Saldo Anggaran Lebih (SAL) terbilang bernilai sangat besar, dan pengawasan terhadapnya harus dilakukan secara cermat oleh DPR.
LAPORAN Pemerintah tentang Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama beberapa tahun terakhir menginformasikan adanya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA). Secara akuntansi, SiLPA merupakan saldo lebih penenerimaan dikurangi tahun berjalan dalam laporan operasional pemerintah pusat.
Secara umum, Laporan Operasional tersebut serupa dengan laporan rugi laba dalam badan usaha. SiLPA bisa disepadankan sebagai item laba tahun berjalan.
Saldo SiLPA pada saat tutup buku akan masuk menjadi tambahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dalam neraca Pemerintah. Pada badan usaha, saldo laba saat tutup buku juga masuk menjadi tambahan laba ditahan dalam neraca, menjadi bagian dari ekuitas.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) diwajibkan disusun merujuk pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Standar akuntansi sendiri secara umum merupakan produk hukum dalam mengakui dan mengukur transaksi keuangan di laporan keuangan yang menjadi jembatan komunikasi antara pembuat laporan keuangan dengan pengguna dan pembacanya.
SAP yang dipergunakan saat ini mengacu kepada kesepakatan antara pemerintah dan DPR yang ditetapkan melalui beberapa Undang-Undang. Terutama berdasar UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Antara lain ditetapkan bahwa prinsip pengakuan dan pengukuran keuangan negara di SAP adalah basis kas menuju basis akrual.
Pengakuan atas pendapatan, belanja, dan pembiayaan secara umum berbasis kas. Sedangkan aset, utang, dan ekuitas berbasis akrual.
Prinsip basis kas menuju basis akrual merupakan pengakuan transaksi keuangan operasional pemerintah bersifat kas. Diukur dan dicatat sesuai nilai uang yang diterima dan dibelanjakan pada tahun berjalan. Dengan demikian, pemerintah tidak mengakui potensi pendapatan dan atau biaya di masa depan dengan mengukurnya secara akrual di masa kini.
Penerimaan negara dikurangi pengeluaran, akan menghasilkan defisit yang menjadi mandat pagu APBN untuk berutang, terutama penerbitan Surat Berharga Negara. Realisasi perolehan utang baru pada tahun anggaran berjalan mengurangi saldo selisih penerimaan atas pengeluaran operasional. Dan pada akhirnya selisih tunai yang terjadi akan menjadi penambah saldo SAL di rekening ekuitas neraca pemerintah.
Pemindahan SiLPA tahun berjalan ke saldo SAL seharusnya menjadi saldo kas dan setara kas di neraca Pemerintah. Dalam hal akun SiLPA, berbasis kas. Ketika terkumulasi pada saldo SAL, menjadi berbasis akrual. Seperti telah disebut terdahulu, neraca pemerintah mengakui dan mengukur aset serta kewajiban secara akrual.
Pencermatan atas besaran SiLPA dan saldo SAL selama beberapa tahun terakhir perlu dikaitkan dengan berbagai indikator utang. BPK melakukan reviu tentang utang pemerintah dan menyajikan laporan tentang kesinambungan fiskal untuk kondisi tahun 2019 dan 2020. Dari data dan indikator dalam reviu BPK dapat disimpulkan bahwa sumber SiLPA dan SAL bukan dari Pendapatan Negara, melainkan dari realisasi penerimaan pembiayaan yang bersumber pada utang.
Oleh karena bersumber dari pembiayaan utang, maka besarnya saldo SAL sebenarnya berbiaya di masa kini dan mendatang. Terlihat ada kas atau setara kas dalam kas, sebenarnya berbiaya bunga yang menjadi beban akrual di neraca. Sekalipun, saldo SAL mungkin juga memperoleh imbal hasil, namun bisa dipastikan beban biaya jauh lebih besar.
Penggunaan SiLPA tahun sebelumnya atau pada saldo SAL keseluruhan tidak bisa dipergunakan langsung oleh Pemerintah. Pemakaiannya pada suatu tahun anggaran mesti disetujui oleh DPR dan ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN tahun bersangkutan. Dan hal itu pernah dilakukan dalam beberapa tahun anggaran.
Secara akuntansi, SiLPA jelas berbentuk kas dan setara kas. Namun ketika dimasukkan dalam akun SAL, ada potensi untuk diubah sebagian menjadi bentuk lainnya. Hal itu yang terjadi beberapa tahun terakhir, dengan dipayungi hukum Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
PMK No.147/2021 tentang Pengelolaan Saldo Anggaran Lebih menyebutkan bentuk saldo SAL dapat disimpan dalam bentuk Instrumen Keuangan Jangka Pendek. Instrumen dimaksud antara lain berupa penempatan uang, SBN, reverse repo, dan Instrumen Keuangan Jangka Pendek lainnya.
PMK memang menyebut dua kriteria minimal untuk instrumen keuangan jangka pendek tadi. Yaitu dapat segera diperjualbelikan secara bebas atau dicairkan, serta berisiko rendah. Bagaimanapun, portofolio demikian tetap memiliki risiko, terutama dalam hal penurunan harga wajar pasar.
Saldo SAL terbilang bernilai sangat besar, yaitu Rp459,60 triliun per 31 Desember 2023 dan Rp478,96 triliun per 31 Desember 2022. Dengan diperbolehkan oleh PMK untuk disimpan dalam instrumen keuangan yang memiliki risiko, maka berpotensi terjadi kesalahan atau bahkan penyalahgunaan wewenang. Diperlukan aturan yang lebih rinci, pengawasan lebih ketat oleh DPR, serta transparansi kepada publik luas. [adj]