Terdapat kewajiban atau utang yang sengaja disembunyikan dalam narasi-narasi pemerintah.
POSISI utang pemerintah pusat dilaporkan oleh Kementerian Keuangan melalui publikasi APBN Kita tiap bulan. Pada edisi Juni 2024 disebut mencapai Rp8.353 triliun per 31 Mei 2024. Posisi utang versi ini merupakan pernyataan resmi yang selalu dikutip berbagai media atau perbincangan publik.
APBN Kita merupakan dokumen tentang realisasi sementara Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tiap bulan. Dilaporkan kepada publik kondisi realisasi tahun berjalan hingga akhir bulan dari kondisi sebulan sebelumnya. Informasi tentang posisi utang termasuk yang disajikan oleh dokumen.
Rasio utang pemerintah atas Produk Domestik Bruto (PDB) per 31 Mei 2024 disebut sebesar 38,71%. Perhitungan PDB nya masih estimasi yang disetahunkan karena tahun realisasi masih berjalan. Dengan rasio tersebut, PDB dianggap sebesar Rp21.578,46 triliun.
Besaran rasio utang atas PDB hampir selalu menjadi argumen pemerintah atas keamanan kondisi utangnya. Dikatakan rasionya masih jauh di bawah batas yang diperbolehkan oleh undang-undang tentang keuangan negara, yang mematok batas atas rasio sebesar 60%. Namun tampak bahwa pada masa periode pertama Jokowi sering dikemukakan pemerintah berupa menjaga rasio di bawah 30%.
Informasi posisi utang tersebut mendefinisikan utang pemerintah hanya terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman saja. SBN terdiri dari SBN domestik dan SBN valuta asing, termasuk SBN Syariah. Sedangkan pinjaman terdiri dari dalam negeri dan luar negeri.
Sebenarnya ada data lain tentang posisi utang pemerintah pusat, yaitu nilai kewajiban pada neraca dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Nilainya per 31 Desember 2023 sebesar Rp9.537 triliun, atau lebih banyak dari data APBN Kita saat itu yang sebesar Rp8.145 triliun. Definisi kewajiban memang lebih luas atau mencakup pengertian yang pertama.
LKPP 2023 juga menyebut adanya kewajiban atau utang yang tidak tercakup dalam kedua pengertian tadi. Yaitu kewajiban jangka panjang program pensiun yang nilainya sebesar Rp3.120,69 triliun per 31 Desember 2023. Jika ditambahkan, maka posisi utang atau kewajiban pemerintah pusat pada akhir tahun 2023 mencapai Rp12.658 triliun.
1 Utang Pemerintah Versi Publikasi Resmi
Posisi utang pemerintah pusat mencapai Rp8.353,02 triliun per 31 Mei 2024, sebagaimana dilsajikan oleh APBN Kita edisi Juni 2024. Terdiri dari SBN sebesar Rp7.347,50 triliun dan pinjaman sebesar Rp1.005,52 triliun.
SBN berdenominasi rupah (domestik) sebesar Rp5.904,62 triliun dan berdenominasi valuta asing sebesar Rp1.442,85 triliun. Dilihat dari jenisnya, berupa Surat Utang Negara sebesar Rp5.791,79 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara sebesar Rp1.546,70 triliun.
Pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp36,42 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp969,10 triliun. Pinjaman luar negeri antara lain: Bilateral (Rp265,83 triliun), Multirateral (Rp584,65 triliun), dan Commercial Banks (Rp118,62 triliun).
Posisi akhir Mei 2024 telah bertambah dibanding posisi 31 Desember 2023 yang masih sebesar Rp8.145 triliun, sebagaimana dilaporkan APBN Kita edisi Januari 2024. Terjadi penambahan dalam utang berbentuk SBN maupun pinjaman. Juga dalam jenis Surat Utang Negara dan Surat Berharga Negara Syariah.
