Pemerintahan Prabowo diprediksi bakal membuka masa pemerintahan tahun pertama dengan defisit mencapai 2,53%.
RAPBN 2025 beserta Nota Keuangannya telah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 16 Agustus 2024 lalu. Selanjutnya akan dibahas dan ditetapkan sebagai undang-undang APBN. Penyerahan diantar dengan pidato Presiden Jokowi, dilanjutkan konferensi pers oleh beberapa menteri, terutama oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Tema kebijakan fiskal yang dikemukakan adalah “Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”. RAPBN Tahun 2025 dikatakan telah disusun dengan mempertimbangkan faktor perekonomian global dan dilandaskan pada bauran kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang. Ditambahkan untuk mendorong pencapaian Visi Indonesia Emas 2045, serta memberikan ruang untuk pelaksanaan program pemerintahan selanjutnya.
Arah kebijakan pendapatan negara disebut mendukung optimalisasi pendapatan negara. Arah kebijakan belanja negara dinyatakan meningkatkan kualitas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Sedangkan kebijakan pembiayaan dalam rangka menutup defisit anggaran dilakukan dengan tetap menjaga pembiayaan utang dalam batas yang aman dan manageable serta mengoptimalkan pembiayaan non-utang.
Arah dan strategi kebijakan fiskal tahun 2025 diklaim telah didesain melanjutkan reformasi struktural dalam rangka percepatan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Ditambahkan tetap meneruskan pembiayaan anggaran yang inovatif, pruden, dan sustainable. Direncanakanlah defisit anggaran pada tingkat 2,53% atas Produk Domestik Bruto (PDB).
RAPBN 2025 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp2.996,87 triliun. Terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,91 triliun, penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp505,38 triliun, serta hibah sebesar Rp581 miliar.
Belanja negara direncanakan sebesar Rp3.613,06 triliun. Terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.693,18 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp919,87 triliun.
Oleh karena belanja negara melebihi pendapatan negara, maka terdapat defisit anggaran sebesar Rp616,19 triliun. Dengan asumsi dasar ekonomi makro RAPBN 2025, terutama tentang pertumbuhan ekonomi dan tingkat Inflasi, maka PDB diestimasi sekitar Rp24.355 triliun. Rasio defisit pun di kisaran 2,53% dari PDB.
Tema, arah kebijakan, postur, beserta dokumen Nota Keuangan RAPBN 2025 tampak tersaji seperti biasanya. Pidato pengantar Presiden Jokowi, penjelasan Sri Mulyani dan advertorial Kemenkeu tidak memperlihatkan hal mendasar yang baru. Narasi besar terlihat berlebihan, tidak didukung rincian kebijakan dan penganggaran yang memadai.
Satu-satunya perubahan dibanding tahun-tahun sebelumnya, RAPBN 2025 memberi ruang teknis untuk perubahan alokasi selama pembahasan ataupun pada saat rincian Peraturan Presiden. Sebagai contoh, jenis belanja lain-lain dialokasikan paling besar untuk bisa dipindah.
Belanja Non-Kementerian atau Lembaga masih tampak jauh lebih besar, agar dapat disesuaikan untuk program pemerintahan baru. Misalnya untuk Badan Gizi Nasional yang baru dibentuk, atau program unggulan pemerintahan baru.
1 Asumsi Dasar Ekonomi Makro
Nota Keuangan dan RAPBN 2025 pada bagian awal menjelaskan tentang apa yang disebut sebagai Asumsi Dasar Ekonomi Makro (ADEM). ADEM terdiri dari beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai acuan utama dalam menyusun berbagai komponen postur APBN.
Saat ini terdiri dari tujuh indikator. Pada RAPBN 2025 diasumsikan sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, suku bunga SBN 10 Tahun, harga minyak mentah Indonesia, lifting minyak mentah, dan lifting gas.
Asumsi pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2025 sebesar 5,2%. Sama dengan asumsi APBN 2024 yang juga sebesar 5,2%. Sedangkan pada APBN 2023 diasumsikan sebesar 5,3%, namun realisasinya hanya mencapai 5,05%.
