Faktor spekulasi dapat menjadi ancaman serius terhadap pelemahan rupiah yang masih terus berlanjut.
PELEMAHAN rupiah terjadi selama dua pekan terakhir, dan bertahan di atas Rp16.000 per dolar Amerika. Pada saat bersamaan, pelemahan atas dolar Amerika memang dialami oleh berbagai mata uang.
Kondisi perekonomian dan keuangan global yang terdampak berbagai ketegangan geopolitik dianggap sebagai penyebab utamanya.
Di luar dampak ketegangan politik, kondisi perekonomian memang menunjukkan ketidakpastian yang cukup tinggi. Beberapa negara telah memasuki resesi, atau sekurangnya mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Indonesia, dalam hal ini, diperkirakan tidak akan melewati jalan mudah di tahun-tahun mendatang.
1 Indonesia dalam Proyeksi IMF
Proyeksi IMF terkini April 2024 memang masih meyakini perekonomian dunia akan terus tumbuh sebesar 3,2% pada tahun 2024 dan 2025. Artinya memiliki laju yang sama dengan tahun 2023.
Negara-negara industri maju bahkan tumbuh sedikit meningkat dari 1,6% pada tahun 2023 menjadi 1,7% pada tahun 2024 dan 1,8% pada tahun 2025. Namun, diprakirakan terjadi sedikit perlambatan di negara-negara berkembang dari 4,3% pada tahun 2023 menjadi 4,2% pada tahun 2024 dan 2025.
IMF memprakirakan pertumbuhan global lima tahun dari sekarang rata-rata akan sebesar 3,1% per tahun. Bagaimanapun, laju pertumbuhan sebesar itu termasuk yang terendah dalam beberapa dekade terakhir.
Indonesia termasuk yang diprakirakan tumbuh cukup tinggi, meski sedikit menurun menjadi 4,96% pada tahun 2024. Laju pertumbuhan ekonomi akan kembali meningkat menjadi 5,06% pada tahun 2025 hingga tahun 2027, dan sekitar 5,07% pada tahun 2028 dan 2029.
Namun ini juga berarti laju pertumbuhan masih dalam “lintasan normal” kisaran 5% seperti dahulu. Proyeksi IMF belum melihat potensi keberhasilan kebijakan yang diakui sebagai reformasi struktural oleh otoritas ekonomi Indonesia. Sebagai informasi, Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN 2024 menargetkan pertumbuhan ekonomi sebagai berikut: 5,2% (2024), 5,5–6,0% (2025), 5,6–6,3% (2026), dan 5,7–6,4% (2027).
Pertumbuhan ekonomi bisa dikatakan merupakan unsur utama sebagai faktor fundamental nilai tukar rupiah. Dengan prakiraan laju pertumbuhan yang cukup baik, meski masih kurang tinggi sesuai harapan otoritas ekonomi, maka nilai tukar rupiah akan cukup stabil dalam jangka menengah dan panjang.
2 Faktor Fundamental Nilai Tukar
Dinamika nilai tukar merupakan sesuatu yang tidak sepenuhnya terkait dengan laju pertumbuhan ekonomi. Beberapa faktor memengaruhi dinamika nilai tukar rupiah. Salah satunya adalah fundamental ekonomi, terutama yang terkait dengan ketahanan eksternal.
Secara sederhana telah banyak dipahami bahwa nilai tukar rupiah atas dolar saat ini lebih ditentukan oleh dinamika pasar, atau faktor permintaan dan penawaran. Hal itu disebabkan Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang disertai sistem devisa bebas.
Permintaan akan dolar di Indonesia terutama dipengaruhi oleh kebutuhan untuk pembayaran impor barang dan jasa, serta pembayaran kewajiban utang luar negeri pemerintah dan swasta. Ada pula arus modal penduduk Indonesia yang berinvestasi keluar. Sedangkan faktor yang dalam kondisi normal relatif kecil dan stabil, namun dapat meningkat saat ketidakpastian adalah tindakan spekulasi.
Sedangkan penawaran terutama dipengaruhi oleh penerimaan dari ekspor barang dan jasa, serta arus modal asing masuk. Arus modal asing ini antara lain penerimaan utang luar negeri pemerintah dan swasta, serta investasi asing. Kadang terjadi pula arus modal penduduk Indonesia di luar kembali masuk.