Perkembangan data utang pemerintah memperlihatkan bahwa tambahan utang selama 8 tahun (1996–2004) sebesar Rp1.173 triliun. Dari posisi sebesar Rp129 triliun per akhir 1996 menjadi Rp1300 triliun per akhir 2004. Jika dicermati 5 tahun awal pemerintahan era reformasi (1999–2004), maka bertambah Rp360 triliun, atau meningkat 38,30% selama 5 tahun.
Tambahan utang selama 10 tahun era Pemerintahan SBY sebesar Rp1.309 triliun, dari Rp1.300 triliun per akhir 2004 menjadi Rp2.609 triliun per akhir 2014. Meningkat sekitar 2 kali lipat. Jika dirinci, periode pertama meningkat sebesar 22,41%, dan periode kedua sebesar 64,01%.
Dengan prakiraan posisi utang mencapai Rp8.850 triliun pada akhir 2024, maka tambahan utang selama 10 era Pemerintahan Jokowi mencapai Rp6.241 triliun. Meningkat sekitar 3,5 kali lipat. Jika dirinci, periode pertama meningkat 83,20%, dan periode kedua sebesar 85,17%.
Bentuk utang yang mengalami peningkatan paling pesat pada era Jokowi adalah SBN. Peningkatan mencapai sekitar 4 kali lipat. Sedangkan yang berbentuk pinjaman hanya sekitar 1,5 kali lipat.
2 Utang dalam Neraca Keuangan Pemerintah
Merujuk pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2023 yang dipublikasi Juni 2024, ada istilah kewajiban dalam neraca. Neraca merupakan laporan yang menggambarkan posisi keuangan pemerintah pusat mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada akhir tahun.
Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. Dalam konteks pemerintahan, kewajiban bersumber antara lain dari penggunaan sumber pembiayaan pinjaman dari masyarakat, lembaga keuangan, entitas pemerintahan lain, atau lembaga internasional. Kewajiban pemerintah juga terjadi karena perikatan dengan pegawai atau pihak lain yang bekerja pada pemerintah.
Nilai kewajiban dalam Neraca per 31 Desember 2023 pada LKPP sebesar Rp9.536,68 triliun. Terdiri dari kewajiban jangka pendek sebesar Rp1.092,25 triliun dan kewajiban jangka panjang sebesar Rp8.447,39 triliun.
Kewajiban jangka pendek antara lain meliputi: Utang Perhitungan Pihak Ketiga sebesar Rp4,54 triliun, Utang kepada Pihak Ketiga sebesar Rp112,69 triliun, Utang Subsidi sebesar Rp25,21 triliun, Utang Transfer sebesar Rp52,19 triliun, Bagian Lancar Utang Jangka Panjang sebesar Rp638,95 triliun, dan lain sebagainya.
Kewajiban jangka panjang terdiri dari: Utang Jangka Panjang Dalam Negeri sebesar Rp6.972,08 triliun, Utang Jangka Panjang Luar Negeri sebesar Rp886,31 triliun, dan Kewajiban Konsesi Jasa sebesar Rp589,00 triliun.
Jika dibandingan antara posisi utang pemerintah publikasi resmi dengan posisi kewajiban dalam LKPP, maka tampak versi yang kedua selalu lebih besar. Pengertian atau definisi kedua memang mencakup yang pertama. Oleh karena ada beberapa istilah yang dipakai, diperlukan kecermatan untuk memastikan yang termasuk dalam definisi pertama dan kedua.
Perbandingan antara keduanya per 31 Desember beberapa tahun terakhir adalah sebagai berikut: Rp8.144,69 triliun dengan Rp9.536,68 triliun (2023), Rp7.733,99 triliun dengan Rp8920,56 triliun (2022), Rp6,911,30 triliun dengan Rp7.538,32 triliun (2021), Rp6.085,07 triliun dengan Rp6.625,47 triliun (2020).