Nilai tukar yang dipakai sebagai asumsi adalah terhadap dolar Amerika, secara rata-rata selama setahun. Dolar Amerika merupakan mata uang asing yang paling memengaruhi perhitungan APBN. Contohnya, komponen belanja pembayaran bunga utang luar negeri yang harus dibayarkan.
Asumsi nilai tukar RAPBN 2025 adalah Rp16.100 per US dolar, atau jauh lebih lemah dibanding APBN 2024 yang hanya Rp15.000. Pada APBN 2023 diasumsikan Rp14.800, sedangkan realisasinya lebih lemah yakni sebesar Rp15.255.
Suku Bunga SBN 10 Tahun merupakan suku bunga surat utang negara dengan tenor 10 tahun dengan variabel rate. Perubahan tingkat suku bunga SBN 10 tahun akan berdampak pada sisi belanja negara terutama pada pembayaran bunga utang. Asumsinya pada RAPBN 2025 sebesar 7,1%.
Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) yang dipakai sebagai asumsi adalah harga rata-rata di pasar internasional. Asumsi ICP pada RAPBN 2025 sebesar US$82 per barel, serupa dengan asumsi APBN 2024. Sebagai catatan, APBN 2023 berasumsi US$90, namun realisasinya lebih rendah, yaitu US$78. Sebaliknya, APBN 2022 berasumsi US$63, ternyata realisasinya jauh lebih tinggi, mencapai US$97.
Lifting minyak mentah dan gas merupakan produksi minyak mentah dan gas siap jual secara rata-rata tiap hari. Tingkat lifting keduanya secara langsung akan memengaruhi penerimaan negara. Pada RAPBN 2025, lifting minyak mentah diasumsikan sebesar 600 ribu barel per hari, dan lifting gas sebesar 1.005 ribu barel setara minyak per hari.
Selama 10 tahun era pemerintahan Jokowi, tampak realisasi banyak yang meleset dari asumsi APBN. Pertumbuhan ekonomi hanya pernah tercapai sekali pada tahun 2022. Nilai tukar rupiah yang lebih kuat dari asumsi hanya tiga kali, yaitu pada tahun 2016, 2019 dan 2023. Lifting minyak selalu lebih rendah dibanding asumsi. Sedangkan lifting gas bumi hanya sekali pernah melampaui, yaitu pada tahun 2016.
Realisasi beberapa asumsi tersebut juga cenderung memburuk dari tahun ke tahun, meski sebagian berlangsung perlahan. Nilai tukar rupiah cenderung mengalami pelemahan. Lifting minyak dan gas bumi menuru perlahan.
Nota Keuangan dan APBN tahun anggaran tertentu menyajikan pula asumsi dasar ekonomi makro jangka menengah, hingga 3 tahun setelahnya. Asumsi untuk tahun 2025 sebenarnya telah diproyeksi pada Nota Keuangan tahun 2022, 2023 dan 2024. Hampir seluruhnya lebih buruk dari yang diusulkan pada RAPBN 2025.
2 Postur RAPBN 2025
Postur APBN merupakan gambaran umum tentang nilai atau besaran variabel atau item yang utama. Postur ringkas terdiri dari lima item, yaitu: Pendapatan Negara, Belanja Negara, Keseimbangan Primer, Surplus atau Defisit Anggaran, dan Pembiayaan Anggaran.
RAPBN 2025 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp2.996,87 triliun. Terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,91 triliun, penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp505,38 triliun, serta hibah sebesar Rp581 miliar.
Belanja negara direncanakan sebesar Rp3.613,06 triliun. Terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.693,18 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp919,87 triliun.
Oleh karena belanja negara melebihi pendapatan negara, maka terdapat defisit anggaran sebesar rp616,19 triliun. Dengan asumsi dasar ekonomi makro RAPBN 2025, terutama tentang pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi, maka PDB diestimasi sekitar Rp24.355 triliun. Rasio defisit pun di kisaran 2,53% dari PDB.