Meski menganut sistem nilai tukar mengambang dan sistem devisa bebas, Bank Indonesia tampak cukup sering melakukan intervensi di pasar valuta asing. Bank Indonesia melakukan operasi moneter yang mereka anggap perlu untuk kestabilan.
Dengan demikian, Bank Indonesia secara praktis cukup memengaruhi penawaran dolar di pasar. Berbagai penjelasan Bank Indonesia menyebut kebijakan yang diambil tetap mengacu pada kondisi fundamental.
Kajian tentang faktor fundamental yang memengaruhi nilai tukar rupiah menyebut beberapa tiga faktor utama. Di antaranya adalah kondisi neraca pembayaran, kondisi pasar aset, dan kondisi paritas. Ketiga faktor tersebut ditambahkan dengan dua aspek bisnis proses dan kelembagaan. Apakah tersedia pasar uang dan pasar modal yang kokoh dan likuid, serta apakah terdapat sistem perbankan yang aman sebagai pendukung perdagangan mata uang.
3 Kondisi Neraca Pembayaran
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) merupakan catatan transaksi internasional penduduk Indonesia dengan nonpenduduk secara keseluruhan dalam sudut pandang Indonesia. Ada transaksi yang bersifat penerimaan dan ada yang bersifat pembayaran.
Alat pembayaran yang dipakai disebut devisa. Devisa merupakan alat pembayaran internasional yang diakui oleh banyak negara di seluruh dunia, untuk menjadi alat tukar dalam bertransaksi.
Pengakuan atau pemakaian selama beberapa dekade membuat beberapa mata uang menjadi dominan, yang biasa disebut sebagai mata uang kuat (hard currency). Pada umumnya terkait dengan kekuatan negara asalnya dalam dinamika ekonomi dan keuangan global, dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Cadangan devisa dapat diartikan sebagai tabungan valuta asing yang dikuasai oleh otoritas moneter suatu negara. Bagi negara seperti Indonesia, cadangan devisa merupakan alat pendukung utama kebijakan memelihara stabilitas rupiah.
Bank Indonesia mengumumkan posisi cadangan devisa Indonesia untuk kondisi tiap akhir bulan. Nilainya dinyatakan dalam dolar Amerika, meski sebagian devisa berdenominasi mata uang lain dan ada yang berbentuk emas moneter.
4 Kondisi Cadangan Devisa
Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Desember 2023 tercatat sebesar US$146,38 miliar. Hingga kini, merupakan rekor tertinggi posisi pada akhir tahun. Namun, posisinya menurun pada beberapa bulan terakhir, hingga sebesar US$140,39 miliar per akhir Maret 2024.
Kondisi saldo NPI tiap akhir tahun merupakan faktor utama dalam penambahan atau pengurangan posisi cadangan devisa pada tahun bersangkutan. Surplus akan menambahi, sedang defisit akan menguranginya.
Selama periode 1981–1996 dialami surplus sebanyak 12 kali, dan defisit sebanyak 4 kali. Pada tahun 1997 dan 1998 dialami defisit yang lebar. Selama periode tahun 1999–2023 dialami surplus sebanyak 17 kali dan defisit 7 kali. Pada tahun 2023 dialami surplus sebesar US$6.301 juta.
Dengan demikian, kondisi neraca pembayaran Indonesia sebagai salah satu faktor fundamental nilai tukar rupiah terindikasi tidak terlampau kuat. Sekurangnya tidak seperti beberapa tahun lampau. Penambahan cadangan devisa karena faktor ini terjadi lebih sedikit bahkan terancam bersifat mengurangi pada tahun 2024 dan tahun 2025.
Bagaimanapun, kondisi surplus NPI selama beberapa tahun terakhir tidak lagi sebesar sebelumnya. Dengan demikian, laju penambahan devisa pun agak berkurang karena faktor transaksi yang dicatat oleh neraca pembayaran.
Selain karena transaksi NPI, cadangan devisa bisa bertambah atau berkurang karena faktor lainnya. Salah satunya adalah kebijakan intervensi Bank Indonesia seperti operasi pasar yang cenderung bersifat mengurangi.
