Dalam satu dekade terakhir, masyarakat masih harus berhadapan dengan fakta sulitnya mencari kerja di Indonesia. Belum ada perbaikan serius atas kondisi ini.
JUMLAH pengangguran sebanyak 7,86 juta orang dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,32% per Agustus 2023 belakangan dijadikan patokan keberhasilan pemerintah dalam memperbaiki kinerja perekonomian Indonesia: ini sudah bagus—menurut mereka.
Ada banyak masalah dari klaim keberhasilan itu. Melalui pencermatan atas data, kita dapat melihat bahwa sebetulnya banyak kondisi buruk soal ketenagakerjaan yang tersembunyi tanpa pernah terungkit ke tengah resonansi percakapan publik.
Faktanya, selama sembilan tahun era Pemerintahan Presiden Jokowi, TPT hanya berhasil diturunkan sebesar 0,62 persen poin, dari 5,94% per Agustus 2014. Sedangkan jumlah penganggur justeru bertambah sebanyak 0,62 juta orang, dari posisi 7,24 juta orang per Agustus 2014.
Fakta ini bersinggung-kait dengan fakta lain tentang tingkat partisipasi angkatan kerja, distribusi lapangan kerja, dan kualitas pekerjaan yang tersedia di Indonesia yang sebetulnya tidak terlalu menggembirakan.
1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa jumlah penduduk usia kerja, yaitu yang berusia usia 15 tahun ke atas, mencapai 212,59 juta orang per Agustus 2023. Jumlah ini terdiri dari dua kelompok, yaitu Angkatan Kerja sebanyak 147,71 juta orang dan Bukan Angkatan Kerja sebanyak 64,88 juta orang.
Angkatan Kerja merupakan mereka yang aktif masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Mereka yang bekerja, sementara tidak bekerja karena cuti, sakit, mogok, serta tidak bekerja atau pengangguran, masuk dalam kelompok ini.
Bukan Angkatan Kerja merupakan mereka yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Antara lain karena sedang bersekolah atau mengurus rumah tangga.
Persentase dari angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja disebut sebagai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yang sebesar 69,48% pada Agustus 2023. TPAK ini merupakan yang tertinggi untuk kondisi bulan Agustus selama belasan tahun terakhir. TPAK memang cenderung meningkat selama era tahun 2016–2023, setelah sebelumnya berfluktuasi.
TPAK dianggap mencerminkan rasio penduduk usia kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja. Kadang dipakai sebagai salah satu indikator dari potensi pertumbuhan ekonomi. Dilihat dari sudut pandang ini, fenomenanya cukup menggembirakan.
Dilihat dari sisi berbeda, ini mencerminkan banyak orang terpaksa masuk pasar tenaga kerja, padahal masih usia sekolah. Angkatan kerja berusia 15–19 tahun sebanyak 6,34 juta orang dan usia 20–24 tahun sebanyak 15,85 juta orang. Keduanya mencapai 15,02% dari total angkatan kerja.
2 Sektor Pertanian: Penyerap Tenaga Kerja
BPS menyajikan kondisi umum atas mereka yang bekerja dalam beberapa karakteristik. Salah satu yang penting adalah menurut lapangan usaha atau sektor ekonomi pekerjaan utama mereka. BPS mengelompokan serupa dengan data Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu terdiri dari 17 lapangan usaha.
Tiap pekerja Indonesia akan masuk dalam masing-masing kelompok tersebut. BPS mendasarinya dari informasi pekerjaan utamanya jika memiliki lebih dari satu pekerjaan.
Dari jumlah penduduk bekerja sebanyak 139,45 juta orang per Agustus 2023 terdistribusi ke dalam 17 sektor ekonomi. Lima sektor yang memiliki pekerja terbanyak adalah sebagai berikut:
- Pertanian (39,45 juta orang)
- Perdagangan (26,55 juta orang)
- Industri Pengolahan (19,34 juta orang)
- Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (10,78 juta orang)
- Konstruksi (9,25 juta orang)
Lima sektor tersebut secara persentase dari total penduduk bekerja adalah sebagai berikut: Pertanian (28,21%), Perdagangan (18,99%), Industri Pengolahan (13,83%), Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (7,71%), dan Konstruksi (6,62%).