Keseimbangan primer merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. RAPBN 2025 merencanakan nilainya defisit sebesar Rp63,31 triliun.
Kondisi keseimbangan primer yang defisit artinya seluruh pembayaran bunga utang memakai sumber dana penarikan utang baru. Jika hanya defisit anggaran, maka seluruh pembayaran pokok utang lama memakai dana utang baru. Oleh karena keduanya defisit berarti pembayaran pokok utang dan bunga utang berasal dari berutang lagi.
Pembiayaan anggaran merupakan besaran nilai yang diperlukan untuk menutupi defisit anggaran. Nilainya sama dengan defisit, namun bersifat penerimaan atau pemasukan. Pada RAPBN 2025 sebesar Rp616,19 triliun.
Namun, terdapat item dalam bagian pembiayaan anggaran yang justeru bersifat atau bernilai neto pengeluaran. Contohnya antara lain pembiayaan investasi dan pemberian pinjaman. Akibatnya, menambah kebutuhan dana berutang, yang disebut pembiayaan utang. Pembiayaan utang pada RAPBN 2025 mencapai Rp775,87 triliun.
Pembiayaan utang atau kebutuhan berutang pada tahun anggaran bersangkutan selama ini memang hampir selalu lebih besar dibanding defisit anggaran. Pengecualian hanya jika sumber pembiayaan lainnya bernilai neto yang besar, antara lain dari penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL).
3 Penerimaan Perpajakan
Nota Keuangan dan RAPBN 2025 menyebut enam arah kebijakan pendapatan negara yang disebut mendukung optimalisasinya. Empat di antaranya terkait dengan perpajakan, yaitu: menjaga efektivitas reformasi perpajakan; memberikan insentif perpajakan yang semakin terarah dan terukur untuk transformasi ekonomi; mendorong tingkat kepatuhan, dan perluasan basis perpajakan; serta mendorong sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian dan kebijakan perpajakan internasional.
Perlu diketahui bahwa pengertian penerimaan perpajakan lebih luas dari penerimaan pajak dalam wacana APBN. Contoh penerimaan pajak adalah pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Contoh penerimaan perpajakan yang dianggap bukan penerimaan pajak adalah bea masuk, bea keluar, dan cukai.
Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUD 1945 Pasal 23A menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Antara lain meliputi: perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, , firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Penerimaan perpajakan dalam postur apbn disajikan dalam dua kelompok besar, yaitu: pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional. RAPBN 2025 mengusulkan penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,11 triliun, pendapatan pajak dalam negeri sebesar Rp2.433,51 triliun dan pendapatan pajak perdagangan internasional sebesar Rp57,41 triliun.
Target pendapatan pajak dalam negeri pada RAPBN 2025 antara lain adalah: pendapatan Pajak Penghasilan (Rp1.209,27 triliun), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (Rp945,12 triliun), Pajak Bumi dan Bangunan (Rp27,11 triliun), Cukai (Rp244,20 triliun), dan pajak lainnya (Rp7,80 triliun).
Pendapatan pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar. RAPBN 2025 menargetkan pendapatan bea masuk sebesar Rp52,94 triliun dan bea keluar sebesar Rp4,47 triliun.
Secara keseluruhan pendapatan negara per tahun era Jokowi masih cenderung meningkat, hanya turun pada tahun 2016 dan tahun 2020. Namun, rata-rata laju kenaikannya melambat. Rata-rata kenaikan per tahun beberapa era sebagai berikut: 2000–2004 (17,53%), 2005–2014 (15,34%), 2015–2024 (6,85%).
Kecenderungan itu bukan semata-mata karena pandemi Covid-19. Era Jokowi sebelumnya, pada 2015–2019 hanya sebesar 5,01%. RAPBN 2025 pun hanya menargetkan kenaikan sebesar 5,87%. Target sebesar itu pun masih berisiko melemahkan perekonomian yang sudah lesu.