Sempat pula terjadi penambahan devisa yang cukup besar karena “hadiah” IMF pada tahun 2021, senilai US$6,31 miliar. Posisi cadangan devisa bertambah, namun catatan utang luar negeri Bank Indonesia juga bertambah senilai yang sama. Sifat utang ini terbilang unik, karena tidak langsung dipakai atau lebih untuk berjaga-jaga jika dibutuhkan.
5 Transaksi Berjalan
Pada prinsipnya terdapat dua kelompok transaksi dalam Neraca Pembayaran. Kelompok pertama adalah transaksi yang tidak mengakibatkan hak dan kewajiban lagi di waktu mendatang setelah transaksi selesai. Kelompok transaksi ini dicatat dalam transaksi berjalan (current account).
Penambahan atau pengurangan devisa akibat kelompok transaksi ini bisa dikatakan bersifat final. Cadangan devisa yang tersisa jika ada benar-benar merupakan milik sendiri.
Selama era tahun 2012–2020 kondisi Transaksi Berjalan selalu mengalami defisit. Pada tahun 2021 dan 2022 mengalami surplus. Pada tahun 2023 kembali mengalami defisit. Sebagai catatan, pada era 1998–2011 selalu mengalami surplus. Sebelumnya lagi, tahun 1981–1997 selalu mengalami defisit.
Transaksi Berjalan terdiri dari empat komponen yang juga berbentuk neraca, yaitu: necara barang (goods), jasa-jasa (services), pendapatan primer (primary income), dan pendapatan sekunder (secondary income).
Tentang barang memang hampir bersesuaian dengan pemahaman publik. Antara lain berupa barang hasil pertambangan, hasil pertanian, dan industri manufaktur. Contoh yang dijual: batu bara, kopi, besi/baja, minyak sawit, dan tekstil. Contoh yang dibeli: peralatan Listrik, bahan kimia, komputer dan bagiannya, dan buah-buahan.
Penduduk Indonesia menjual barang kepada pihak luar negeri sebesar US$258,80 miliar pada tahun 2023. Sebaliknya, membeli sebesar US$221,89 miliar. Dialami surplus sebesar US$36,91 miliar.
Sementara itu, cakupan dari istilah jasa bersifat sangat luas. Sekelompok jasa yang relatif dikenal publik disebut neraca jasa-jasa, terdiri dari 12 jenis. Ada jasa transportasi, baik untuk barang maupun orang. Ada jasa perjalanan, dari wisatawan yang datang, maupun penduduk Indonesia yang bepergian. Ada jasa keuangan, jasa biaya penggunaan kekayaan intelektual, jasa telekomunikasi, dan lain sebagainya.
Neraca jasa-Jasa Indonesia mengalami defisit sebesar US$17,92 miliar selama tahun 2023. Dihitung dari penerimaan sebesar US$33,43 miliar dan pembayaran sebesar US$51,35 miliar. Terdapat tujuh jenis yang defisit dan lima yang surplus, namun nilai yang defisit jauh lebih besar.
Ada pula jenis jasa yang terutama sebagai balas jasa atas investasi dan utang piutang. Penerimaan oleh penduduk Indonesia sebesar US$7,85 miliar pada tahun 2023. Sebaliknya yang pembayaran mencapai US$43,21 miliar. Dengan demikian, neraca Pendapatan Primer mengalami defisit sebesar US$35,36 miliar.
Terdapat arus masuk dan arus keluar devisa yang tidak terkait langsung atas suatu jenis transaksi perdagangan internasional. Arus demikian lazimnya berupa transfer berbagai jenis mata uang, yang bersifat searah. Diperlakukan sebagai jasa yang dicatat dalam suatu neraca yang disebut Pendapatan Sekunder (Secondary Income).
Mencakup semua transfer, baik yang masuk ataupun keluar yang tidak termasuk dalam transfer modal dan finansial. Jenisnya yang umum dikenal oleh publik adalah remitansi tenaga kerja. Baik yang dikirim oleh tenaga kerja Indonesia ke Indonesia, atau sebaliknya oleh tenaga kerja asing ke negara asalnya.
