Peningkatan rasio utang atas PDB dan atas pendapatan era Jokowi memberi indikasi pengeluaran pemerintah tidak efektif dan tidak efisien.
TRANSAKSI berutang saat ini dilakukan oleh pemerintah semua negara. Nilainya saja yang berbeda-beda, baik dilihat secara nominal ataupun rasionya atas skala perekonomian atau keuangan masing-masing. Skala perekonomian direpresentasikan oleh nilai Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan skala keuangan negara dicerminkan oleh pendapatan negara.
Penyebab utama berutang di banyak negara adalah karena pengeluaran pemerintahnya cenderung terus meningkat, sedangkan penerimaan tidak selalu bisa mengimbanginya. Akibatnya, defisit anggaran menjadi sesuatu yang lazim terjadi, dan pada umumnya diatasi dengan berutang.
Pada kasus Indonesia, ada simpang siur yang berkembang belakangan ini betapa utang jor-joran yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo sangkil dan mangkus. Dalam laporan ini, Anda akan tahu bahwa, tidak, utang era Jokowi tidak efisien dan tidak tepat guna.
1 Gambaran Umum Posisi Utang
Defisit anggaran secara nominal hampir selalu meningkat tiap tahun. Defisit hanya sebesar Rp226,69 triliun pada 2014, meningkat menjadi Rp345,68 triliun pada 2019, dan ditargetkan sebesar Rp522,80 triliun pada 2024. Secara rata-rata, defisit era Jokowi mencapai Rp459,84 triliun per tahun.
Dalam hal rasionya atas PDB, memang di kisaran 2%, kecuali pada saat pandemi tahun 2020 dan 2021. Oleh karena terdampak pandemi selama 2 tahun itu, maka rasio defisit era Jokowi rata-rata mencapai 2,86% per tahun.
Sebagai perbandingan, defisit selama era SBY (2005–2014) hanya sebesar Rp91,26 triliun per tahun. Sedangkan rasionya atas PDB rata-rata hanya sebesar 1,19% per tahun.
Bagaimanapun, kedua era pemerintahan itu selalu mengalami defisit yang cenderung meningkat. Akibatnya, kebutuhan berutang pun terus bertambah. Oleh karena bersifat akumulasi, posisi utang pemerintah pun terus meningkat.
Posisi utang pemerintah pusat pada akhir tahun 2004 ketika awal pemerintahan SBY sebesar Rp1.300 triliun dan pada akhir 2014 menjadi Rp2.609 triliun. Pemerintahan Jokowi memulai dengan posisi utang per akhir 2014 itu dan hingga akhir 2023 menjadi Rp8.143 triliun. Diprakirakan pada akhir 2024 akan mencapai Rp8.850 triliun.
Dalam hal posisi utang atas PDB, pada akhir 2004 sebesar 56,60% turun menjadi 24,68% pada akhir 2014. Rasionya terus meningkat, menjadi 20,23% pada akhir 2019 dan diprakirakan kisaran 39% pada akhir 2024.
Dengan demikian, posisi utang secara nominal meningkat pada era SBY dan era Jokowi. Sedangkan secara rasio utang atas PDB, menurun pada era SBY dan meningkat pada era Jokowi.
Pemerintah era Jokowi kerap mengemukakan alasan dengan narasi tentang utang produktif. Pada periode awal terutama dikemukakan kondisi ketertinggalan infrastuktur dan soal konektivitas saat itu dan dikemukakan rencana. Beberapa tahun terakhir ditambahkan info soal proyek strategis nasional, termasuk IKN dan kereta cepat.
Pencermatan atas beberapa aspek dan indikator utang memberi kesimpulan yang berbeda. Sebagian utang yang diperoleh memang dipakai untuk pengeluaran yang terbilang cukup produktif, namun secara umum bisa dikatakan tidak produktif.
