Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menginformasikan tentang Saldo Anggaran Lebih atau SAL.
ANGGARAN Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 disusun bersifat defisit, rencananya sebesar Rp470,93 triliun. Realisasi Pendapatan Negara ternyata jauh melampaui target, sedang Belanja Negara hanya sedikit lebih banyak dari rencana, sehingga realisasi defisit bisa ditekan menjadi Rp337,29 Triliun. Namun, karena berutang telanjur dilakukan, maka terdapat kelebihan duit sisa anggaran.
Proses berutang memang biasa dilakukan terlebih dahulu agar tersedia dana untuk langsung dipakai. Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen utama memperoleh utang baru dilakukan beberapa kali. Kadang bisa lebih dari sekali dalam satu bulan.
Kebutuhan berutang dilakukan tidak hanya menutupi defisit anggaran, melainkan juga membiayai pengeluaran selain belanja. Antara lain untuk investasi dan pemberian pinjaman. Hal itu tidak masuk pos belanja, karena sifat pengeluarannya menimbulkan hak di masa mendatang. Seperti kepemilikan modal, bagi hasil investasi dan pengembalian pinjaman.
Pengeluaran pembiayaan investasi antara lain kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Lembaga/Badan Lainnya, dan Lembaga atau Badan Usaha Internasional. Sedangkan pengeluaran pinjaman diberikan kepada BUMN, BLU, Pemerintah Daerah, dan Badan lainnya.
Kebutuhan berutang yang disebut APBN sebagai pos Pembiayaan Utang juga untuk membayar pelunasan pokok utang lama. Pada tahun 2023, Pemerintah melunasi SBN yang jatuh tempo atau dibeli kembali (buy back) sebesar Rp539,91 triliun. Sedangkan pembayaran pinjaman dalam dan luar negeri sebesar Rp84,40 triliun. Total keduanya mencapai Rp624,31 triliun.
Kebutuhan untuk menutupi defisit, pembiayaan investasi, dan pelunasan pokok utang lama membuat penerikan utang baru masih besar. Penerbitan SBN mencapai Rp848,11 triliun, penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp162,65 triliun, dan penarikan pinjaman dalam negeri sebesar Rp17,50 triliun. Total penarikan utang baru pada tahun 2023 mencapai Rp1.028,26 triliun.
Realisasi APBN tahun 2023 mencatat kelebihan anggaran yang dikenal sebagai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp19,38 triliun. Selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2023, memang cenderung dialami kelebihan pembiayaan. Hanya pernah terjadi kekurangan pembiayaan pada tahun 2005 dan tahun 2007.
Secara rerata, selama periode 2005–2009 dialami kelebihan sebesar Rp18,30 triliun per tahun. Pada periode 2010–2014 sebesar Rp32,22 triliun. Pada periode 2015–2019 sebesar Rp33,21 triliun. Pada periode 2020–2023 sebesar Rp123,08 triliun. SiLPA mencatat rekor pada tahun 2020 yang mencapai Rp245,60 triliun.
Kelebihan pembiayaan pada satu tahun anggaran tidak otomatis dapat dipakai atau dimasukkan ke dalam APBN tahun berikutnya. SiLPA masuk dahulu ke dalam akun akumulasi yang disebut sebagai Saldo Anggaran Lebih (SAL). Penggunaan SAL dalam suatu tahun anggaran harus melalui mekanisme penetapan APBN. Besarannya tidak secara langsung berhubungan dengan SiLPA tahun anggaran sebelumnya.
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2023 menginformasikan tentang perubahan SAL. Antara lain disajikan bahwa saldo awal, artinya dari 1 Januari 2023 yang pindahan akhir tahun 2022, sebesar Rp478,96 triliun. Terdapat penggunaan pada tahun 2022 sebesar Rp35,00 triliun. Realisasi SiLPA sebesar Rp19,38 triliun. Penyesuaian SAL sesuai aturannya sebesar Rp3,84 triliun.
Dengan demikian, pada akhir tahun 2023 terdapat saldo SAL sebesar Rp459,50 triliun. Saldo SAL itu dilaporkan tersimpan pada beberapa akun. Di antaranya yang terbanyak berada pada saldo akhir Kas Bendahara Umum Negara (BUN) sebesar Rp342,83 triliun. Pada saldo akhir Kas pada Badan Layanan Umum (BLU) yang sudah disahkan sebesar Rp92,39 triliun. Pada saldo Akhir Kas di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebesar Rp5,13 triliun.
Meski APBN selalu tekor atau mengalami defisit selama bertahun-tahun, selalu terdapat sisa anggaran. Akibatnya, Pemerintah memiliki banyak uang (kas) dalam neracanya. Penerimaan duit utang terus masuk dan cenderung melebihi kebutuhan pengeluaran tiap tahunnya.
Bisa dimengerti sebagai kehati-hatian dalam mengelola arus kas negara. Tidak terbayangkan, jika tak tersedia dana pada waktu harus membayar gaji pegawai atau kewajiban yang amat segera. Akan tetapi, fenomena SiLPA dan SAL mengindikasikan pengelolaan APBN kurang terencana dengan baik.
Yang cukup jelas adalah tidak efisien. Salah satu yang paling menyolok berupa pembayaran bunga utang menjadi lebih banyak karena berutang melebihi kebutuhan serta waktu penarikan yang tak tepat. Selain itu, penjelasan tentang SiLPA dan SAL kepada publik nyaris tidak mengemuka. Termasuk jika dikaitkan dengan item Kas dan Setara Kas dalam neraca Pemerintah Pusat. [dmr]