Pada tahun 2023, neraca pendapatan sekunder tercatat mengalami surplus sebesar US$5,37 miliar. Penerimaan dari pihak luar negeri mencapai US$15,26 miliar. Sedangkan pembayaran ke pihak luar negeri sebesar US$9,89 miliar.
Sebagaimana dikatakan di atas, Transaksi Berjalan merupakan neraca gabungan dari 4 neraca tadi. Total penerimaan Transaksi Berjalan selama setahun atau pada 2023 mencapai US$316,01 miliar. Sedangkan total pembayaran sebesar US$317,58 miliar. Dialami defisit sebesar US$1,57 miliar.
International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan terjadinya peningkatan defisit Transaksi Berjalan Indonesia beberapa tahun ke depan. Diproyeksikan sebagai berikut US$13,16 miliar (2025), US$20,52 miliar (2026), US$23,07 miliar, US$23,60 miliar (2027), US$25,52 miliar, dan US$29,25 miliar.
Dengan kata lain, nilai nominal defisitnya akan kembali ke besaran pra-pandemi. Namun, secara rasio atas PDB hanya akan di kisaran 1,30% dari PDB.
Bagaimanapun, kondisi defisit ini bersifat menekan kemungkinan penguatan rupiah dalam jangka menengah dan panjang.
6 Transaksi Finansial
Kelompok kedua dari neraca pembayaran merupakan transaksi yang berdampak pada hak dan kewajiban di waktu mendatang, disebut sebagai Transaksi Finansial. Baik yang bersifat utang piutang ataupun bersifat investasi. Sebagai contoh hak dan kewajiban itu berupa pengembalian pokok utang, pembayaran bunga utang, pembayaran keuntungan, dan hal lain yang serupa.
Nilai bersih dari transaksi finansial selama ini hampir selalu bersifat arus masuk bersih. Lebih banyak modal finansial yang masuk dibandingkan yang keluar. Nilai surplusnya menurun signifikan pada tahun 2020 dan 2021, dan kemudian mengalami defisit sebesar US$9,16 miliar pada tahun 2022.
Transaksi finansial selama setahun pada tahun 2023 kembali mencatatkan surplus atau arus masuk bersih sebesar US$8,70 miliar. Meski demikian, nilai surplus ini belum terbilang besar dibanding pada tahun-tahun lampau.
Nilai bersih dari transaksi finansial selama ini hampir selalu bersifat arus masuk bersih. Lebih banyak modal finansial yang masuk dibandingkan yang keluar. Nilai surplus nya menurun signifikan pada tahun 2020 dan 2021.
Untuk pertama kalinya selama belasan tahun, transaksi finansial mengalami defisit sebesar US$9,16 miliar pada tahun 2022. Penyebab utama adalah besarnya arus modal penduduk yang keluar, yang mencapai US$26,23 miliar.
Salah satu yang perlu diingat dan dicermati adalah adanya dua pihak yang dicatat dalam neraca ini. Secara kecenderungan, arus modal finansial pihak asing bersifat masuk, dan milik penduduk bersifat keluar.
Sempat terjadi arus milik penduduk mencatatkan nilai arus masuk bersih. Yaitu sebesar US$15,92 miliar pada tahun 2016. Pada saat bersamaan, arus masuk bersih milik asing mengalami penurunan signifikan. Bisa dikatakan modal penduduk Indonesia yang “pulang kampung” itu membuat transaksi finansial masih surplus.
Berbagai analisis mengaitkan kondisi yang jarang terjadi tersebut dengan adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) yang dimulai pertengahan tahun 2016. Pemerintah antara lain memberi berbagai insentif, termasuk penghapusan kewajiban membayar pajak pada tahun-tahun sebelumnya, jika dilaporkan ulang tentang aset wajib pajak. Ditambah insentif jika aset tersebut dibawa masuk ke Indonesia.
Perkembangan transaksi finansial selama belasan tahun terakhir dan fenomena tahun 2016 tadi memberi suatu pesan penting. Bahwa, kecenderungan nilai bersih arus masuk selama ini tidak hanya ditentukan oleh masuk dan keluarnya modal finansial asing, melainkan juga oleh perilaku penduduk Indonesia dalam berinvestasi ke luar negeri.
Dengan demikian, kondisi transaksi finansial terindikasi tidak cukup baik untuk menjadi fundamental penguatan rupiah dalam jangka menengah dan panjang.