Penerimaan perpajakan memang masih cenderung naik tiap tahun, kecuali pada tahun 2009 dan 2020. Namun, laju kenaikan cenderung melambat pada era Jokowi. Pada saat bersamaan rasio perpajakan pun menurun, dari 10,85% (2014), 10,31% (2023) dan diprakirakan akan menurun lagi pada 2024.
Secara lebih rinci, laju kenaikan penerimaan pajak penghasilan per tahun pun melambat. Rata-rata kenaikan per tahun: 2004–2009 (22,87%), 2010–2014 (11,56%), 2015–2019 (7,38%), 2020–2024 (8,78%). Sehingga target RAPBN 2025 naik 13,83% terbilang cukup ambisius.
Begitu pula dengan laju kenaikan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PpnBM) yang melambat. Rata-rata kenaikan per tahun: 2004–2009 (14,71%), 2010–2014 (16,35%), 2015–2019 (5,63%), dan 2020–2024 (10,04%). Sedangkan RAPBN 2025 justru mematok target sebesar 15,37%.
4 Penerimaan Negara Bukan Pajak
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi penerimaan pemerintah di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
PNBP antara lain terdiri dari: pendapatan sumber daya alam, pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan, PNBP lainnya, dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
Laju kenaikan PNBP berfluktuasi selama era Jokowi. Setelah sempat naik signifikan tahun 2021 dan 2022, melambat pada 2023. Outlook APBN 2024 memprakirakan penurunan (-10,35%) dan berlanjut pada RAPBN 2025 (-7,92%). Kinerja PNBP era Jokowi terbilang biasa saja, bahkan memburuk di tahun-tahun terakhir.
Pendapatan sumber daya alam berfluktuasi selama era reformasi. Porsinya atas PNBP masih kisaran 60% hingga 75% sampai tahun 2014. Turun drastis pada tahun-tahun berikutnya, hingga porsinya hanya 24,77% pada 2016.
Pada tahun-tahun berikutnya berfluktuasi dan meningkat hingga 45,13% pada 2022. Bertahan pada tahun 2023 dan 2024, dan ditargetkan sebesar 43,13% pada RAPBN 2025. Pendapatan SDA memang lebih ditentukan volatilitas harga komoditas pasar global dibanding kinerja produksi.
Salah satu jenis PNBP adalah pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang ditargetkan RAPBN 2025 sebesar Rp86 triliun. Kekayaan negara yang dipisahkan berasal dari APBN atau perolehan lainnya yang sah untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, perseroan terbatas lainnya, dan badan lainnya.
Laju pendapatan kelompok ini berfluktuasi, dan sempat turun drastis pada 2020 hingga 2022 karena dampak pandemi. Pada tahun 2022 melonjak drastis dan bertahan cukup besar hingga tahun 2024.
Terdapat pula jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya. Yaitu penerimaan kementerian atau lembaga atas kegiatan layanan yang diberikan kepada masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsinya serta penerimaan lainnya. Antara lain bersumber dari pengelolaan barang milik negara, pendapatan jasa, pendapatan bunga, pendapatan pendidikan, pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi, pendapatan iuran dan denda, serta pendapatan lain-lain.
PNBP Lainnya cenderung flutuatif. Setelah turun pada tahun 2019 dan 2020, naik signifikan pada tahun 2021 dan 2022. Namun, kembali menurun selama tahun 2023 dan 2024. Pada RAPBN 2025 ditargetkan sebesar Rp123,49 triliun, atau kembali mengalami penurunan.
Jenis PNBP yang menyumbang cukup besar pula adalah pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) yang merupakan penerimaan yang berasal dari kegiatan pelayanan masyarakat yang dilakukannya. BLU merupakan instansi di lingkungan Pemerintah sebenarnya dibentuk untuk memberi pelayanan kepada masyarakat tanpa mengutamakan keuntungan, namun dapat memungut biaya.
Pendapatan BLU juga berfluktuasi. Pada tahun 2022 sempat mencapai Rp126 triliun, kemudian cederung menurun pada tahun-tahun berikutnya. RAPBN 2025 hanya menargetkan Rp77,93 triliun.