3 Kewajiban Jangka Panjang Program Pensiun
Terdapat kewajiban atau utang yang tidak tercakup dalam kedua pengertian tadi, yaitu kewajiban jangka panjang program pensiun yang per 31 Desember 2023 sebesar Rp3.120,69 triliun. Nilai itu merupakan perhitungan pemerintah sendiri dengan Metode dan Asumsi Perhitungan Kewajiban Manfaat Polis Masa Depan Program Tunjangan Hari Tua tahun 2023.
Nilai kewajiban jangka panjang program pensiun per 31 Desember 2023 tersebut sesuai dengan Nota Dinas Direktur Jenderal Anggaran nomor ND-234/AG/2024 hal Penyampaian Hasil Perhitungan Aktuaris mengenai Kewajiban Jangka Panjang Program Pensiun Pemerintah Tahun 2023.
Terdapat dua macam rincian atas nilai kewajiban tersebut. Pengklasifikasian pertama adalah: Kewajiban terhadap pegawai pemerintah pusat sebesar Rp1.202,94 triliun, dan Kewajiban terhadap pegawai pemerintah daerah sebesar Rp1.917,75 triliun.
Pengklasifikasian lainnya adalah: Kewajiban terhadap pegawai aktif sebesar Rp1.279,36 triliun, dan Kewajiban terhadap pensiunan sebesar Rp1.841,34 triliun.
Perhitungan kewajiban tersebut disebut berdasar surat Menteri Keuangan Nomor S-013/MK.02/2023 tanggal 8 Desember 2023 tentang Penyampaian Revisi Persetujuan Metode dan Asumsi Perhitungan Kewajiban Manfaat Polis Masa Depan (KMPMD) Program THT Tahun 2023.
Metode dan asumsi yang digunakan dalam perhitungan KMPMD Program THT antara lain disebut sebagai berikut: Metode Asumsi (GPV); Based on data (31 januari 2023); Bunga Aktuaria (7,50%); Kenaikan gaji (sesuai hasil studi perusahaan); Selisih usia pasangan (data aktual); Selisih usia dengan anak (data aktual); Batas usia (data aktual); Laju kematian (TNA 2016); Inflasi (data aktual).
Pengakuan atas kewajiban jangka panjang program pensiun baru dimulai sejak tahun 2019. Itupun belum sebagai kewajiban dalam neraca LKPP. Melainkan hanya sebagai bagian dalam “kotak” atas beberapa aspek yang dipandang penting dikemukakan pada Catatan atas Laporan Keuangan.
Sebenarnya bisa saja pengertian posisi utang pemerintah pusat diartikan mencakup kewajiban jangka panjang program pensiun. Berarti nilainya adalah kewajiban dalam neraca per 31 Desember 2023 (Rp9.536,68 triliun) ditambah dengan kewajiban program pensiun ( Rp3.120,69 triliun), atau totalnya mencapai Rp12.657,37 triliun.
4 Risiko Utang BUMN
Untuk keperluan asesmen dapat saja ditambahkan pengertian utang atau kewajiban yang lebih luas, yang mencakup kewajiban Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Lainnya. Meski merupakan kekayaan negara yang telah dipisahkan, pemerintah hampir selalu ikut membantu jika terjadi masalah keuangan yang serius.
Bentuk utama bantuan tersebut antara lain berupa tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) atau investasi lainnya, serta kadang berupa pinjaman. Sebagian besar karena alasan strategis, seperti yang sempat terjadi pada Garuda Indonesia dan Taspen. Dan untuk kondisi terkini hingga beberapa tahun ke depan, kemungkinan akan membantu Waskita Karya, Adhi Karya, dan Hutama Karya.
LKPP telah memasukkan nilai investasi pada BUMN sebagai bagian nilai aset dalam neraca. Termasuk aset investasi jang panjang. Besaran itu berasal dari nilai ekuitas BUMN yang secara proporsional dimiliki oleh negara.