7 Posisi Investasi Internasional Indonesia
Terdapat arus masuk dan keluar devisa dalam hal transaksi finansial Indonesia selama setahun, yang cenderung mengalami arus masuk bersih. Selama belasan tahun terakhir, hanya pernah bersifat neto keluar pada tahun 2008 dan 2022.
Arus masuk dan keluar bersih yang berlangsung tersebut terakumulasi dari tahun ke tahun. Bank Indonesia menyajikan data posisi modal finansial milik asing (kewajiban) yang ada di Indonesia pada tanggal tertentu, biasanya pada tiap akhir triwulan. Begitu juga dengan data milik penduduk Indonesia (aset) yang berada di luar negeri.
Selain karena akumulasi transaksi finansial, terdapat beberapa faktor lainnya yang memengaruhi catatan yang disebut sebagai Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII). Di antaranya adalah perubahan kurs antar-mata uang, harga surat berharga, revaluasi aset, dan hal-hal serupa itu.
PIII mencatat posisi modal finansial milik asing yang ada di Indonesia yang disebut Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN). Posisi KFLN sebesar US$744,86 miliar per akhir tahun 2023. Posisi itu merupakan yang tertinggi selama dua dekade ini.
Jika dilihat hanya pada era Jokowi, terjadi penambahan dari sebesar US$158,98 miliar, dari posisi sebesar US$585,88 miliar pada akhir 2014. Akan tetapi laju penambahannya masih lebih lambat dibanding era SBY, yang bertambah sebesar US$412,64 miliar dari posisi per akhir 2004 yang sebesar US$173,24 miliar.
Data PIII antara lain disajikan menurut jenis atau komponennya, seperti investasi langsung, investasi portofolio dan investasi lainnya. Pada masing-masing jenis disajikan posisi dari milik penduduk Indonesia (aset) dan milik pihak asing (kewajiban).
Posisi investasi langsung kewajiban per akhir tahun 2023 sebesar US$297,90 miliar. Artinya modal asing berjenis investasi langsung yang ada di Indonesia senilai itu. Jenis investasi langsung biasanya dilakukan oleh penduduk suatu negara pada suatu perusahaan di negara lain untuk kepentingan jangka panjang. Jenis ini terkait dengan kepemilikan ataupun pengelolaan perusahaan.
Posisi investasi portofolio kewajiban per akhir tahun 2023 sebesar US$275,21 miliar. Jenis Investasi portofolio pada umumnya bertujuan jangka pendek. Investasi ini berbentuk surat berharga seperti saham dan surat utang, swasta atau negara, yang diterbitkan dan diperdagangkan di pasar finansial terorganisasi.
Posisi investasi lainnya kewajiban per akhir tahun 2023 sebesar US$171,10 miliar. Jenis investasi lainnya merupakan jenis investasi selain investasi langsung dan portofolio. Bentuk investasinya antara lain: simpanan dan pinjaman di perbankan dan Lembaga keuangan, utang piutang dagang, surat berharga jangka pendek yang tidak melalui pasar modal, dan lain-lainnya.
Jenis investasi portofolio dan investasi lainnya secara teoritis dan teknis mudah dan bisa berlangsung cepat untuk masuk dan keluar. Sedangkan jenis investasi lainnya akan lebih tidak mudah dan perlu waktu lama.
Dengan demikian, potensi arus modal asing yang bisa keluar dalam waktu singkat atau sekurangnya beberapa bulan cukup besar. Tentu tidak seluruh jenis investasi portofolio dan investasi lainnya yang bisa demikian, namun sebagian cukup besarnya secara teoritis dimungkinkan.
8 Faktor Inflasi dan Suku Bunga
Inflasi global diprakirakan oleh International Monetary Fund (IMF) akan menurun. Dari 6,8% pada tahun 2023 menjadi 5,9% pada tahun 2024 dan 4,5% pada tahun 2025. Dengan catatan, negara-negara maju kembali ke target inflasi mereka lebih cepat dibandingkan negara-negara emerging market dan berkembang.