Jumlah dan persentase terbanyak dari pekerja saat ini bekerja pada sektor pertanian dalam arti luas, yang mencakup pertanian, kehutanan dan perikanan. Jumlahnya sempat cenderung menurun pada tahun 2012–2019. Penurunan lebih signifikan pada persentasenya atas total pekerja, karena total pekerja yang cenderung meningkat.
Dampak pandemi membuat sektor pertanian menjadi semacam “penampungan” bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan di sektor lain seperti industri pengolahan. Jumlahnya saat pra pandemi hanya 35,45 juta orang per Agustus 2019. Melonjak menjadi 38,22 juta orang per Agustus 2020.
Ketika perekonomian diklaim mulai pulih oleh otoritas ekonomi, pekerja di sektor ini justeru tercatat bertambah banyak. Dengan kata lain, turunnya tingkat pengangguran atau bertambahnya orang bekerja disumbang besar oleh sektor pertanian.
Pada saat bersamaan, lahan pertanian tidak bertambah secara signifikan. Sektor pertanian dalam perhitungan PDB pun tumbuh makin lambat. Produktivitas per pekerja menjadi menurun, yang mengindikasikan tidak meningkatnya kesejahteraan petani. Kondisi ini cukup menjelaskan mengapa separuh penduduk miskin bekerja di sektor pertanian.
3 Industri Pengolahan Tambah Loyo
Sementara itu, sektor industri pengolahan semula terus bertambah penyerapannya atas tenaga kerja sejak tahun 2012 sampai dengan 2019. Dampak pandemi membuat jumlah pekerja sektor ini turun signifikan pada tahun 2020. Jumlah pekerjanya per Agustus 2019 sebanyak 19,20 juta orang menjadi 17,48 juta orang per Agustus 2020.
Jumlah pekerja sektor industri pengolahan perlahan meningkat pada tahun 2021 sampai dengan 2023. Namun jumlahnya masih lebih sedikit dibanding tahun 2019. Bahkan secara persentase kembali menurun pada tahun 2022 dan 2023.
Peningkatan penyerapan pekerja secara jumlah ataupun porsi justeru banyak terjadi pada kelompok sektor jasa. Kondisi pasca-pandemi melanjutkan tren satu dua dekade pra-pandemi. Sebagian sektor ini kurang memberi nilai tambah yang besar dan memberi imbalan yang rendah pada pekerjanya.
4 Pekerja Informal Masih Tinggi
BPS mengkategorikan pekerja dalam tujuh status pekerjaan utama sejak tahun 2011 hingga saat ini. Dua di antaranya disebut disebut pekerja formal, yaitu yang berstatus buruh dan bersatatus berusaha dibantu buruh tetap.
Berusaha dibantu buruh tetap atau buruh dibayar merupakan mereka yang berusaha atas risiko sendiri dan mempekerjakan paling sedikit satu orang buruh atau pekerja tetap yang dibayar. Jumlahnya sebesar 4,49 juta orang atau 3,21% dari total pekerja.
Buruh merupakan mereka yang bekerja pada orang lain atau pada instansi atau kantor atau perusahaan secara tetap dengan menerima upah atau gaji, baik berupa uang maupun barang. Jumlahnya sebanyak 52,70 juta orang atau 37,68% dari total pekerja.
Dengan demikian, kedua status pekerja yang dikategorikan pekerja formal oleh BPS itu sebanyak 57,19 juta orang atau 40,89% dari total pekerja per Agustus 2023.
Lima status lainnya disebut pekerja informal, yaitu: berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, dan pekerja keluarga/tak dibayar. Jumlahnya sebanyak 82,67 juta orang atau 59,11% dari total pekerja.
Perbaikan kondisi pekerja dilihat dari menurunnya persentase pekerja informal mulai berlangsung sejak tahun 2010. Porsinya pada tahun 2009 masih sebesar 69,35% cenderung menurun tiap tahun, hingga menjadi 55,85% pada tahun 2019.
