dari berbagai subsektor yang menopang kinerja industri pengolahan hingga masih mampu tumbuh 4,13% dan meningkatkan porsinya dalam PDB, maka akan sulit ditingkatkan lagi pada tahun-tahun mendatang. Baik dalam konteks reindustrialisasi maupun andil dalam pertumbuhan ekonomi.
Hal itu antara lain dicirikan lewat peningkatan porsi yang lebih ditopang oleh kenaikan industri makanan dan minuman, serta industri logam dasar. Pertumbuhan industri belakangan ini antara lain diperkuat oleh produksi sektor pertambangan yang diolah, yang secara populer disebut hilirisasi. Sektor pertambangan itu sendiri mengalami pertumbuhan sangat tinggi hingga mencapai 9,31% pada triwulan I-2024.
Meski tumbuh tinggi dan memiliki porsi atas PDB yang cukup besar, keberlanjutan kinerja bagus dari sektor pertambangan masih mengkhawatirkan. Selain karena berasal dari sumber daya alam yang tak terbarukan, kinerjanya sangat bergantung pada perkembangan harga global yang tidak stabil.
Sementara itu, kinerja industri pengolahan terdongkrak oleh subsektor industri pengolahan makanan dan minuman. Namun, subsektor ini tampak makin mengandalkan bahan baku atau penolong dari impor. Sekurangnya tidak mendorong pertumbuhan sektor pertanian domestik sebagai bahan baku.
Perlu dicermati pula peran sektor industri pengolahan dalam penciptaan lapangan kerja. Penduduk yang bekerja di sektor ini sebanyak 18,88 juta orang atau 13,28% dari seluruh pekerja pada Februari 2024. Menempati urutan terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja.
Meski masih terbilang berporsi terbesar dalam penyerapan tenaga kerja, namun kecenderungan dalam hal ini mengalami penurunan. Dalam hal jumlah tenaga kerja masih bisa sedikit bertambah, namun menurun signifikan dalam hal persentase atas total pekerja.
4 Sektor Pertambangan yang Tumbuh Tinggi
Sektor pertambangan dan penggalian mencatatkan pertumbuhan tinggi pada Triwulan I 2024, mencapai 9,31%. Jauh melampaui pertumbuhan ekonomi atau keseluruhan sektor yang hanya 5,11%.
BPS mengatakan pertumbuhan signifikan itu ditopang oleh peningkatan permintaan domestik dan luar negeri. Diinformasikan pula bahwa pertambangan bijih logam tumbuh 34,36%, yang didukung oleh peningkatan produksi bijih tembaga untuk memenuhi permintaan domestik dan luar negeri. Sedangkan pertambangan batu bara dan lignit tumbuh 9,72% yang seiring peningkatan konsumsi domestik dan ekspor batu bara.
Pertumbuhan pada triwulan satu tahun ini tersebut melanjutkan kinerja tahun 2023 yang tumbuh sebesar 6,12%. Setahun sebelumnya, tumbuh sebesar 4,38% pada tahun 2022. Padahal, sebelum pandemi atau pada era tahun 2011–2019 tumbuh rata-rata hanya sebesar 1,31% per tahun.
Akibatnya, peran sektor pertambangan kembali meningkat dalam PDB. Porsinya dalam struktur ekonomi meningkat menjadi 10,52% pada tahun 2023, dari sebesar 6,43% pada tahun 2020. Berpotensi bertahan atau sedikit meningkat kisaran 11% pada tahun 2024.
Bagaimanapun ini bukan petanda baik bagi fundamental ekonomi dan transformasi perekonomian Indonesia. Meski tumbuh tinggi dan memiliki porsi atas PDB yang cukup besar, keberlanjutan kinerja bagus dari sektor pertambangan masih mengkhawatirkan. Selain karena berasal dari sumber daya alam yang tak terbarukan, kinerjanya sangat bergantung pada perkembangan harga global yang tidak stabil.
5 Sektor Pertanian Makin Terpuruk
Ketika ekonomi bisa tumbuh sebesar 5,11% pada triwulan I-2024, 16 sektor bisa tumbuh positif. Namun, sektor pertanian justeru mengalami kontraksi atau tumbuh minus 3,54%. Kondisinya melanjutkan tren penurunan pertumbuhan yang hanya sebesar 1,30% pada tahun 2023.
Pertumbuhan sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) selama lima tahun selalu di bawah 2%. Jauh di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi. Bahkan, rata-rata selama era Presiden Jokowi (2015–2023) hanya mencapai 2,86% per tahun.
Pertumbuhan sektor pertanian memang selalu di bawah pertumbuhan ekonomi, kecuali tahun 2020. Bahkan pertumbuhan tiga tahun terakhir masih jauh di bawah rata-rata sebelum pandemi tahun 2011–2019 yang sebesar 3,95%.
Porsinya dalam struktur perekonomian sebesar 11,61% pada triwulan I-2024. Lebih rendah dibanding tahun 2022 yang sebesar 12,40% dan tahun 2023 yang sebesar 12,53%. Kemungkinan akan menjadi kisaran 12,30% selama tahun 2024.