Oleh karena yang disajikan adalah nilai ekuitas, data aset investasi pada BUMN sudah menghitung nilai kewajiban atau utangnya. Dengan demikian, tidak benar juga jika menambahkan utang BUMN secara langsung pada utang pemerintah versi resmi ataupun versi kewajiban LKPP.
Sebenarnya tetap dibutuhkan informasi memadai disajikan oleh pemerintah mengingat ada risiko fiskal yang hampir selalu ditanggung oleh pemerintah. Bisa saja dijelaskan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) saja. Sejauh ini, utang BUMN tidak disajikan atau dijelaskan, dan data pun hanya ada dalam lampiran LKPP tentang neraca BUMN.
LKPP 2023 menyajikan kewajiban BUMN dalam bagian lampiran 16 dan 17. Total kewajiban BUMN di bawah pembinaan Kementerian BUMN sebesar Rp8137,67 triliun dan di bawah pembinaan Kementerian Keuangan sebesar Rp104,32 triliun. Total keduanya mencapai Rp8.241,99 triliun.
5 Perbandingan Rasio Utang Berbagai Definisi
Dengan demikian, sekurangnya terdapat tiga pengertian terkait utang atau kewajiban pemerintah pusat. Ketiga pengertian itu diakui sendiri oleh pemerintah dalam dokumen resminya, terutama dalam LKPP. Hanya saja, pengertian atau definisi yang terus menerus dikemukakan adalah versi dokumen APBN Kita, yang hanya mencakup utang berbetuk SBN dan pinjaman.
Nilainya masing-masing per 31 Desember 2023 adalah sebagai berikut: Utang Pemerintah definisi yang sering dikemukakan (Rp8.144,69 triliun), Kewajiban Pemerintah Pusat dalam LKPP (Rp9.536,68 triliun), dan Kewajiban termasuk Kewajiban Jangka Panjang Program Pensiun (Rp12.657,37 triliun).
Pemerintah sering menyajikan rasio utangnya dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun yang bersangkutan. Oleh karena PDB atas dasar harga berlaku tahun 2023 sebesar Rp20.892,38 triliun, maka rasio disebut sebesar 38,98%. Besaran rasio ini kerap menjadi argumen masih amannya utang, karena masih jauh di bawah 60% sebagai batas yang diperbolehkan undang-undang.
Jika memakai dua definisi lain tentang utang pemerintah di atas, maka terdapat besaran rasio yang berbeda. Yaitu: rasio Kewajiban Pemerintah Pusat dalam LKPP atas PDB sebesar 45,65%, serta rasio Kewajiban termasuk Kewajiban Jangka Panjang Program Pensiun atas PDB sebesar 60,58%.
Dengan kata lain, rasio utang pemerintah atas PDB menggunakan definisi ketiga sudah melampaui batas yang 60%. Jika untuk keperluan kehati-hatian menimbang utang BUMN yang sebesar Rp8.242 triliun, sehingga total utang menjadi Rp20.899 triliun, maka rasionya telah mencapai 100%..
6 Komentar Ekonom
Yanuar Rizky, ekonom senior, mengatakan kepada redaksi bahwa pengertian kewajiban dalam neraca LKPP sama dengan utang. Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) no. 9 tentang akuntansi menyebut kewajiban pemerintah adalah seluruh pinjaman dan komitmen pihak ketiga yang diberikan kepada pemerintah. Per definisi, kewajiban itu sudah berada di kas pemerintah saat ini, dan akan dibayar pada masa mendatang
Dijelaskannya bahwa utang akan diakui, diukur, dan dicatat ketika uang nominal tunai telah diberikan pihak ketiga ke dalam kas negara. Atas dasar itu maka kontijensi atas utang yang akan timbul dari komitmen beban biaya pemerintah kepada pihak ketiga di masa depan tidak dicatat di laporan keuangan.