Dikatakan pula bahwa inflasi inti secara umum diperkirakan akan menurun secara bertahap. Hal ini cukup menggembirakan, karena bank sentral sejauh ini cenderung menaikkan suku bunga untuk memulihkan stabilitas harga. IMF menilai salah satu sebabnya adalah perubahan di pasar hipotek dan perumahan selama dekade sebelum pandemi dengan suku bunga rendah, yang bisa memoderasi dampak jangka pendek dari kenaikan suku bunga kebijakan.
Lazimnya hubungan antara inflasi dengan suku bunga berjalan seiring. Namun karena berbagai faktor, meski dilaporkan inflasi sudah relatif turun dan terkendali, suku bunga belum menurun di Amerika dan negara-negara industri maju. Rencana penurunan suku bunga oleh the Fed pada semester dua tahun ini pun terancam tertunda.
Inflasi di Indonesia pada tahun 2023 hanya sebesar 2,61%. Tingkat inflasi yang terkendali dan relatif rendah di kisaran 3% memang dialami sejak tahun 2015. Hanya sempat mencapai 5,51% pada tahun 2022. Bahkan proyeksi IMF terkini pun masih menyebut kisaran 2,5% dari tahun 2024 hingga tahun 2029.
Namun selama tiga bulan berjalan tahun 2024 ternyata inflasi perlahan meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Inflasi tahunan pada Maret 2024 telah mencapai 3,05%.
Sebagai tambahan indikator yang perlu dicermati terkait hal ini adalah perkembangan yield Surat Berharga Negara (SBN). Ada kecenderungan meningkat selama tahun 2024. Yield SBN tenor 10 tahun telah melonjak hampir ke level 7%.
Dari faktor fundamental inflasi dan suku bunga ini, kemungkinan penguatan rupiah akan sulit terjadi. Meskipun belum ada indikasi akan membuat pelemahan berlanjut secara signifikan selama beberapa pekan atau bulan mendatang.
9 Kebijakan BI dan Faktor Spekulasi
Bank Indonesia sebagai salah satu otoritas ekonomi menilai ekonomi Indonesia termasuk salah satu negara emerging market yang kuat dalam menghadapi dampak rambatan global hingga saat ini. Hal ini diklaim karena ditopang oleh kebijakan moneter dan fiskal yang pruden dan terkoordinasi erat. Salah satunya komitmen kuat Bank Indonesia untuk stabilisasi nilai tukar sebagai bagian memperkuat ketahahan eksternal.
Gubernur Bank Indonesia dalam Sidang IMF World Bank 18 April 2024 lalu menegaskan akan terus memastikan stabilitas rupiah tetap terjaga. Antara lain dengan intervensi valuta asing dan langkah-langkah lain yang diperlukan. Ditambahkan akan mengelola aliran portofolio asing yang ramah pasar, termasuk operası moneter yang “pro-market” dan terintegrasi dengan pendalaman pasar uang.
Kenyataannya, berdasarkan data transaksi 16–18 April 2024, nonresiden di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp21,46 triliun. Terdiri dari jual neto Rp9,79 triliun di pasar SBN, jual neto Rp3,67 triliun di pasar saham, dan jual neto Rp8,00 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Dengan demikian, sepanjang tahun 2024 berdasarkan data setelmen sampai dengan 18 April 2024, nonresiden jual neto Rp38,66 triliun di pasar SBN. Meski masih tercatat beli neto Rp15,12 triliun di pasar saham dan beli neto Rp12,90 triliun di SRBI.
Dalam hal kepemilikan SBN domestik oleh asing ini memang cenderung menurun selama tahun 2020–2022. Sempat perlahan sedikit meningkat pada tahun 2023, namun kembali menurun selama tahun 2024 yang sedang berjalan. Posisinya sebesar Rp810 triliun pada akhir Maret 2024.
Oleh karena Pemerintah menerbitkan SBN rupiah secara besar-besaran selama era pademi, maka porsi kepemilikan asing terus mengalami penurunan signifikan. Dari 38,57% pada akhir 2019 menjadi 25,16% pada akhir 2020. Dan hanya mencapai 14,20% per akhir Maret 2024.
Dinamika lain yang patut dicermati dalam hal kepemilikan asing atas SBN Rupiah adalah yang terkait komposisinya berdasar waktu jatuh tempo atau tenor. Pihak asing cenderung mengurangi porsi yang bertenor jangka panjang, dan menambah yang berjangka pendek dan menengah.
