Efisiensi anggaran yang diterapkan di era Prabowo memunculkan berbagai dinamika, mulai dari pemangkasan drastis di sejumlah kementerian hingga konsep tiga putaran pemangkasan yang menimbulkan pertanyaan tentang sumber dana dan efektivitas realokasi anggaran.
Oleh: Awalil Rizky
(Ekonom senior Bright Institute)
AWALNYA ada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan pada 22 Januari 2025 tentang efisiensi belanja. Inpres ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan dengan Surat Edaran (SE) nomor S-37/MK.02/2025 pada 24 Januari 2025. Setelah tiga minggu berjalan, ternyata banyak dinamika dan diumumkan ada rekonstruksi yang cukup substantial.
Berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) melakukan asesmen sendiri untuk efisiensi belanja dengan acuan SE Menkeu senilai Rp256,1 triliun. Hasil identifikasi efisiensi dikomunikasikan dengan mitra komisi DPR. Datanya beredar dan diberitakan oleh media, bahkan ada yang dijelaskan sendiri oleh pimpinan K/L.
Sebagian cukup mengagetkan, karena pemotongan yang amat besar, melampaui acuan tingkat efisisensi yang disarankan SE Menkeu. Sebagai contoh Kementerian Pekerjaan Umum yang semula Rp110,95 triliun menjadi Rp29,57 triliun.
Tidak lama kemudian beredar besaran pemotongan beberapa K/L yang juga amat signifikan. Data yang diberitakan media kebanyakan bersumber dari rapat mereka dengan mitra komisi DPR. Ada pula yang dikemukakan ke publik oleh pihak K/L bersangkutan.
Informasi berkembang dengan cepat selama minggu pertama Februari, tentang efisiensi yang pada praktiknya berupa pemotongan anggaran belanja. Menariknya, diberitakan 16 K/L tidak mengalami pemangkasan. Dua diantaranya yang sejak awal memperoleh alokasi terbesar, yaitu Kementerian Pertahanan dan POLRI.
Selama proses penyusunan besaran efisiensi, sebagian besar belanja K/L “diblokir” menunggu hasil. Reaksi netizen dan mungkin juga internal birokrasi terkesan makin tidak terkendali. Hingga akhirnya pada 7 Februari 2025, Dasco Ahmad menginstruksikan kepada seluruh komisi di DPR menunda rapat pendalaman dengan K/L, karena akan ada rekonstruksi anggaran yang baru.
Beberapa hari kemudian, pada 11 Februari, Kemenkeu dan SetNeg mengumpulkan seluruh K/L untuk menjelaskan nilai efisiensi baru. Dari berbagai informasi, yang disampaikan sudah berupa nilai alokasi untuk masing-masing. Diberitakan pada 13 Februari, seluruh K/L terkena pemangkasan.
Sempat beredar beberapa besaran alokasi baru bagi K/L di media. Namun diklarifikasi bahwa hasil putusan final yang resmi diundur hingga akhir Februari. Meski demikian, beberapa K/L tampaknya telah melakukan penyesuaian dengan alokasi yang baru tersebut.
Terkait kesimpangsiuran itu, jubir Menkeu Wihadi mengatakan ada miskomunikasi antara Kemenkeu dan tiap kementerian dan lembaga. Dikatakan bahwa rencana efisiensi yang dilakukan K/L ternyata tidak sesuai harapan. Akhirnya dilakukan rekonstruksi anggaran untuk menyusun ulang kebijakan efisiensi sekaligus menetapkan item belanja yang bisa dipangkas secara detail.
Alokasi baru itu belum dipublkasi remsi, secara cukup mengejutkan, pada 15 Februari dalam acara partai Gerindra, Presiden Prabowo mengemukakan hal baru. Akan ada tiga putaran pemangkasan anggaran. Belum ada kejelasan, apakah termasuk putaran pertama di atas, ataukah tambahan lagi.
Paparan menampilkan putaran pertama penyisiran oleh Kementerian Keuangan disisir sebesar Rp300 triliun dari pos Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN). Perlu diketahui bahwa BA BUN bukanlah belanja K/L, melainkan non K/L, seperti belanja bunga utang, subsidi, bansos, dan belanja lain-lain.
Pada tahap kedua, ditargetkan memangkas dana APBN setelah menyisir anggaran hingga ke satuan sembilan atau item belanja rinci dengan total sebesar Rp308 triliun. Namun sebanyak Rp 58 triliun di antaranya bakal dikembalikan ke 17 kementerian dan lembaga.
Pada putaran ketiga disebutkan berasal dari laba badan usaha milik negara (BUMN) sebesar Rp300 triliun, dengan Rp100 triliun di antaranya akan disalurkan untuk penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN. Rencana ini tidak bersesuaian dengan penyebutan item atau postur APBN yang biasa dikenal.
Bagian laba BUMN merupakan item dalam Pendapatan, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sedangkan PMN merupakan item dalam postur Pembiayaan Anggaran. APBN 2025 menargetkan setoran laba BUMN sebesar Rp90 triliun dan PMN sebesar Rp44,25 triliun. Bagaimana bisa ditafsirkan sebagai efisiensi anggaran (belanja) jika yang dipotong adalah pendapatan?
Perhitungan dalam paparan tentang tiga tahapan mencapai Rp750 triliun. Bisa diartikan bahwa yang diuraikan di atas tentang Rp306,69 triliun tercakup di sini. Dikatakan sebagian akan dialokasikan untuk makan bergizi gratis, dan sisanya akan diinvestasikan di Badan Pengelola Investasi Danantara.
Paparan menyisakan persoalan lainnya, jika ternyata rencana pembiayaan utang APBN 2025 sebesar Rp775,87 triliun tidak berubah. Bisa dikatakan bahwa penghematan belanja yang direalokasikan ke MBG dan Danantara merupakan dana dari utang. (bersambung)