Padahal, porsinya masih sebesar 13,34% pada tahun 2014. Terdapat tren penurunan porsi sektor pertanian, seiring dengan laju pertumbuhannya yang makin rendah.
Penurunan terutama disumbang oleh subsektor tanaman pangan. Fenomena ini terkonfirmasi dalam data produksi tanaman pangan utama seperti padi, jagung ubi kayu, ubi jalar dan lainnya. Begitu juga dengan data lahan yang tidak bertambah signifikan.
Pada saat bersamaan, tenaga kerja yang bekerja di sektor ini justeru cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Jumlahnya mencapai 40,72 juta orang atau 28,64% dari total pekerja per Februari 2024. Akibatnya produktivitas pekerja sektor pertanian cenderung turun, dan pada gilirannya kesejahteraan petani pun tak bisa membaik.
6 Pertumbuhan Komponen Pengeluaran
Dari uraian terkait kondisi pertumbuhan beberapa sektor di atas, maka selama setahun 2024 kemungkinan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh di bawah 5%. Sektor yang tumbuh tinggi pada triwulan I berisiko akan melambat. Pada saat bersamaan, sektor besar seperti pertanian dan industri pengolahan belum mampu tumbuh tinggi.
Risiko tumbuh yang lebih rendah itu diindikasikan pula oleh kondisi pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi pengeluaran. Pertumbuhan memang masih ditopang konsumsi rumah tangga yang mampu tumbuh 4,91% pada triwulan I-2024. Lebih baik dibanding kondisi 2–3 tahun sebelumnya.
Namun masih sedikit lebih rendah dibanding era pra-pandemi, yang rata-rata sebesar 5,12% per tahun pada tahun 2011–2019. Padahal, kondisi triwulan I 2024 cukup terbantu momen Ramadan yang mendorong pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman.
Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang tumbuh sebesar 3,79% pada triwulan I-2024 tumbuh lebih tinggi dibanding triwulan yang sama pada tahun 2023, namun lebih rendah dibanding tahun 2022. Dan lebih rendah dibanding era pra-pandemi.
Komponen pengeluaran yang tumbuh sangat tinggi adalah konsumsi pemerintah. Hal itu terutama akibat kenaikan realisasi belanja barang, terutama pada kegiatan pelaksanaan dan pengawasan Pemilu 2024, serta kenaikan realisasi belanja pegawai. Bisa dipastikan pertumbuhan konsumsi pemerintah tidak akan setinggi itu lagi pada tiga triwulan selanjutnya.
Komponen ekspor yang selama beberapa triwulan sebelumnya tumbuh tinggi, hanya mampu tumbuh 0,50% pada Triwulan I 2024. Andil dalam pertumbuhan ekonomi pun menurun, menjadi hanya 0,12 persen poin. Bahkan jika memperhitungkan impor, maka ekspor neto memberi andil minus atau bersifat mengurangi.
Dengan demikian, kondisi dan prakiraan pertumbuhan komponen pengeluaran secara keseluruhan tidak berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Hasil paling optimal hanya akan membuat pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sekitar 5,0%. Itu pun jika kondisi perekonomian cukup normal atau tidak mengalami guncangan berarti.
7 Komentar Ekonom
“Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,11% pada triwulan satu bukan kinerja yang mentereng, serupa saja dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, rincian atas dasar sektor dan komponen pengeluaran menggambarkan risiko pertumbuhan setahun berjalan akan di bawah 5%,” kata Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute.
Dijelaskannya bahwa sektor-sektor yang tumbuh tinggi pada triwulan satu berisiko melambat pada triwulan selanjutnya. Terutama sektor sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib yang mencapai 18,88%, karena faktor pendorongnya seperti kenaikan gaji dan THR tidak akan berlanjut.
Awalil menambahkan alasan prakiraan pertumbuhan setahun yang akan menurun dengan kinerja dua sektor fundamental, yaitu industri pengolahan dan pertanian. Sektor industri dinilainya belum mampu tumbuh tinggi dan kurang mendorong pertumbuhan sektor lain karena cukup bergantung pada impor. Sektor pertanian bahkan mengalami kontraksi.
“Risiko tumbuh di bawah 5% selama setahun diindikasikan pula oleh kondisi pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi pengeluaran. Pertumbuhan memang masih ditopang konsumsi rumah tangga, namun masih sedikit lebih rendah dibanding era pra-pandemi. Padahal, kondisinya cukup terbantu momen Ramadan yang mendorong pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman,“ papar Awalil.
Ditambahkannya tentang komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang tumbuh tidak terlampau tinggi dan lebih rendah dibanding era pra pandemi. Juga tentang konsumsi pemerintah yang tumbuh sangat tinggi, dan tidak akan bisa dipertahankan pada triwulan selanjutnya. Diingatkan bahwa hal itu terutama akibat kenaikan realisasi belanja barang, terutama kegiatan pelaksanaan dan pengawasan Pemilu 2024, serta kenaikan realisasi belanja pegawai. []