Porsi bertenor 10 tahun masih sebesar 33,38% dari total SBN yang dimiliki per Maret 2020. Porsinya hanya sebesar 18,38% per akhir Maret 2024.
Dari keseluruhan uraian di atas, pelemahan rupiah kemungkinan masih bisa ditahan lajunya dengan berbagai kebijakan moneter Bank Indonesia. Namun, diprakirakan nilai tukar rupiah akan mencapai keseimbangan baru, sulit untuk kembali di bawah Rp16.000.
Patut pula diwaspadai faktor spekulasi yang dapat menjadi ancaman serius. Secara teoritis dan teknis memang terdapat modal asing di Indonesia dalam jenis dan bentuk yang cukup mobile. Ditambah dengan modal milik penduduk yang bisa saja meningkat arus keluarnya jika persepsi risiko meningkat atau dengan niat spekulasi.
10 Komentar Ekonom
Yanuar Rizky, ekonom senior berpandangan bahwa nilai tukar rupiah saat ini terutama ditentukan oleh transaksi ekspor-impor barang jasa serta dinamika pasar keuangan. Menurutnya karena secara keseluruhan, Indonesia dalam posisi net importir barang konsumsi, maka secara alamiah kebutuhan (demand) dolar Amerika sebagai Ruling Currency perdagangan antar-negara di sistem Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) memang besar.
Sebagai informasi, SWIFT sendiri merupakan organisasi yang didirikan di Brussel pada tahun 1973 untuk menetapkan beberapa proses dan standar umum untuk transaksi keuangan. SWIFT menyediakan jaringan aman yang memungkinkan lebih dari 10.000 lembaga keuangan di 212 negara berbeda saling mengirim dan menerima informasi tentang transaksi keuangan.
Faktor lain menurut Yanuar berpengaruh secara teknikal pasar keuangan adalah selisih yield obligasi pemerintah antarnegara di pasar keuangan. Pada sisi ini, kupon Surat Utang Negara (SUN) Indonesia saat diterbitkan terkoreksi hingga memiliki yield rata-rata di kisaran 6,7%. Ketika fed rate memicu yield US Treasury ke kisaran 4,5–5%, tidak perlu banyak koreksi lagi. Oleh karenanya, dibanding negara lain yang kuponnya diterbitkan rendah, tekanan arus modal keluar dari Indonesia tidak signifikan.
Ditambahkan oleh Yanuar bahwa kondisi saat ini terkait perang Iran dan Israel menimbulkan persepsi kenaikan inflasi energi, terutama naiknya harga minyak. Hal ini menjadi faktor utama mendorong ekpektasi tingkat bunga global (yield) untuk terus naik. Pada gilirannya menguatkan nilai tukar dolar terhadap seluruh mata uang, termasuk rupiah.
Ketika ditanya redaksi barisandata.co tentang apakah pelemahan rupiah masih akan berlanjut, Yanuar menjawabnya masih. Beberapa alasan dikemukakannya. Antara lain, posisi rupiah atas dolar volatilitas tahunan hanya sekitar 6%, namun bunga kupon penerbitan SUN masih selalu di atas 6%.
Dikatakannya bahwa sejak krisis tahun 2008, volatilitas tahunan bisa di-maintain kisaran 6%, sehingga inflasi tahunan juga bisa dikendalikan sekitar 3–5%. Akan tetapi, batas bawah volatilitas rupiah terus meningkat, dari kisaran Rp10 ribu pada tahun 2008 menjadi kisaran Rp16 ribu pada saat ini. Meski inflasi cukup terkendali, tetapi sebenarnya harga barang secara akumulasi selama beberapa tahun meningkat cukup tinggi.
Yanuar berpandangan akan terjadi koreksi rupiah lagi menuju keseimbangan baru. Batas bawahnya kemungkinan sekitar Rp16.000 dengan volatilitas ke Rp16.500. Diingatkan bahwa fakta sebenarnya rupiah telah melemah sekitar 6.000 poin atau 60 persen dari tahun 2008.