5 Belanja Negara
Belanja negara merupakan kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja negara mencakup semua pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran yang mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan kewajiban negara, yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali di waktu mendatang.
Dalam postur APBN, pengertian belanja negara lebih sempit dibanding pengeluaran negara. pengeluaran negara merupakan seluruh arus uang yang keluar dari kas negara. Terdapat pengeluaran yang akan diterima kembali di masa mendatang, sehingga tidak dimasukkan ke dalam belanja.
Pengeluaran negara yang tidak termasuk dalam belanja antara lain adalah pemberian pinjaman dan pengeluaran investasi. Contohnya adalah penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Laiinya, dan Badan Lainnya. Begitu pula dengan pinjaman yang diberikan kepada BUMN, Pemerintah Daerah, dan pihak lainnya yang diperbolehkan oleh peraturan.
Belanja negara selama era Jokowi memang selalu meningkat dari tahun ke tahun, dengan laju kenaikan berfluktuasi. Belanja negara direncanakan sebesar Rp3.613 triliun, meningkat dibanding prakiraan (outlook) realisasi APBN 2024 yang sebesar Rp3.412 triliun.
Belanja Negara direncanakan RAPBN 2025 sebesar Rp3.613 triliun. Terdiri dari belanja pemerintah pusat (2.693 triliun) dan transfer ke daerah (Rp920 triliun).
Belanja pemerintah pusat meningkat lebih cepat dari transfer ke daerah pada tahun 2017–2024. Akibatnya porsi transfer ke daerah dalam belanja negara cenderung turun pada era Jokowi. Dari sebesar 32,28% pada 2014 menjadi hanya sebesar 25,79% pada 2024. Bahkan, RAPBN 2025 masih menurunkan porsinya menjadi sebesar 25,46%.
Belanja pemerintah pusat dapat dicermati dari berbagai klasifikasi. Klasifikasi yang paling sering dibicarakan adalah menurut organisasi yang membelanjakan jenis belanjanya. Penyajian besaran belanja pemerintah pusat menurut organisasi secara agregat, terdiri atas belanja kementerian/ lembaga (K/L) dan belanja Non-K/L. Jumlah K/L dalam RAPBN 2025 sebanyak 85 unit organisasi.
Dilihat dari jenisnya terdapat delapan jenis belanja pemerintah pusat. Pada RAPBN 2025 direncanakan sebagai berikut: belanja pegawai (Rp513,23 triliun), belanja barang (Rp342,61 triliun), belanja modal (Rp190,64 triliun), pembayaran bunga utang (Rp 552,85 triliun), subsidi (Rp309,05 triliun), belanja hibah (Rp203 miliar), bantuan sosial (Rp152,70 triliun), dan belanja lain-lain (Rp631,90 triliun).
Meski total belanja pemerintah pusat hampir selalu meningkat dari tahun ke tahun, laju kenaikan berbeda antar jenis dan fluktuatif. Jenis belanja yang meningkat meningkat selama era Jokowi adalah belanja pembayaran bunga utang. Rata-rata kenaikannya mencapai 14,16% per tahun.
Belanja pemerintah pusat sendiri hanya mengalami kenaikan rata-rata sebesar 8,14% per tahun. Oleh karena itu, porsi pembayaran bunga utang pun makin besar. Dari hanya sebesar 11,09% pada 2014 menjadi 19,50% pada 2024.
Jenis belanja pegawai rata-rata naik sebesar 6,68% per tahun, sedangkan porsinya turun dari 20,25% (2014) menjadi 18,01% (2024). Belanja barang rata-rata naik sebesar 10,58% per tahun, sedangkan porsinya meningkat dari 14,67% (2014) menjadi 17,08% (2024).
Sementara itu, jenis belanja modal yang dalam narasi sangat ditonjolkan pada era Jokowi sebenarnya tidak meningkat terlampau pesat. Rata-rata hanya sebesar 10,39% per tahun atau sedikit di atas kenaikan belanja pemerintah pusat. Porsinya sedikit meningkat, dari 11,09% pada 2014 menjadi 13,25% pada 2024.