2 Produktivitas Utang Pemerintah Jokowi
Narasi utang produktif terutama dikemukakan mengenai kondisi ketertinggalan infrastuktur dan soal konektivitas. Ketertinggalannya dinilai menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Pemerintah akan mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah Jokowi mengaku menjalankan kebijakan fiskal ekspansif, yaitu belanja melebihi pendapatan negara. Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspansif dikatakan perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM. Disebutkan antara lain melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Terkait itu dinarasikan ada kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak dapat ditunda, namun pendapatan belum cukup untuk memenuhi, sehingga menimbulkan defisit. Defisit yang harus ditutupi melalui pembiayaan atau utang. Pemerintah yakin proses dan dampak berutang tersebut aman karena digunakan untuk belanja produktif.
Penjelasan tentang utang yang bersifat produktif sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintahan era-era sebelumnya. Bahkan, sejak era pemerintahan Soeharto. Masing-masing era hanya berbeda dalam mengemukakan program prioritasnya, serta besaran nilai utang yang dibutuhkan.
Selain berutang, sebenarnya tersedia beberapa kebijakan untuk membiayai defisit selain berutang, seperti mencetak uang dan atau menjual aset negara. Pada praktik kebijakan fiskal di Indonesia, semua jenis tersebut pernah dijalankan. Pemerintahan Jokowi memilih kebijakan dengan berutang yang banyak.
Meskipun narasi tersebut cukup wajar dan beralasan kuat, namun realisasi berutang yang produktif tidak pernah dievalusasi secara sungguh-sungguh dan menjadi diskusi publik yang konstruktif untuk perbaikan.
Pemerintah lebih sering mengemukakan sosialisasi atau iklan tentang program prioritas nasional, terutama dalam bidang infrastruktur. Capaian yang diklaim lebih bersifat hasil produksi yang tampak atau keluaran (output).
Perbincangan nyaris tidak dikembangkan tentang outcome dan impact. Outcome adalah dampak yang ditimbulkan dari suatu aktivitas tertentu, biasanya dikaitkan dengan tujuan atau target yang hendak dicapai. Sedangkan impact adalah ukuran tingkat pengaruh sosial, ekonomi, lingkungan, atau kepentingan umum lainnya.
Output merupakan produk dari proyek yang direncanakan, sedangkan outcome merupakan suatu keadaan operasional yang baru dicapai setelah suatu organisasi memiliki kemampuan atau kapasitas untuk menjalankan programnya. Outcome baru didapatkan setelah berfungsinya suatu sistem output. Impact lebih merupakan dampak dalam jangka menengah dan panjang.
Dalam hal narasi utang pemerintah produktif, bahkan yang dikemukakan sering nilai proyeknya atau input saja. Jika membandingkan input antar-waktu, maka berpotensi bias atas kenaikan harga atau biaya. Belum bisa memastikan apakah outputnya lebih banyak.
Terlebih tidak mengukur seberapa besar dampak positif atau manfaatnya, serta keberlanjutannya. Sebagai contoh, bandara atau bangunan lainnya dibangun menghasilkan output atau menambah aset pemerintah. Namun belum menunjukkan kemanfaatan bagi masyarakat dan perekonomian.
Hingga sejauh ini, pengertian utang pemerintah untuk keperluan produktif menjadi tersamarkan. Produktif sekurangnya mesti dicermati dalam tiga aspek, yaitu: aset pemerintah, pendapatan negara, dan pertumbuhan ekonomi. Ditelisik apakah ketiganya meningkat lebih cepat atau sekurangnya setara dengan penambahan utang.
3 Tambahan Utang & Aset Tetap Pemerintah
Klaim pemerintah Jokowi bahwa utangnya produktif antara lain dengan mengemukakan berbagai produk (output) proyek pembangunannya, seperti: jalan, bangunan, bendungan, bandara, pelabuhan, dan lain semacamnya. Penelisikan lebih cermat perlu dilakukan atas nilainya sebagai aset pemerintah, dan juga perkembangan fisiknya untuk beberapa jenis aset tetap.
Dapat diperbandingkan sebagai gambaran umum, perkembangan tambahan utang (kewajiban) dengan aset pemerintah. Apakah utang memang cukup banyak dipergunakan untuk menambah aset, terutama aset tetap dan investasi jangka panjang.
