Sektor-sektor ekonomi Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan yang kurang greget.
PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,05% pada tahun 2023. Seluruh sektor ekonomi yang terdiri dari 17 lapangan usaha mengalami pertumbuhan. Akan tetapi laju masing-masing sektor berbeda, dan mengindikasikan kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan yang relatif tinggi justeru tidak dialami oleh sektor yang saat ini merupakan fundamental perekonomian nasional.
Sektor fundamental dimaksud adalah yang berporsi besar dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB), serta dalam penyerapan atas tenaga kerja. Contohnya adalah sektor industri pengolahan dan sektor pertanian.
1 Pertumbuhan Sektoral Rendah
Sektor Industri Pengolahan hanya tumbuh sebesar 4,64% atau di bawah laju pertumbuhan ekonomi tahun 2023. Sektor ini memang masih memberi kontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 0,95% poin. Namun lebih disebabkan porsinya dalam keseluruhan PDB masih yang terbesar.
Sektor Industri pengolahan memang selalu tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2012. Selama era tahun 2011–2023, rata-rata tumbuh sebesar 3,99% per tahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,61%.
Sektor industri pengolahan selama 9 tahun era Jokowi (2015–2023), rata-rata hanya tumbuh 3,44% per tahun. Lebih rendah dibanding rata-rata pertumbuhan ekonomi yang sebesar 4,13% per tahun.
Salah satu akibatnya, meski masih yang terbesar, porsi industri pengolahan dalam PDB cenderung menurun. Porsinya masih sebesar 22,04% pada tahun 2010, turun menjadi 18,67% pada tahun 2023. Selama era Presiden Jokowi, penurunan dari porsi 21,08% pada tahun 2014.
Padahal, sektor industri pengolahan menempati urutan terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja. Penduduk yang bekerja di sektor ini sebanyak 19,35 juta orang atau 13,83% dari seluruh pekerja pada Agustus 2023.
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang berporsi terbesar kedua hanya tumbuh sebesar 1,30% pada tahun 2023. Pertumbuhan sektor ini memang telah rendah selama beberapa tahun sebelumnya, yaitu sebesar 1,77% (2020), 1,87% (2021) dan 2,25% (2022).
Dengan demikian, selama empat tahun berturut-turut, tumbuh lebih rendah dibanding sebelum pandemi. Rata-rata pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2011–2019 mencapai 3,95% per tahun.
Padahal, sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja paling besar. Penduduk bekerja di sektor ini mencapai 39,45 juta orang atau 28,21% dari seluruh pekerja pada tahun 2023.
Kinerja tidak menggembirakan dari sektor pertanian terutama tampak pada subsektor Tanaman Pangan. Tanaman Pangan mengalami kontraksi sebesar minus 3,88% pada tahun 2023. Melanjutkan kinerja buruk tahun 2022 yang hanya tumbuh sebesar 0,08%, serta kontraksi sebesar minus 1,40% pada tahun 2021.
Nilai PDB atas dasar harga konstan sektor Tanaman Pangan tahun 2023 sebesar Rp287,81 triliun. Turun sebesar 3,88% dari 2022 yang Rp299,44 triliun. Produksi riil tanaman pangan 2023 tersebut merupakan yang terendah selama 7 tahun terakhir.
Sementara itu, sektor yang tumbuh relatif tinggi selama tahun 2011–2023 justeru tergolong bukan yang berporsi besar dalam hal penyerapan atas tenaga kerja. Pertumbuhan rata-rata per tahun beberapa sektor itu adalah: Jasa Informasi dan Komunikasi (9,25%), Jasa Perusahaan (6,85%), dan Transportasi dan Pergudangan rata-rata sebesar (6,76%).
Pada tahun 2023, pekerja sektor Jasa Informasi dan Komunikasi hanya sebanyak 0,99 juta orang atau 0,71% dari total pekerja. Sedangkan sektor Jasa Perusahaan menyerap 2,33 juta orang (1,67%), serta Transportasi dan Pergudangan menyerap 6,15 juta orang (4,40%).
Sektor Pertambangan dan Penggalian kembali tampil cukup dominan dalam kinerja perekonomian. Pertumbuhannya mencapai 6,12% pada tahun 2023. Porsinya dalam struktur ekonomi pun melesat menjadi 12,22% atas PDB.
Hal ini bukan petanda baik bagi fundamental ekonomi dan transformasi perekonomian Indonesia. Selain itu, sektor ini hanya mampu menyerap 1,66 juta orang atau 1,19% dari total pekerja.
2 Risiko Tidak Berkelanjutan Komponen Pengeluaran
Kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir terindikasi pula pada kondisi komponen pengeluaran atau penggunaan. Terutama pada komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga dan komponen Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).
Komponen Konsumsi Rumah Tangga memang masih bisa tumbuh sebesar 4,82% pada tahun 2023, dan sebesar 4,93% pada tahun 2022. Setelah sebelumnya terkontraksi 2,63% pada tahun 2020 dan hanya tumbuh 2,02% pada tahun 2021.
Akan tetapi pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2022 dan 2023 masih di bawah pertumbuhan ekonomi. Dan di bawah rata-rata pertumbuhannya sebelum pandemi, pada tahun 2011–2019 yang mencapai 5,12% per tahun. Artinya, laju peningkatan riil dari konsumsi rumah tangga belumlah pulih setelah terdampak pandemi.
Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh 4,40% pada tahun 2023 dan 3,87% pada tahun 2022. Selama dua tahun ini di bawah pertumbuhan ekonomi. Bahkan, masih jauh dari pertumbuhan rata-rata sebelum pandemi pada tahun 2011–2019 yang mencapai 6,02%.