Salah satu yang menarik untuk dicermati adalah fenomena jenis belanja lain-lain. Meningkat drastis sejak tahun 2020 karena Covid-19, dan tidak menurun setelahnya. Porsinya meningkat dari 0,97% pada 2014 menjadi 15,73% pada 2024.
Akan tetapi ada gejala belanja Lain-Lain dianggarkan sangat besar, namun realisasinya sangat rendah. Realisasi dari yang dianggarkan hanya 26,63% (2020), 38,44% (2021), 58,40% (2023). Padahal RAPBN 2025 kembal meningkatkan alokasinya secara sangat signifikan.
6 Pembiayaan Utang
Pembiayaan anggaran merupakan besaran nilai yang diperlukan untuk menutupi defisit anggaran. Nilainya sama dengan defisit, namun bersifat penerimaan atau pemasukan.
Pembiayaan anggaran sendiri memiliki beberapa item, yang sebagiannya bersifat atau bernilai neto pengeluaran. Contohnya antara lain pembiayaan investasi dan pemberian pinjaman. Keseluruhan item yang bernilai neto pengeluaran menambah kebutuhan dana berutang, yang dipenuhi oleh pembiayaan utang.
Pembiayaan utang atau kebutuhan berutang pada tahun anggaran bersangkutan selama ini memang hampir selalu lebih besar dibanding defisit Anggaran. Pengecualian hanya jika sumber pembiayaan lainnya bernilai neto yang besar, antara lain dari penggunaan saldo anggaran lebih. Pembiayaan utang pada RAPBN 2025 mencapai Rp775,87 triliun melampaui nilai defisit yang sebesar Rp616,19 triliun.
Pembiayaan utang pada postur APBN terdiri dari surat berharga negara (neto), pinjaman luar negeri (neto), dan pinjaman dalam negeri (neto). Tambahan “neto” menunjukkan dalam besaran tersebut ada transaksi yang bersifat penerimaan dan pengeluaran.
SBN neto merupakan selisih dari penerbitan SBN dengan pelunasan SBN yang jatuh tempo. Nilainya pada RAPBN 2025 sebesar Rp642,56 triliun.
Pinjaman luar negeri dan dalam negeri “neto” artinya ada penarikan utang baru dan ada transaksi pelunasan atau cicilan pokok utang lama. Nilainya pada RAPBN 2025 sebesar Rp133,31 triliun. Sebagian besar terkait dengan pinjaman luar negeri.
Pembiayaan utang neto dapat pula diartikan sebagai tambahan posisi utang pada akhir tahun dibanding akhir tahun sebelumnya, yang disebabkan pengelolaan APBN. Tambahan utang selama setahun 2025 dalam hal ini sama dengan nilai pembiayaan utang yang sebesar Rp775,87 triliun.
Tentu saja perubahan posisi utang pada akhir tahun tidak hanya karena pengelolaan APBN. Ada beberapa faktor lainnya, terutama faktor nilai tukar rupiah atas dolar. Porsi utang pemerintah dalam denominasi dolar masih cukup besar, yang jika dinyatakan dalam rupiah berubah sesuai nilai kurs.
7 Komentar Ekonom
Faisal Basri ekonom senior Universitas Indonesia mengatakan bahwa nilai belanja konsumsi akhir Indonesia termasuk yang rendah dibanding kebanyakan negara lain. Dikatakannya, rasio atas PDB secara rata-rata selama era 2016–2021 hanya 9,2% dari PDB. Data tersebut diartikannya bahwa peran negara memang belum besar dalam dinamika perekonomian nasional.
“Lebih rendah dari rata-rata dunia yang sebesar 16,8%, khusus negara berpendapatan menengah atas sebesar 16,7% dan negara berpendapatan menengah bawah yang sebesar 11,0%,” jelasnya.