Neraca dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2023 memberi informasi nilai seluruh aset sebesar Rp13.072,80 triliun. Terdiri dari enam kelompok aset, yaitu:
- Aset Lancar (Rp894,41 triliun),
- Investasi Jangka Panjang (Rp4.077,23 triliun),
- Aset Tetap (Rp6.964,27 triliun),
- Piutang Jangka Panjang (Rp49,19 triliun),
- Properti investasi (Rp104,37 triliun), dan
- Aset Lainnya (Rp983,33 triliun).
Aset Tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Aset tetap terdiri dari 7 kelompok, yaitu: Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan, Irigasi, dan Jaringan, Aset Tetap Lainnya, Konstruksi dalam Pengerjaan, dan Aset Konsesi Jasa.
Perkembangan nilai aset tetap dalam neraca pemerintah pusat menunjukkan tidak terjadi kenaikan berarti selama periode kedua Jokowi, dari tahun 2019 sampai dengan 2023. Bahkan, sebagiannya tercatat mengalami penurunan nilai bersih. Yaitu, Aset tanah (dari Rp4.565,75 triliun menjadi Rp4.428,28 triliun), Aset jalan, irigasi dan jaringan (dari Rp618,05 triliun menjadi Rp554,80 triliun), serta Aset Tetap Lainnya (dari Rp43,76 triliun menjadi Rp34,11 triliun).
Jika tidak memperhitungkan nilai aset Konsesi Jasa yang baru disajikan pada tahun 2022 dan 2023, maka nilai aset tetap bersih relatif stagnan. Dari sebesar Rp5.949,60 triliun per akhir 2019, menjadi Rp5.956,42 triliun per akhir 2023. Hanya bertambah sebesar Rp6,83 triliun atau 0,11% selama empat tahun.
Terjadi lonjakan nilai aset tetap hingga 208% pada tahun 2019 atau menjadi tiga kali lipat dari tahun 2018. Dari Rp1.931,05 triliun menjadi Rp5.949,6 triliun. Hal itu terutama disebabkan inventarisasi dan penilaian kembali yang dilaksanakan pada tahun 2017–2018. Revaluasi itu dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2017 tentang Penilaian Kembali Barang Milik Negara/Daerah.
Aset tetap yang mengalami peningkatan paling dramatis saat itu adalah tanah. Nilainya melonjak menjadi lebih dari 4,5 kali lipat, dari Rp1.018,65 triliun menjadi Rp4.565,75 triliun. Nilainya sedikit menurun pada tahun-tahun berikutnya, menjadi sebesar Rp4.428,28 triliun pada tahun 2023.
Aset tetap yang juga naik signifikan adalah nilai aset Jalan, Irigasi, dan Jaringan. Nilai bersihnya pada tahun 2019 mencapai Rp618,05 triliun, atau lebih dari 2,5 kali lipat dari tahun 2018. Nilainya sedikit menurun pada tahun-tahun berikutnya, menjadi sebesar Rp554,80 triliun pada tahun 2023.
Aset Tetap Gedung dan Bangunan turut tercatat bertambah cukup signifikan pada tahun 2019. Mencapai Rp328,92 triliun atau hampir 1,5 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Nilainya kemudian hanya meningkat perlahan dan menjadi sebesar Rp379,63 triliun pada tahun 2023.
Ketika diklaim banyak membangun jalan, maka perlu diperiksa seberapa tambahan panjang jalan dan nilainya dalam neraca. Begitu pula dengan bandara, bendungan, pembangkit listrik, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, panjang seluruh jalan dari tiga kewenangan (negara, provinsi dan kabupaten/kota) per akhir 2023 mencapai 550.735 km. Bertambah sepanjang 32.487 km atau 6,27% selama 9 tahun era pemerintah Jokowi, dari kondisi akhir 2014 yang 518.248 km. Sedangkan selama 10 tahun era SBY bertambah 145.320 km atau 38,97%, dari 372.928 km pada tahun 2004.
Ada pula data tentang jalan rusak dan jalan rusak berat. Jalan rusak adalah jalan yang dapat dilalui kendaraan dengan kecepatan 20–40 km per jam dan perlu diperbaiki, sedang yang rusak berat hanya dapat dilalui dengan kecepatan 0–20 km per jam. Ternyata, jalan rusak berat bertambah selama era Jokowi, dari 77.278 km (2014) menjadi 100.361 km (2022).
