Upaya pemerintah memacu pertumbuhan ekonomi masih banyak mendapat tantangan.
PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia sebesar 8% diyakini oleh Calon Presiden Prabowo Subianto bisa tercapai dalam periode 4 hingga 5 tahun ke depan. Hal itu disampaikan saat memberikan kata sambutan di acara Mandiri Investment Forum 2024 pada Selasa (5/3/2024). Melampaui target sebesar 7% yang ia kemukakan dalam visi misi.
Soal janji dan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebelumnya pernah pula dilakukan oleh Jokowi. Pada masa kampanye 2014, Jokowi berjanji menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas 7%.
Setahun setelah dilantik, Presiden Jokowi kembali menegaskan jika ekonomi Indonesia akan meroket setelah satu semester tahun 2015 hanya tumbuh kisaran 5%. Namun apa yang ia anggap bisa dilakukan terbentur dengan fakta bahwa banyak hal rupanya tidak semudah dibayangkan.
1 Ekonomi Era Jokowi
Upaya memenuhi janji mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi sebenarnya dimulai secara cukup sungguh-sungguh oleh Jokowi. Target tersebut dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015–2019.
RPJMN tahun 2015–2019 ditetapkan oleh Presiden pada tanggal 8 januari 2015 atau awal periode pemerintahannya. RPJMN memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencangkup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Target ekonomi Indonesia tumbuh di atas 7% diharapkan tercapai pada tahun 2017 atau tahun ketiga pemerintahan. Target pertumbuhan ekonomi ini tak satupun yang terealisasi.
Pada periode kedua Presiden Jokowi, target pertumbuhan ekonomi dalam RPJMN 2020–2024 justeru diturunkan. Target dinyatakan dalam besaran rentang, yang bisa saja diambil titik tengahnya untuk keperluan asesmen.
Sebagai contoh target tahun 2023 menurut RPJMN 2020–2024 sebesar 6,0%–6,3% atau titik tengahnya sebesar 6,15%. Dengan kata lain, pertumbuhan sebesar 5,05% masih jauh dari target. Terlebih pada tahun 2020 dan 2021 yang terdampak pandemi.
Ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 5,31% pada tahun 2022 pun masih jauh dari target RPJMN yang ditargetkan dalam rentang 5,7%–6,0%. Sedangkan pada tahun 2024 berjalan ini, APBN 2024 malah hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,20%. Padahal, RPJMN mematok angka 6,2%–6,5%.
Dengan kata lain, target pertumbuhan ekonomi dalam RPJMN 2020–2024 pun tidak pernah dicapai tiap tahunnya. Dengan demikian, realisasi pertumbuhan ekonomi selama era pemerintahan Presiden Jokowi tidak pernah memenuhi target RPJMN.
Sedangkan realisasi pertumbuhan ekonomi selama era pemerintahan Presiden SBY (2005–2014) tercatat mencapai target sebanyak 3 kali. Hampir mencapai target, dengan ukuran selisihnya kurang dari 0,5%, sebanyak 2 kali. Sedangkan yang tidak mencapai target sebanyak 5 kali.
2 Pertumbuhan Ekonomi Berbagai Era Pemerintahan
Sebelum pandemi, selama periode pemerintahan Presiden Jokowi pertama (2015–2019) rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5,03% per tahun. Pada periode kedua (2020–2024), dengan asumsi target APBN 2024 tercapai, rata-ratanya hanya 3,44% per tahun.
Terlepas dari adanya dampak pandemi COVID-19, selama era pemerintahan Presiden Jokowi rata-rata pertumbuhan hanya sebesar 4,24% per tahun. Sedangkan pada dua periode era pemerintahan Presiden SBY (2005–2014) mencapai 5,72% per tahun.
Pertumbuhan ekonomi pada era Soeharto tercatat cukup tinggi. Rata-rata per tahun selama tahun 1969–1997 mencapai 6,77%. Bahkan mencapai di atas 8% pada tahun-tahun tertentu. Antara lain: 8,10% (1973), 8,76% (1977), 9,88% (1980), 8,22% (1995).
Pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang membuat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi atau tumbuh minus 13,13%. Hingga beberapa tahun berikutnya pun pertumbuhan ekonomi belum bisa pulih sepenuhnya.