Dampak pandemi membuatnya meningkat, dari 71,96 juta orang per Agustus 2019 menjadi 77,68 juta orang per Agustus 2020. Jumlahnya masih bertambah pada tahun-tahun berikutnya.
Pekerja informal memang sedikit berkurang secara persentase atas total pekerja selama tiga tahun terakhir. Namun porsi per Agustus 2023 masih jauh lebih besar dibanding porsi per Agustus 2019.
Di antara yang informal itu yang perlu dicermati adalah yang berstatus pekerja keluarga atau tak dibayar. Yaitu mereka yang bekerja membantu orang lain yang berusaha dengan tidak mendapat upah atau gaji, baik berupa uang maupun barang. Dalam kehidupan sehari-hari pekerja berstatus ini kondisinya serupa dengan pengangguran.
Jumlahnya meningkat signifikan karena dampak pandemi. Dari 14,76 juta orang per Agustus 2019 menjadi 18,32 juta orang per Agustus 2020. Hanya sedikit menurun pada tahun-tahun berikutnya, dan masih sebesar 18,08 juta orang per Agustus 2023.
Terjadi pula peningkatan dalam status pekerjaan yang mencerminkan pelaku usaha mikro, yaitu mereka yang berstatus berusaha sendiri dan berstatus berusaha dibantu buruh tidak tetap. Dari 45,07 juta orang per Agustus 2019 menjadi 46,24 juta orang per Agustus 2020. Jumlahnya terus meningkat hingga menjadi 52 juta orang per Agustus 2023.
Bertambahnya mereka yang bekerja namun kebanyakan sebagai pekerja informal terkonfirmasi dari data perkembangan pekerja yang berstatus buruh. Jumlah kelompok ini yang tergolong pekerja formal terkena dampak pandemi yang cukup besar.
Dari sebanyak 52,34 juta orang per Agustus 2019 turun menjadi 46,72 juta orang per Agustus 2020. Jumlahnya perlahan bertambah, dan baru setara pra-pandemi pada tahun 2023. Namun secara porsi atau persentase masih belum pulih. Porsi atas total pekerja pada tahun 2023 hanya 37,68%, lebih kecil dibanding tahun 2019 yang sebesar 40,65%.
5 Jumlah Pekerja Tidak Penuh
Di antara mereka yang bekerja terdapat kategori bekerja tidak penuh atau di bawah jam kerja normal, yang oleh BPS dinyatakan sebagai 35 jam per minggu. Jumlahnya meningkat drastis karena pandemi, dari 36,54 juta orang per Agustus 2019 menjadi 46,43 juta orang per Agustus 2020 dan 46,79 juta orang per Agustus 2021.
Jumlah pekerja tidak penuh kemudian perlahan menurun pada tahun 2022 dan 2023. Namun, jumlahnya masih sebesar 43,46 juta orang per Agustus 2023. Masih jauh lebih banyak dibanding kondisi pra-pandemi per Agustus 2019.
Porsi Pekerja tidak penuh cenderung stabil di kisaran 31% selama tahun 2006–2010. Mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2011–2013. Kemudian cenderung menurun pada tahun 2014–2016. Kembali meningkat perlahan pada tahun 2017–2019.
Pada saat pandemi melonjak drastis menjadi 36,15% pada tahun 2020, dan hanya sedikit menurun menjadi 35,70% pada tahun 2021. Penurunan signifikan baru terjadi pada tahun 2022 dan 2023. Namun masih sebesar 31,08% per Agustus 2023, atau lebih banyak dibanding per Agustus 2019 yang sebesar 28,88%.
Pekerja Tidak Penuh terdiri dari dua kelompok, yaitu setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu. Setengah Pengangguran adalah mereka yang masih mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan jika ada kesempatan dan kesesuaian. Jumlahnya mencapai 9,34 juta orang atau 6,68% dari total pekerja pada Agustus 2023.
Pekerja Paruh Waktu adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal, tetapi tidak mencari pekerjaan. Kelompok ini sedang tidak bersedia menerima pekerjaan lain meski ada kesempatan. Jumlahnya mencapai 34,13 juta orang atau 24,40% dari total pekerja pada Agustus 2023.
