Prabowo Subianto nanti harus benar-benar hati-hati dalam mengambil keputusan soal berutang.
MAJALAH Tempo minggu lalu menurunkan laporan tentang gelagat Prabowo Subianto merevisi UU Keuangan Negara demi melebarkan batas defisit anggaran. Pihak Prabowo sudah menepis kabar ini dan menyebutnya sebagai ‘gosip liar’. Tetapi, ada indikasi kuat revisi itu bakal terjadi mengingat kemenangan Prabowo dalam Pilpres 2024 tak lepas dari program-program populis nun mahal yang ia janjikan berjalan.
Swasembada pangan, food estate, makan bergizi, susu gratis: program-program ini memerlukan dana gigantis dan bakal berjalan di tengah sejumlah tantangan seperti terbatasnya anggaran, penurunan produksi beras, defisit susu; sekaligus akan dijalankan di bawah bayang-bayang kegagalan proyek food estate yang lalu.
Revisi UU Keuangan Negara diperlukan untuk melebarkan batas defisit dari semula dua persen menjadi tiga persen—atau lebih. Dengan batas defisit yang lebih besar, maka pemerintah lebih leluasa berutang. Utang sepertinya akan jadi jurus tunggal pemerintah Prabowo.
Prabowo, dalam berbagai kesempatan, sering mengulang fakta tentang rasio utang pemerintah terhadap PDB yang kini berada di angka 38,98%. Angka ini, menurutnya, cukup rendah jika dibanding negara-negara tetangga dan oleh karenanya Indonesia tak perlu ragu soal ngutang.
Namun, keyakinan tersebut semestinya tidak dijadikan legitimasi berutang. Apalagi, sebagaimana sudah dijelaskan dalam laporan berikut, sebetulnya rasio sebesar 38,98% tersebut hanya mencerminkan utang pemerintah yang terdiri dari SBN dan pinjaman saja.
Ada kewajiban lain dari pemerintah yang bersumber dari penggunaan pembiayaan pinjaman dari masyarakat, lembaga keuangan, entitas pemerintahan lain, atau lembaga internasional yang belum tercantum dalam penghitungan rasio utang sebagaimana sering dikemukakan dalam media massa.
Jika mengikuti definisi bahwa utang adalah kewajiban akhir tahun yang tercantum dalam neraca, maka posisi keuangan pemerintah pusat bisa mencatatkan rasio utang yang lebih dari 38,98%.
Artinya, tanpa harus merevisi UU Keuangan Negara sekalipun, sebenarnya pemerintah sudah menanggung utang yang besar. Sebagian kalangan ekonom menyebut utang sudah kelampau membebani, bahkan tidak aman.
Ini menjadi penting apalagi defisit yang lebih tinggi berarti pemerintah harus meminjam lebih banyak, meningkatkan beban utang dan biaya bunga. Ia bisa memicu inflasi, menurunkan kepercayaan investor, dan menciptakan ketidakstabilan ekonomi.
Ketergantungan pada utang luar negeri dapat membuat ekonomi rentan terhadap perubahan kondisi global. Maka, pemerintahan era Prabowo Subianto nanti harus benar-benar hati-hati dalam mengambil keputusan soal ini. [adj]