Dari uraian di atas tentang nilai aset tetap dengan beberapa kelompoknya dan informasi tentang jalan, maka kurang terbukti kaitannya dengan tambahan utang. Penambahan utang yang jauh lebih pesat di era pemerintah Jokowi tidak berhasil menambah aset tetap lebih cepat dari era SBY.
4 Tambahan Utang & Investasi BUMN
Neraca Pemerintah pusat menyajikan numenklatur investasi jangka panjang. Investasi adalah jenis aset yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomi seperti bunga, dividen dan royalti, atau manfaat sosial. Investasi jangka panjang dimaksudkan dimiliki selama lebih dari 12 bulan. Nilainya per 31 Desember 2023 mencapai Rp4.077 triliun.
Investasi jangka panjang pemerintah tersebut terdiri dari non-permanen (Rp297,46 triliun) dan permanen (Rp3.779,77 triliun). Investasi non-permanen direncanakan tidak dimiliki terus menerus. Sedangkan Investasi permanen dimaksudkan untuk dimiliki secara terus menerus tanpa ada niat untuk diperjualbelikan atau ditarik kembali.
Investasi permanen dimaksudkan untuk mendapatkan dividen atau menanamkan pengaruh yang signifikan dalam jangka panjang atau menjaga hubungan kelembagaan. Terdiri dari: Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara/Pemerintah, Investasi Permanen Badan Layanan Umum, dan Investasi Permanen Lainnya.
Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara/Pemerintah (PMN/PMP) terdiri dari: Badan Usaha Milik Negara (Rp2.927 triliun), Lembaga Keuangan Internasional (Rp32,35 triliun), Badan Usaha Lainnya (Rp133,48 triliun).
PMP pada BUMN merupakan kepemilikan negara pada BUMN yang bertujuan mencari keuntungan dan memberikan pelayanan umum. PMP pada BUMN yang terbesar pada Persero, yang nilainya per 31 Desember 2023 mencapai Rp2.890,48 triliun. Sedangkan pada Perusahaan Umum (Perum) hanya sebesar Rp36,91 triliun.
BUMN Persero yang di bawah pembinaan Kementerian BUMN sebesar Rp2.809,92 triliun. Sedangkan yang di bawah pembinaan Kementerian Keuangan sebesar Rp80,56 triliun.
Nilai neraca PMP pada BUMN memang cenderung meningkat dari tahun ke tahun selama era Jokowi. Namun laju kenaikannya justeru lebih landai dibanding era SBY. Kenaikan yang sangat signifikan pada era Jokowi terjadi pada tahun 2015, disebabkan oleh revaluasi pada tahun itu. Revaluasi justeru pada PMP yang dilakukan oleh era pemerintahan sebelumnya.
Dengan demikian, laju tambahan utang yang lebih pesat pada era Jokowi tidaklah menambah laju kenaikan PMP pada BUMN. Bahkan, nilai ekuitas yang dicatat tersebut bisa saja menyamarkan faktor risiko. Sudah banyak diketahui publik bahwa beberapa BUMN telah dan sedang mengalami kesulitan keuangan.
5 Utang Bertambah Lebih Cepat Dibanding Pendapatan
Produktivitas utang bisa juga dicermati dalam kaitannya dengan peningkatan pendapatan negara. Bisa yang bersifat langsung dari penggunaannya, semisal PMN pada BUMN yang menghasilkan laba yang sebagian disetorkan pada Pemerintah, atau proyek infrastruktur yang setelah beroperasi bisa memberi pendapatan.
Bisa pula yang bersifat tidak langsung, karena berbagai proyek pemerintah mendorong pendapatan masyarakat atau swasta, yang kemudian membayar pajak yang lebih besar. Biasanya dokumen studi kelayakan suatu proyek menyajikan dampak positif yang diharapkan terkait pendapatan. Termasuk jika outputnya masih akan memberi hasil dalam jangka menengah atau panjang, maka ada narasi dan proyeksi hitungannya yang cukup jelas.
Perbandingan data posisi utang pemerintah dengan pendapatan negara selama 10 tahun era Jokowi justru mengindikasikan tidak atau kurang produktifnya utang. Posisi utang bertambah sebesar Rp6.241 triliun atau naik sekitar 3,5 kali lipat. Sedangkan pendapatan negara hanya bertambah kurang dari 2 kali lipat.