Faisal mengkritisi beberapa jenis belanja pemerintah pusat era Jokowi yang terus naik signifikan. Dibandingkannya antara pembayaran bunga utang yang baru sebesar Rp133,4 triliun pada 2014 menjadi Rp499 triliun pada 2024 atau meningkat 273,9%. Porsinya atas total belanja pemerintah pusat pun meningkat dari 11,1% menjadi 20,3%.
Secara lebih khusus disorotinya jenis belanja lain-lain yang mencerminkan keleluasaan pemerintah dalam merealisasikannya. Hal itu memberi peluang penyalahgunaan dan belanja yang tak terkontrol. Diperlihatkan data bahwa nilainya hanya Rp11,7 triliun pada 2014 menjadi Rp355,4 triliun pada 2024 atau naik 2.950%.
Faisal juga mengkhawatirkan kondisi utang pemerintah yang makin berat. Menurutnya, bukan rasio atas PDB yang paling penting diperhatikan, melainkan kemampuan membayarnya. Beberapa negara yang rasio utang atas PDB nya jauh lebih besar dari Indonesia, namun memiliki rasio pendapatan atas PDB yang juga tinggi.
Faisal menilai pemerintahan era Jokowi berutang secara tidak hati-hati, bahkan cenderung ugal-ugalan. Dikatakannya, tidak digunakan untuk hal produktif serta tidak menimbang kemampuan membayarnya di masa mendatang.
“Kondisi perekonomian nasional terkini dan kebijakan fiskal seperti APBN yang tidak tepat ini, sangat mungkin membawa Indonesia pada krisis satu dua tahun mendatang,” tandas Faisal.
Awalil Rizky ekonom senior Bright Institute mengatakan pada redaksi bahwa postur RAPBN 2025 tidak jauh berbeda dengan sebelumnya selama era Jokowi. “Nota Keuangan dan RAPBN 2025 berisi paparan kebijakan beserta rincian pengganggaran yang serupa dengan kebijakan fiskal selama ini,” tandasnya.
Dikatakannya bahwa perbedaan lebih pada sebagian alokasi teknis yang belum dipastikan menunggu pembahasan DPR atau perincian lebih lanjut dari pemerintahan baru. Alokasi teknis dimaksud juga sudah tampak arah dan peruntukannya.
“Arah kebijakan fiskal dan postur RAPBN 2025 membawa serta kesulitan pengelolaan sebelumnya, yaitu ruang fiskal yang sempit,” kata Awalil. Ditambahkan bahwa cenderung meningkatkan risiko fiskal, karena dimulai dengan rencana berutang banyak yang mencapai Rp775 triliun.
Awalil menilai RAPBN 2025 terlampau optimis untuk meningkatkan pendapatan negara, terutama penerimaan perpajakan selama setahun. Dikatakan bahwa target kenaikan penerimaan perpajakan sebesar 9,70% dari outlook 2024.
Awalil mengkhawatirkan target kenaikan pendapatan penghasilan yang sebesar 13,83% serta PPN dan PpnBM yang sebesar 15,37% sangat berisiko di tengah perekonomian yang masih lesu.
“Hal itu bisa memiliki efek crowding out, yang membuat daya beli masyarakat dan kemampuan berinvestasi swasta menurun,” jelasnya.
Sementara itu dalam hal belanja negara dan pembiayaan investasi dinilainya masih bercirikan tidak efisien dan kurang efektif. “Kebijakan fiskal yang tepat dalam kondisi saat ini bukan memaksimalkan pendapatan, melainkan mereformasi belanja dan pembiayaan investasi yang cenderung tidak cukup terkontrol selama ini,” kata Awalil.
“Salah satu kekeliruan terbesar dalam wacana APBN selama beberapa tahun ini adalah fokus pada input. Besaran antar-tahun yang banyak dikemukakan berupa nilai input atau anggaran, misal alami kenaikan signifikan. Padahal yang lebih relevan dibandingkan adalah hasilnya, dalam hal output dan terutama impact atau benefit,” tandas Awalil. [adj]