Yanuar Rizky mengakui untuk pencatatan saat ini sesuai PSAP 09 yang berlaku, kewajiban jangka panjang program pensiun memang tidak disajikan pada neraca LKPP. Hal itu karena prinsip biaya yang akan dikeluakan dan pendapatan yang akan diterima di masa depan tidak diakui di pencatatan pemerintah.
Dijelaskan lebih lanjut, kewajiban biaya yang akan dikeluarkan harus disajikan di laporan kontijensi catatan laporan keuangan. Mestinya disertai dampak dan mitigasi pada struktur utang pemerintah di masa depan. Idealnya, ada laporan kontijensi yang membuat struktur utang disertai biaya yang harus dibayarkan, sehingga risiko fiskal tetap bisa diukur dan ada keterbukaan datanya.
Yanuar mengatakan bisa saja di masa mendatang, PSAP diubah menjadi sepenuhnya akrual. Dengan demikian, kewajiban program pensiun bisa dicatat dalam neraca. Diakui pendapatan mendatang pada sisi aktiva dan biaya pada sisi pasiva.
Dalam hal utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dikaitkan dengan LKPP, Yanuar berpandangan pemerintah harus membuat laporan kontijensi utang BUMN yang berpengaruh ke postur fiskal pemerintah. Perlu estimasi dampak utangnya pada penurunan modal pemerintah, agar sisi investasi jangka panjang dalam aset memperoleh gambaran risiko penambahan PMN terinformasi sebelum terjadi.
Dicontohkan waiver yang diberikan sebagai jaminan BUMN memperoleh utang. Ditegaskannya, harus ada daftar tentang hal tersebut dalam catatan atas laporan keuangan.
Diingatkan lagi bahwa informasi tentang utang pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara merupakan hal yang sangat penting. Keberlanjutan fiskal masa mendatang mesti terkalkukasi dengan baik.
Secara keseluruhan, Yanuar Rizky menyarankan reformasi berkelanjutan dalam SAP. Arahnya, LKPP bertransfromasi menjadi laporan konsolidasi ekonomi negara, bukan semata pemerintah pusat dalam arti sempit.
Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute mengatakan bahwa definisi utang berupa data kewajiban dalam neraca LKPP sebenarnya lazim dipakai dalam perbincangan internasional. Definisi itu terdapat dalam laman Bank Dunia tentang indikator ekonomi yang memuat data banyak negara. Data posisi utang pemerintah pusat yang disajikan sesuai dengan data Kewajiban LKPP, bukan yang biasa dikemukakan pemeritah.
Begitu pula dengan rasio utang pemerintah pusat atas PDB yang disajikannya. Laman Bank Dunia memang belum memutakhirkan datanya, hingga yang tersaji masih sampai dengan tahun 2022, yang rasio utang pemerintah Indonesia tampak sebesar 45,30%.
“Sesuai data LKPP dan PDB tahun 2023, maka rasionya nanti pada laman Bank Dunia akan mencapai 45,65%. Sebagai perbandingan, publikasi resmi pemerintah pada akhir tahun 2023 mengaku rasionya hanya sebesar 38,98%,” kata Awalil.
Awalil juga menyoroti kebiasaan pemerintah yang mengklaim rasio utangnya masih dalam batas aman, karena masih di bawah 60% seperti yang dipatok oleh Undang-Undang. Menurutnya, Pasal 12 ayat 3 UU No.17/2003 hanya menyebut bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Kemudian dalam penjelasan dikatan bahwa defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari PDB, sedangkan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB.
“Tidak ada kata atau kalimat soal amannya dengan besaran rasio itu. Penekanannya adalah batas yang tidak boleh dilampaui. Berdasar pengalaman, rasio utang hanya sebesar 24,22% pada tahun 1996 dan sebesar 37,92% pada tahun 1997. Melampaui 60% justeru setelah terjadi krisis, yaitu 61,74% pada tahun 1998,” tegas Awalil. [adj]