Posisi utang pemerintah bukan hanya yang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman (dalam dan luar negeri) saja
PENGERTIAN kewajiban dalam neraca Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang disampaikan tiap tahun sebenarnya sama dengan utang. Nilainya sebesar Rp9.537 triliun per 31 Desember 2023. Lebih besar dibanding posisi utang yang biasa diutarakan kepada publik dan dikutip berbagai pihak untuk waktu yang sama, yaitu sebesar Rp8.145 triliun.
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) no. 9 tentang akuntansi menyebut kewajiban pemerintah adalah seluruh pinjaman dan komitmen pihak ketiga yang diberikan kepada pemerintah. Per definisi, kewajiban itu sudah masuk dalam kas pemerintah saat ini, dan akan dibayar pada masa mendatang.
Berdasar itu, posisi utang pemerintah bukan hanya yang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman (dalam dan luar negeri) saja. Melainkan utang yang telah memenuhi syarat PSAP tersebut, dan buktinya dinyatakan sebagai kewajiban dalam neraca Pemerintah. Baik kewajiban jangka pendek, maupun jangka panjang.
Kewajiban Jangka Pendek antara lain meliputi: Utang Perhitungan Fihak Ketiga, Utang kepada Pihak Ketiga, Utang Subsidi, Utang Transfer, Bagian Lancar Utang Jangka Panjang, dan lain sebagainya. Sedangkan Kewajiban Jangka Panjang mencakup: Utang Jangka Panjang Dalam Neger, Utang Jangka Panjang Luar Negeri, dan Kewajiban Konsesi Jasa.
Utang atau kewajiban akan diakui, diukur dan dicatat ketika uang nominal telah diberikan pihak ketiga masuk dalam kas negara. Atas dasar itu maka kontinjensi atas utang yang akan timbul dari komitmen beban biaya pemerintah kepada pihak ketiga di masa depan memang tidak dicatat dalam laporan keuangan. Kontinjensi merupakan kondisi yang bisa terjadi, tetapi belum tentu benar-benar terjadi.
Sebagai contoh, kewajiban jangka panjang program pensiun memang tidak disajikan pada neraca LKPP. Hal itu sesuai PSAP 09, karena prinsip biaya yang akan dikeluarkan dan pendapatan yang akan diterima di masa depan tidak diakui dalam pencatatan neraca pemerintah.
Akan tetapi, idealnya kewajiban biaya yang cukup besar di masa depan perlu disajikan di laporan kontinjensi catatan atas laporan keuangan. Penyajian secukupnya tentang dampak dan mitigasi pada struktur utang pemerintah di masa depan. Prinsipnya, ada laporan kontijensi yang memuat struktur utang disertai biaya yang harus dibayarkan, agar risiko fiskal tetap bisa diukur dan ada keterbukaan data kepada publik.
Di masa mendatang, bisa saja PSAP diubah menjadi sepenuhnya akrual. Dengan demikian, kewajiban program pensiun bisa dicatat dalam neraca. Diakui pendapatan mendatang pada sisi aktiva dan biaya pada sisi pasiva.
Begitu pula dalam hal utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah sebaiknya membuat laporan kontijensi utang yang berpengaruh ke postur fiskal pemerintah. Perlu diestimasi dampak utangnya pada penurunan modal pemerintah, agar sisi investasi jangka panjang yang disajikan dalam aset memperoleh gambaran risiko penambahan PMN sebelum terjadi.
Salah satu contoh yang amat perlu disajikan dalam catatan adalah waiver yang diberikan sebagai jaminan BUMN memperoleh utang. Waiver merupakan pengabaian adalah ketentuan yang mengikat secara hukum di mana salah satu pihak dalam kontrak setuju untuk secara sukarela melepaskan klaim tanpa pihak lain bertanggung jawab.
Sederhananya, Pemerintah bisa kehilangan nilai aset BUMN akibat utang atau kesulitan keuangan dari BUMN. Oleh karenanya, harus ada daftar tentang hal tersebut dalam catatan atas laporan keuangan.
Secara keseluruhan, informasi tentang kewajiban atau utang pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara merupakan hal yang sangat penting. Keberlanjutan fiskal masa mendatang mesti terkalkukasi dengan baik. Informasinya perlu lebih transparan dan bersifat publik, dan pengelolaan perlu pengawasan yang cukup ketat.
Ke depan dibutuhkan reformasi berkelanjutan dalam SAP. Arahnya, LKPP bertransfromasi menjadi laporan konsolidasi ekonomi negara, bukan semata pemerintah pusat dalam arti sempit. Bahkan, publik bisa membaca secara lebih mudah kaitan antara neraca fiskal Pemerintah dengan neraca moneter Bank Indonesia. []