Hal itu diperlihatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi selama era Presiden Gus Dur dan Megawati (2000–2004) rata-rata hanya sebesar 3,94% per tahun. Padahal, ada efek basis perhitungan yang rendah (low-base effect) pada tahun 1998 dan 1999.
3 Kondisi & Proyeksi Terkini
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,05% pada tahun 2023 dan sebesar 5,31% pada tahun 2022. Jauh lebih tinggi dari pertumbuhan tahun 2021 yang hanya sebesar 3,69%, dan tahun 2020 yang terkontraksi sebesar 2,07%. Pertumbuhan ekonomi selama dua tahun tersebut memang sangat terdampak oleh pandemi COVID-19.
Kinerja pertumbuhan tahun 2022 dan 2023 memang menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan, namun belum dapat menjadi dasar penilaian telah pulihnya kondisi perekonomian. Kontraksi pada tahun 2020 dan pertumbuhan yang rendah pada tahun 2021 memberi efek basis perhitungan yang rendah (low-base effect) bagi perhitungan selama satu hingga tiga tahun selanjutnya.
Kondisi pulih memang bisa memakai perbandingan dengan tahun 2019 atau sebelum pandemi. Akan tetapi akan lebih tepat jika dengan “kondisi hipotetis” seandainya tidak ada pandemi, seperti dalam hal indikator pertumbuhan ekonomi.
Ukuran kedua tersebut memperhitungkan kesempatan yang hilang (opportunity loss) akibat dampak pandemi. Dapat diperhitungkan andai tak terdampak pandemi, antara lain dengan memproyeksikan tetap tumbuh seperti biasanya. Sederhananya, peningkatan selama tahun-tahun pemulihan harus mampu mengganti kehilangan nilai produksi barang dan jasa akibat sempat terjadi kontraksi dan tumbuh jauh di bawah lintasan normalnya.
Dalam hal PDB riil, untuk diklaim pulih seharusnya bukan mencapai nilai tahun 2019, melainkan memperhitungkan andai berlangsung pada lintasan pertumbuhan normal dalam kondisi tidak ada pandemi. Misalnya dengan ukuran lintasan pertumbuhan normal sebesar 5% per tahun.
Besaran PDB riil atau PDB atas dasar harga konstan yang “pulih” dimaksud adalah sebagai berikut: Rp12.072 triliun (2021), Rp12.675 triliun (2022), Rp13.309 triliun (2023), Rp13.974 triliun (2024), Rp14.673 triliun (2025), dan Rp15.407 triliun (2026), tambah Rp16.177 triliun (2027).
Asumsi atau target pertumbuhan ekonomi dalam Nota Keuangan dan APBN untuk tahun 2024 adalah sebesar 5,2%. Sedangkan proyeksi beberapa tahun berikutnya berupa rentang besaran sebagai berikut: 5,5–6,0% (2025), 5,6–6,3% (2026), dan 5,7–6,4% (2027).
Presiden Jokowi dan Menteri di bidang ekonomi hingga saat ini masih yakin bisa memenuhi target pertumbuhan ekonomi APBN 2024 yang sebesar 5,2%. Padahal, Bank Dunia meski masih memuji kinerja perekonomian sudah menyampaikan prakiraan yang lebih rendah, yakni sebesar 4,9%.
International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook (WEO) rilis Oktober 2023 telah melakukan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang juga lebih rendah. Proyeksi IMF untuk tahun 2024 sampai dengan 2028 adalah sebagai berikut: 4,95% (2024); 4,96% (2025); 4,96% (2026); 4,95% (2027); dan 4,96% (2028).
4 Komentar Ekonom
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak didasari oleh fundamental ekonomi yang kuat. Tidak bersumber pada sektor ekonomi yang berporsi besar dalam struktur ekonomi dan mampu tumbuh tinggi secara stabil. Contoh utama dalam hal ini adalah sektor industri pengolahan dan sektor pertanian,” kata Awalil, ekonom senior Bright Institute.
Dipaparkannya bahwa sektor industri pengolahan yang terdiri dari 16 subsektor tumbuh rata-rata sebesar 3,99% per tahun selama tahun 2011–2023. Bahkan hanya sebesar 3,44% selama era Jokowi pada tahun 2015–2023. Selama era Jokowi sektor tidak pernah melampaui pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011.
