Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 yang memerintahkan penghematan belanja negara sebesar Rp306,7 triliun sejak awal tahun mencerminkan kebijakan yang tidak lazim dalam pengelolaan APBN, baik dari segi waktu, mekanisme, maupun dampaknya terhadap transfer ke daerah dan birokrasi pemerintahan.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom Bright Institute)
PRESIDEN Prabowo secara resmi memerintahkan penghematan belanja tahun 2025 pada seluruh jajarannya. Perintah disampaikan melalui Inpres No.1/2025 tanggal 22 Januari 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Inpres No.1/2025 sebagai landasan hukum untuk penghematan belanja terbilang kurang lazim dalam pengelolaan APBN selama ini. Pertama, nilai yang ditargetkan untuk dihemat atau diefisienkan relatif cukup besar. Sebesar Rp306,70 triliun atau 8,5% dari alokasi Belanja Negara APBN 2025.
Kedua, diperintahkan pada bulan Januari, ketika belum sebelum APBN mulai direalisasikan. Jika ada instruksi penghematan, biasanya di triwulan terakhir realisasi dan hanya dengan Peraturan Menkeu atau Surat Edaran Menkeu.
Ketiga, pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) yang mencapai Rp50,95 triliun. Besaran TKD selama ini merupakan perhitungan dari berbagai faktor. Antara lain soal Dana Bagi Hasil (DBH), dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan lainnya. Tentu dibutuhkan harmonisasi agar pemangkasan tidak bertentangan dengan acuan perundang-undangan yang notabene lebih tinggi dibanding inpres.
Penghematan sebelumnya pada era Prabowi dilakukan hanya melalui surat edaran Menkeu, meski sebelumnya juga ada arahan Presiden. Surat edaran Menkeu kala itu dikeluarkan pada 7 November 2024 untuk realisasi APBN tahun 2024 yang tersisa. Secara teknis yang dilaksanakan berupa tidak jadi dilaksanakan kegiatan atau mengurangi biayanya, dengan nilai penghematan dilaporkan sebesar Rp3,6 triliun.
Substansi dokumen Inpres No.1/2025 tampak memiliki arah serupa dengan penghematan melalui surat edaran Menkeu terdahulu. Namun kali ini cakupannya lebih luas atas berbagai belanja, serta dilakukan sejak awal realisasi APBN. Tambahan lainnya adalah terkait pengurangan alokasi Transfer ke Daerah serta perintah penghematan kepada daerah.
Diktum kedua inpres memerintahkan Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan reviu atau penyisiran ulang atas alokasi Belanja yang telah diberi kepada mereka dalam APBN 2025. Besaran penghematan telah dipatok untuk keseluruhan K/L sebesar Rp256,1 triliun. Reviu oleh masing-masing K/L dilakukan terlebih dahulu secara mandiri.
Surat edaran Menkeu bernomor S-37/MK.02/2025 juga memberi arahan bagaimana reviu dilakukan. Ada 16 macam belanja yang harus dipangkas dan diberi kisaran persentasenya. Diantaranya: alat tulis kantor (90%), kegiatan seremonial (56,9%), rapat dan seminar (45%), perjalanan dinas (53,9%), dan lain sebagainya.
Kompleksitas Proses Birokrasi
Surat edaran Menkeu meminta agar hasil peninjauan dan identifikasi rencana efisiensi belanja oleh K/L disampaikan kepada mitra komisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian seolah dinarasikan kepada publik bahwa DPR tetap dilibatkan dalam proses ini.
Bagaimanapun, keputusan akhir bisa dikatakan diambil oleh Menteri Keuangan, sebagaimana diktum kelima. Bahkan dari surat edaran Menkeu sebagai tindaklanjut inpres, jika reviu K/L tidak dilaporkan sampai dengan 14 Februari, maka Menkeu berhak menetapkan besaran pemotongan.
Hingga saat ini belum dikeluarkan arahan lebih lanjut terkait perintah penghematan kepada Kepala Daerah, sebagai dampak TKD yang dikurangi. Diktum keempat dari Inpres menyebut antara lain soal pembatasan atas kegiatan seremonial, kajian, studi banding, perjalanan dinas, dan lain sebagainya. Dalam hal ini memang dibutuhkan pula arahan dari Kementerian Dalam Negeri.
Penulis melihat masih ada beberapa tantangan atau hambatan dalam pelaksanaan dari inpres ini. Besaran alokasi pemangkasan kepada masing-masing K/L dan berbagai daerah menyisakan agenda birokrasi yang mungkin cukup kompleks. Sebelum ini, publik justeru mendengar banyak Menteri atau Kepala Lembaga yang justru minta tambahan alokasi belanja.
Pemekaran kabinet dan banyak rekrutan tenaga ahli, staf khusus, tim atau satgas tertentu yang telah atau akan dibentuk memerlukan biaya operasional tambahan. Misalnya terkait penyediaan kantor dan kelengkapan operasional, maupun tambahan honor. Bisa diduga, ketika ada perintah penyisiran ini, beberapanya malah sedang menyusun anggaran tambahan untuk diajukan.
Penghematan masih bisa memenuhi target inpres, namun diperlukan tidak sekedar “membintangi” item-item untuk tidak dijalankan atau dikurangi biayanya. Belanja sebaiknya dialokasi ulang secara komprehensif. Dan harusnya mencerminkan arah kebijakan pemerintahan baru.
Perlu diketahui, inpres tidak menyebut soal alokasi dari penghematan itu kemudian dialokasikan untuk apa. Ada spekulasi hal ini terkait dengan beberapa program unggulan, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Alokasi demikian harusnya tidak bisa dengan inpres atau aturan menkeu, melainkan mesti dinyatakan dalam APBN sebagai undang-undang.
Artinya perlu ada APBN Perubahan 2025. Jika tidak, akan menimbulkan yurisprudensi APBN bukan lagi diatur melalui undang-undang. DPR pun tak memiliki cukup wewenang ikut menyusun, meski disebut K/L harus menyampaikan ke mereka.
Sebenarnya, penghematan sebesar Rp306,7 triliun pun tidak mesti dialokasikan ke MBG atau yang lainnya. Target pendapatan APBN 2025 tampak makin berat untuk dicapai, antara lain karena tarif PPN tertahan dan prospek perekonomian tak menjadi lebih baik dari 2024. Penghematan berguna untuk mencegah defisit lebih lebar.
Akan tetapi, sejauh ini Menkeu Sri Mulyani menyampaikan tidak mengubah postur APBN. Artinya jika belanja berhasil dihemat, memang akan dialokasikan ke belanja yang lain. Minimal sebagian besar akan dialokasikan ulang. []