Padahal, PMTB merupakan komponen pengeluaran yang bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun berikutnya dan bahkan berkelanjutan. Laju pertumbuhan PMTB menggambarkan penambahan barang modal, sehingga biasa pula disebut sebagai komponen investasi.
Barang modal merupakan peralatan yang digunakan untuk berproduksi dan biasanya mempunyai umur pakai satu tahun atau lebih. Antara lain berbentuk: bangunan atau konstruksi, mesin-mesin dan alat-alat perlengkapan, alat angkutan, dan barang modal lainnya.
Peran pemerintah melalui kebijakan fiskal ekspansif yang dinarasikan sangat besar kurang tecermin dalam data komponen Konsumsi Pemerintah yang hanya tumbuh sebesar 2,95% pada tahun 2023. Bahkan mengalami kontraksi atau minus sebesar 4,51% pada tahun 2022. Secara rata-rata pun pada tahun 2011–2023 hanya tumbuh sebesar 2,93% per tahun.
Komponen pengeluaran yang sempat tumbuh sangat tinggi pada tahun 2021 dan 2022 adalah Ekspor Barang dan Jasa, mencapai 17,95% dan 16,28%. Namun hanya tumbuh sebesar 1,32% pada tahun 2023. Kinerja komponen ini memang sangat fluktuatif.
Akan tetapi, pesatnya komponen ini kurang berdampak luas pada dinamika perekonomian nasional, terutama berupa kecilnya efek pengganda bagi kondisi ekonomi rakyat kebanyakan. Peningkatan terutama karena komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, serta besi dan baja. kinerjanya dikhawatirkan sulit berkelanjutan karena sangat bergantung pada pasar dunia yang amat bergejolak.
3 Indikasi Lain Kurang Berkualitasnya Pertumbuhan Ekonomi
Kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir diindikasikan pula oleh fenomena ketenagakerjaan, kemiskinan, dan ketimpangan.
Jumlah penganggur masih sebanyak 7,86 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,32% per Agustus 2023. Kondisinya masih lebih buruk dibanding sebelum pandemi, yakni sebanyak 7,10 juta orang dan 5,28% per Agustus 2019.
Pekerja berstatus formal menurut klasifikasi BPS pun belum pulih, masih sebanyak 40,89% per Agustus 2023. Belum kembali pada porsi per Agustus 2019 yang sebesar 44,11%. Dengan kata lain, porsi pekerja informal yang justeru jauh lebih banyak.
Kondisi ketenagakerjaan yang masih kurang baik ditandai pula oleh besarnya jumlah pekerja tidak penuh dan mereka yang berstatus pekerja tidak dibayar. Kelompok pekerja tidak dibayar atau pekerja keluarga mencapai 18,09 juta orang per Agustus 2023.
Begitu pula dengan sektor pertanian yang terpaksa menampung pekerja lebih banyak ketika pandemi, belum berhasil dipindah lagi ke sektor lainnya. Jumlah pekerja sektor pertanian mencapai 39,45 juta orang per Agustus 2023.
Jumlah penduduk miskin per Maret 2023 tercatat masih sebanyak 25,90 juta orang atau masih lebih banyak dibanding kondisi sebelum pandemi per September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang.
Sedangkan persentase penduduk miskin per Maret 2023 masih sebesar 9,36% juga masih lebih tinggi dibanding September 2019 yang sebesar 9,22%.
Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Rasio pada Maret 2023 adalah sebesar 0,388. Kondisi ini masih lebih buruk atau lebih timpang dibanding sebelum pandemi September 2019 yang sebesar 0,380.
4 Komentar Ekonom
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir telah terindikasi kurang berkualitas. Bahkan, pertumbuhan pasca-pandemi beberapa tahun terakhir bisa dikatakan tidak berkualitas,” kata Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute.
Penilaiannya didasari oleh beberapa alasan. Alasan pertama dilihat dari rincian pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha yang tidak cukup merata, terutama fakta rendahnya pertumbuhan sektor pertanian dan industri pengolahan. Padahal, kedua sektor ini berporsi terbesar dalam PDB dan menampung tenaga kerja yang banyak.
Menurutnya, kondisi ini berdampak cukup besar pada menurunnya produktivitas pekerja di kedua sektor itu dan pendapatan riil yang diperoleh. Akibatnya, daya beli masyarakat kebanyakan tidak bertambah signifikan. Hal ini menjadi penjelasan utama menurunya laju pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Tidak cukup tingginya laju pertumbuhan sektor industri pengolahan berhubungan erat dengan melambatnya pertumbuhan komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Secara umum, pertumbuhan PMTB akan seiring dengan sektor industri pengolahan.
“Kondisi sektor industri pengolahan dan komponen pengeluaran PMTB selama beberapa tahun ini akan menghambat terjadinya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan di tahun-tahun mendatang. Artinya, pertumbuhan yang telah berlangsung tidak cukup berkualitas,” jelas Awalil.
Alasan kedua yang dikemukakan tentang tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi adalah fakta tidak berhasil memperbaiki kondisi ketenagakerjaan secara signifikan.
“Pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya sedikit mengurangi jumlah pengangguran dan tingkat pengangguran terbuka. Pekerja yang berstatus informal masih lebih besar dibanding pekerja formal, yang secara sederhana berarti orang terpaksa bekerja apa saja. Selain itu, pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar justeru bertambah,” kata Awalil.
Alasan ketiga yang disampaikan adalah terkait penurunan jumlah penduduk miskin yang terlampau perlahan disertai meningkatnya ketimpangan ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dipastikan akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan, serta memperbaiki atau sekurangnya tidak memperburuk ketimpangan ekonomi. Keduanya tidak terjadi ketika ekonomi bisa tumbuh lumayan pasca-pandemi,” pungkas Awalil. []
Discussion about this post