6 Dominasi Pekerja Berpendidikan Rendah
Selama beberapa dekade, pekerja Indonesia didominasi oleh mereka yang berpendidikan tidak tinggi. Pekerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah sebanyak 51,49 juta orang atau 36,82% dari total pekerja per Agustus 2023. Pekerja dengan pendidikan tertinggi yang ditamatkan SMP sebanyak 24,85 juta orang (17,77%).
Jumlah keduanya sebanyak 76,34 juta orang atau 54,59% dari total pekerja. Dengan demikian, lebih dari separuh pekerja Indonesia memiliki pendidikan SMP ke bawah.
Kondisi itu cenderung sedikit membaik dalam artian perlahan porsinya menurun, namun jumlahnya masih bertahan. Bahkan meningkat pada tahun-tahun tertentu. Bisa dikatakan tidak mengalami perbaikan yang berarti selama satu dekade terakhir.
Per Agustus 2023, pekerja berpendidikan Sekolah Menengah Atas sebanyak 28,33 juta orang atau 20,25% dari total pekerja. Sedangkan yang Sekolah Menengah Kejuruan sebanyak 17,33 juta orang (12,40%). Total keduanya sebanyak 45,66 juta orang (32,65%).
Pada saat bersamaan, jumlah dan porsi pekerja dengan pendidikan tinggi masih amat sedikit. Pekerja tingkat Diploma (I-III) sebanyak 3,41 juta orang dan pekerja tingkat Universitas (D-IV, S1, S2, dan S3) sebanyak 14,44 juta orang. Jumlah keduanya sebesar 17,85 juta orang atau hanya 12,76% dari total pekerja.
7 Komentar Ekonom
“Penurunan tingkat pengangguran di era Jokowi sama sekali tidak bisa dibanggakan sebagai kinerja yang baik,” nilai Awalil ekonom senior Bright Institute. Bahkan menurutnya, kondisi ketenagakerjaan memburuk selama era pemerintahan Jokowi.
“Dalam hal ukuran standar pun, penurunan tingkat pengangguran selama 9 tahun era Jokowi hanya sedikit. Bahkan dilihat dari jumlah penganggurnya justeru bertambah,” kata Awalil. Ditambahkan hal itu bukan semata dampak pandemi, karena lambatnya laju penurunan sudah terjadi sejak periode pertama.
“Ada beberapa masalah serius dalam kondisi ketenagakerjaan era Jokowi. Pertama, sektor ekonomi yang menampung banyak pekerja justeru yang memiliki nilai tambah lebih rendah, seperti sektor pertanian. Akibatnya, produktivitas per petani cenderung menurun dan berakibat pada tingkat kesejahteraan mereka. Tidak heran jika hampir separuh penduduk miskin memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian,” kata Awalil.
“Kedua, banyak dari mereka yang bekerja sebenarnya bersifat terpaksa karena tidak banyak pilihan. Mereka terlalu miskin untuk menganggur atau menunda bekerja. Hal itu diindikasikan oleh sektor ekonomi serta status pekerjaan yang banyak menampung pekerja. Dalam hal status, tampak dari besarnya mereka yang berusaha sendiri,” lanjut Awalil.
“Kedua hal di atas dipertegas oleh fakta bahwa lapangan kerja yang tersedia lebih banyak diisi oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah atau maksimal tamat SMP. Antara lain karena banyak dari mereka ingin dan bersedia bekerja dengan hasil yang tidak memadai sekalipun,” tambah Awalil.
“Dilihat dari standar pekerjaan yang layak, maka kondisi ketenagakerjaan Indonesia selama beberapa tahun terakhir masih sangat jauh dari menggembirakan. Pemerintah harus memonitor secara serius dan menindaklanjuti berbagai indikator pekerjaan layak yang sebenarnya telah rutin dipublikasi oleh BPS dengan mengacu pada standar ILO. Menindaklanjuti dalam arti menjalankan kebijakan di bidang pendidikan, ketenagakerjaan dan perekonomian untuk memperbaikinya,” pungkas Awalil. []
Discussion about this post