Menjawab pertanyaan redaksi tentang kemungkinan terjadinya kembali krisis 1998, Yanuar melihat kondisi kini jauh lebih kompleks. Bahkan, tidak tertutup isu geopolitik mengakibatkan doomsday scenario yang bisa menyulut krisis, yang juga lebih kompleks.
Diingatkan dari sisi politik dalam negeri, isu tata kelola konflik kepentingan seperti era Orde Baru dan dominasi oligarki makin mengemuka. Termasuk wapres terpilih yang memiliki beban problematik konstitusi.
Dari sisi perbankan, Yanuar menilai kecukupan modal (CAR) tahun 1998 rontok oleh kredit sindikasi oligarki ke perbankan luar negeri atau belanja barang modal berdenominasi dolar. Sedangkan saat ini CAR perbankan lebih ditentukan oleh harga SUN.
Harga SUN akan turun, jika yield naik. Sementara itu, Bank Sentral Jepang akan menaikan suku bunga menjadi positif, dari suku bunga negatif yang telah berlaku selama 17 tahun. Hal ini akan menjadi ancaman serius berupa efek berantai naiknya yield surat utang asia, termasuk China Treasury. Selanjutnya akan membuat yield SUN akan terkoreksi dibanding dampak Fed rate (US Treasury).
Yanuar menilai bunga kupon (yield) SUN yang tinggi telah menjadi pagar pengaman Indonesia menjadi negara paling minimal sampai hari ini dampaknya dari upaya normalisasi fed rate. Dampaknya harga atau nilai tukar rupiah makin murah. Cenderung terus terkoreksi ke kurs batas bawah yang cukup tinggi.
Diingatkannya bahwa yield SUN yang terus naik dan harga SUN yang terus turun memang merupakan mitigasi risiko moneter yang harus ditempuh. Hal itu harus disertai dengan efektivitas belanja fiskal sebagai instrumen perbaikan struktural ekonomi. Salah satu agenda mendesak dalam hal ini adalah reforma agraria, dalam arti politik ekonomi negara kembali ke pembenahan tanah, air, dan daya kerja pertanian sebagai basis ekonomi pedesaan dan UKM.
Sementara itu, Awalil Rizky ekonom senior Bright Institute menilai beberapa faktor fundamental terkait nilai tukar rupiah memang mengakibatkan pelemahan rupiah terjadi belakangan ini. Faktor neraca pembayaran telah memperlihatkan arus bersih masuk devisa selama enam tahun terakhir cenderung lebih rendah dibanding sebelumnya.
Dijelaskannya tentang komponen neraca pembayaran berupa Transaksi Berjalan yang kembali defisit pada tahun 2023 atau mengakibatkan devisa berkurang. Sedangkan komponen Transaksi Finansial memang masih mencatatkan arus masuk, namun nilainya lebih sedikit dibanding tahun-tahun lalu.
“Bagaimanapun, jika berdasar faktor fundamental seperti neraca pembayaran dan pertumbuhan ekonomi, maka kemungkinan pelemahan rupiah hanya berlangsung perlahan. Prosesnya menuju keseimbangan baru di kisaran Rp16.500,” kata Awalil.
Namun, Awalil mengingatkan bahwa yang sangat perlu diwaspadai adalah faktor spekulasi. Spekulasi ditentukan oleh persepsi risiko yang bersumber pada kondisi global dan dalam negeri. Menurutnya, modal memang akan menimbang lebih cermat atas keamanan dan keuntungan dalam kondisi yang diwarnai ketidakpastian seperti saat ini.
Dijelaskan bahwa tersedia modal asing di Indonesia yang bisa keluar secara relatif mudah dan cepat. Dicontohkan nilai modal asing berupa investasi portofolio senilai US$275,21 miliar dan investasi lainnya senilai US$171,10 miliar per akhir tahun 2023.
Ditambahkan dengan modal penduduk Indonesia yang akan ikut keluar jika modal asing melakukan. Selama ini memang sudah terjadi kecenderungan meningkat arus keluarnya.
“Jika terjadi arus keluar modal neto mencapai US$30 miliar selama satu bulan, maka nilai tukar rupiah bisa saja melemah hingga Rp20.000,” kata Awalil. Kembali ditegaskannya bahwa faktor yang bisa mendorong hal itu adalah spekulasi. []