“Kondisi lebih buruk terjadi pada sektor pertanian yang mencakup subsektor pertanian, kehutanan, dan perikanan,” lanjut Awalil. Sektor pertanian tumbuh rata–rata sebesar 3,29% per tahun pada tahun 2011–2023, dan hanya 2,86% khusus pada era Jokowi. Pertumbuhan pada tahun 2023 menjadi yang terendah selama ini, yakni sebesar 1,30%.
Lalu sektor apa saja yang menopang hingga pertumbuhan ekonomi masih bisa di kisaran 5% per tahun? Awalil menjelaskan bahwa rata-rata pertumbuhan selama periode 2011–2023 sebenarnya hanya 4,61% dan khusus era Jokowi hanya sebesar 4,13%. Sumbernya terjadi secara bergantian oleh beberapa sektor, yang masih belum bisa menjadi penopang struktur ekonomi yang kuat.
Disebutkan antara lain sektor informasi dan komunikasi, sektor kontruksi, sektor perdagangan, dan sektor jasa keuangan dan asuransi. Ditambahkannya, tentang fenomena sektor pertambangan yang amat tidak stabil, yang kadang tumbuh signifikan namun kadang kontraksi.
“Dilihat dari sisi komponen penggunaan atau pengeluaran, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tidak terindikasi untuk bisa tumbuh tinggi secara berkelanjutan,” jelas Awalil lebih jauh. Penopang utamanya masih konsumsi rumah tangga, yang porsinya mencapai 53,18% dari PDB. Namun diingatkannya bahwa laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung melandai selama beberapa tahun terakhir pasca-pandemi, dan di bawah pertumbuhan ekonomi.
Ditambahkan, komponen pengeluaran yang bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun berikutnya dan bahkan berkelanjutan adalah pembentukan modal tetap bruto (PMTB). PMTB merupakan penambahan dan pengurangan barang modal, sehingga berpotensi meningkatkan produksi selanjutnya.
Porsi PMTB pada tahun 2023 sebesar 29,33% dari PDB dan hampir setara dengan tahun 2022 yang sebesar 29,09%. Porsi ini lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya yang di kisaran 32%.
Pertumbuhan PMTB pun melambat, hanya sebesar 4,40% pada tahun 2023 dan 3,87% pada tahun 2022. Di bawah pertumbuhan ekonomi pada tahun bersangkutan. Bahkan jauh di bawah rata-rata era sebelum pandemi, tahun 2011–2019 yang mencapai 6,02% per tahun.
Awalil mengingatkan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran belakangan ini didukung oleh ekspor barang dan jasa. Pertumbuhannya mencapai 24,04% pada tahun 2021 dan 16,28% pada tahun 2022. Meski merosot hingga hanya 1,32% pada tahun 2023, namun diimbangi oleh impor yang justeru mengalami kontraksi.
Dikatakannya bahwa ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi cukup baik, namun data-data menunjukkan bersifat sangat tidak stabil dalam kasus Indonesia. Fenomenanya terbantu oleh harga komoditas yang sangat tinggi dan kondisi beberapa negara yang terkendala ekspor. Terdorong pula oleh pertumbuhan sektor Pertambangan dan Penggalian yang cukup tinggi, namun juga bersifat tidak stabil.
Oleh karenanya, Awalil berpandangan target tumbuh 7% dari pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nyaris tidak mungkin tercapai. Apalagi dari paparan dalam visi misi, debat calon dan pernyataan di ruang publik, tidak ada konsep yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
“Pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga 7% hanya bisa dicapai jika ada perubahan kebijakan yang mendasar. Kebijakan yang mampu mendorong industri pengolahan tumbuh hingga 10% dan pada saat bersamaan menjaga sektor pertanian sekurangnya bisa tumbuh di atas 3%. Hal itu berkaitan erat dengan menambah daya beli agar konsumsi masyarakat tetap tumbuh tinggi sekurangnya setara dengan pertumbuhan ekonomi, serta PMTB diupayakan tumbuh hingga 10%,” pungkas Awalil. []
Discussion about this post