Perbandingan dalam data serupa, 10 tahun era SBY terlihat jauh lebih baik. Posisi utang memang meningkat hingga sekitar 2 kali lipat. Akan tetapi, pendapatan meningkat lebih cepat hingga hampir 4 kali lipat.
Fakta kenaikan utang yang jauh lebih pesat dibanding pendapatan tersebut era Jokowi dapat pula disajikan dengan besaran rasio. Rasio antara posisi utang dan pendapatan meningkat, dari 168,27% pada 2014 menjadi 315,81% pada 2024. Sedangkan era SBY, justeru menurun dari 322,26% pada 2004 menjadi 168,27% pada 2014.
6 Penambahan Utang Gagal Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi
Cara yang bisa dikatakan paling baik untuk mengukur produktivitas utang pemerintah adalah mengaitkannya dengan kinerja perekonomian secara keseluruhan. Pemeritah memang tidak harus mengedepankan perkembangan aset dan pendapatannya sendiri, melainkan lebih mengutamakan perbaikan kondisi masyarakat dan perekonomian secara umum.
Sebagaimana kerap diklaim bahawa proyek prioritas nasional bermaksud menumbuh kembangkan perekonomian nasional, dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan rakyat. Beberapa narasi pemerintah yang telah di singgung terdahulu secara jelas mengemukakan tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi diukur dari kenaikan nilai Produksi Domestik Bruto (PDB) menurut harga konstan pada suatu tahun dibanding tahun sebelumnya. Dalam hal kewilayahan dikenal pula Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang bisa dipakai mengukur pertumbuhan ekonomi di wilayah itu.
Sebagai contoh, kenaikan posisi utang pemerintah pada tahun 2023 sebesar 5,29%, dari Rp7.734 T per akhir 2022 mejadi Rp8.145 T per akhir 2023. Utang bertambah lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,05%. Selisih ini terbilang lumayan dibanding tahun-tahun sebelumnya yang cukup lebar.
Selama 10 tahun era Jokowi, laju kenaikan utang selalu melampaui pertumbuhan ekonomi. Sedangkan selama 10 tahun era SBY, laju kenaikan utang kadang lebih rendah atau setara pertumbuhan ekonomi.
Dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi, utang pemerintah era Jokowi tidak bisa disebut produktif. Sekurangnya kalah produktif dibanding era SBY.
7 Komentar Ekonom
Awalil Rizky, ekonom senior membenarkan asesmen tentang produktivitas utang pemerintah bisa dicermati dari tiga aspek, seperti pertumbuhan aset, peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Dia menambahkan pengertian produktif dapat dicermati dari biaya atau lebih khusus lagi nilai tambahan utang yang dipergunakan untuk berbagai proyek pembangunan.
Awalil menekankan perlunya perbandingan antara nilai tambahan utang pemerintah secara keseluruhan dengan nilai proyek tersebut. Seberapa besar porsi yang sebenarnya dipakai untuk keperluan “produktif” dan yang tidak atau kurang produktif.
Ditambahkan pula dalam hal konsumsi pemerintah tampak peran pengeluaran pemerintah dalam PDB tidak mengalami peningkatan berarti, meski utang meningkat pesat. Diakuinya memang ada tambahan dorongan untuk konsumsi masyarakat, antara lain melalui bansos, namun juga tidak sebanding dengan laju tambahan utang.
“Belanja pemerintah yang meningkat paling pesat adalah pembayaran bunga utang. Selain secara nominal yang telah mencapai Rp497 triliun pada APBN 2024, berbagai rasio terkait juga terus menerus meningkat. Antara lain rasio atau porsi pembayaran bunga utang atas belanja dan atas pendapatan,” kata Awalil.
“Peningkatan rasio utang atas PDB dan rasio utang atas pendapatan selama era Jokowi memberi indikasi tidak efektif dan efisiennya belanja atau pengeluaran pemerintah. Belanja atau pengeluaran ternyata kurang mencapai tujuan atau sasaran, dan bersifat boros dalam hal biayanya,” tegas Awalil. [adj]